Jakarta (ANTARA) - BPJS Kesehatan selaku penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) berkoordinasi dengan Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya untuk menekan angka persalinan caesar di rumah sakit yang sudah melebihi batas normal berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia.
Menurut siaran pers BPJS Kesehatan yang diterima di Jakarta, Kamis, selama tahun 2019 tercatat sebanyak 608.994 prosedur operasi caesar dilakukan di rumah sakit, sementara jumlah persalinan normal di fasilitas kesehatan tingkat pertama tercatat sebanyak 1.066.559.
Dari keseluruhan 1.675.553 prosedur persalinan yang dilakukan selama kurun itu, 36 persen di antaranya merupakan prosedur persalinan dengan operasi caesar.
Baca juga: BPJS memperkenalkan program JKN-KIS dalam pertemuan internasional
"Padahal kasus operasi caesar menurut rekomendasi WHO adalah sebesar 10-15 persen. Tentu hal ini perlu jadi perhatian kita bersama," kata Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Maya Amiarny Rusady.
"Kami berharap ada pedoman/kriteria dalam menentukan tindakan operasi caesar agar dapat melakukan utilization review dan audit medis menggunakan instrumen tersebut," ia menambahkan.
Pelaksanaan prosedur operasi caesar yang tidak sesuai kebutuhan berkontribusi pada peningkatan pembiayaan program JKN-KIS.
Maya mengatakan bahwa menurut hasil Pertemuan Nasional II Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB) pada 1 September 2020, pembiayaan Program JKN-KIS meningkat drastis dari Rp42,7 triliun pada 2014 menjadi Rp108,7 triliun pada 2019.
Guna menekan pelaksanaan prosedur caesar yang tidak sesuai kebutuhan, Maya mengatakan, sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan harus diterapkan secara menyeluruh, termasuk dalam pemenuhan standar mutu fasilitas kesehatan, pengawasan pelayanan kesehatan, serta pemantauan kepatuhan peserta membayar iuran.
Baca juga: BPJS Ketenagakerjaan Banjarmasin validasi penerima Bantuan Subsidi Upah di Kalsel
Peran Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya (TKMKB), ia melanjutkan, mesti diperkuat guna memastikan pelayanan kesehatan bagi peserta program JKN-KIS dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"TKMKB yang beranggotakan organisasi profesi, pakar klinis, dan akademisi yang ahli di berbagai bidang ilmu diharapkan bisa menjadi pihak yang independen serta menjadi wadah komunikasi dan konsultasi para pemangku kepentingan utama, baik fasilitas kesehatan, pemerintah, maupun BPJS Kesehatan," katanya.
"Tahun 2020 ini BPJS Kesehatan menetapkan strategi pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan melalui penguatan peran TKMKB," ia menambahkan.
Ketua TKMKB Pusat dr. Adang Bachtiar mengatakan bahwa tingginya jumlah persalinan caesar bisa disebabkan oleh kurang terkontrolnya rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke rumah sakit, meski sebenarnya BPJS Kesehatan sudah memberikan rujukan nonspesialistik dari FKTP ke jejaringnya seperti praktik bidan.
"Ada banyak faktor. Misalnya di FKTP tersebut pelayanannya kurang memuaskan, atau pasien lebih yakin jika bersalin di rumah sakit. Bisa juga karena pasien memiliki penyakit penyerta (komorbid) sehingga treatment-nya (penanganannya) harus khusus," kata Adang.
"Artinya, ini adalah isu besar yang butuh penyelesaian bersama. Tim KMKB sendiri telah mendorong akademisi untuk mengkaji fenomena ini bersama pemerintah selaku regulator. Harapannya, ada langkah solutif bagi seluruh pihak, baik pasien, BPJS Kesehatan, tenaga medis, dan fasilitas kesehatan itu sendiri," katanya.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia dr. Ari Kusuma Januarto mengatakan bahwa TKMKB pusat dan daerah bisa ambil peran dalam menstimulasi dan meningkatkan kualitas pelayanan persalinan di FKTP maupun rumah sakit.
"Perlu dilakukan pengembangan implementasi prinsip pelayanan kesehatan berbasis nilai-nilai dan pelayanan kehamilan yang bersifat kolaborasi inter-profesional dengan dukungan biaya yang memadai. Dengan demikian, diharapkan dampaknya terhadap kesehatan ibu dan anak semakin baik," katanya.