Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai pemerintah harus bijak dan hati-hati menggunakan dana untuk pembangunan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang diarahkan untuk mengakselerasi transformasi digital, salah satunya untuk infrastruktur telekomunikasi 2021.
Uchok dalam pernyataan di Jakarta, Selasa, memperkirakan hingga tahun depan, ekonomi Indonesia masih belum membaik dan kontraksi ekonomi masih akan terus terjadi yang dibayangi oleh pandemi sehingga akan mempengaruhi pendapatan negara baik dari pajak maupun non-pajak. Sementara defisit anggaran tahun depan diperkirakan mencapai 5,5 persen dari PDB atau Rp971,2 triliun dan pembayaran hutang mencapai Rp373 triliun.
"Melihat dari kenyataan tersebut saya memperkirakan pembangunan infrastruktur telekomunikasi di tahun 2021 berpotensi mengalami penundaan. Meski Menkominfo mengatakan akan menggunakan dana non pajak, namun saya perkirakan tidak akan mencukupi," ujar Uchok.
Pada tahun depan, pemerintah menyiapkan anggaran untuk pembangunan di bidang TIK mencapai Rp30,5 triliun, yang terdiri dari belanja K/L Rp21,5 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp9 triliun.
Baca juga: BPPT terus menggaungkan transformasi teknologi dan digital
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mendapatkan alokasi anggaran terbesar yaitu mencapai Rp 14,7 triliun. Dana tersebut dipergunakan untuk transformasi digital dan akses internet 12.500 desa/ kelurahan daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) di Indonesia.
Uchok menuturkan, sebenarnya pemerintah memiliki banyak pilihan untuk memberikan layanan telekomunikasi di 12.500 desa yang belum mendapatkan layanan telekomunikasi, tanpa harus menimbulkan beban berat bagi keuangan negara. Menkominfo tinggal memutuskan langkah mana yang akan menjadi prioritas dalam penggelaran dan penggunaan teknologinya.
Uchok menyarankan kepada Menkominfo untuk terlebih dahulu memetakan daerah 3T mana saja yang menjadi target jangka pendek, menengah dan panjang program pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi, termasuk teknologi yang akan dipakai serta potensi dan infrastruktur dasar yang dimiliki di wilayah tersebut.
"Ini membutuhkan kecepatan dan kecerdasan serta kapasitas yang mumpuni dari jajaran Kemenkominfo. Sehingga dengan anggaran yang terbatas pencapaian pembangunan sarana dan prasarana telekomunikasi yang menjadi objek pemerintah dapat tercapai," ujar Uchok.
Dengan dana yang terbatas, opsi yang menurut Uchok paling terjangkau dan mudah untuk dieksekusi pemerintah adalah dengan memanfaatkan jaringan Palapa Ring yang sudah tergelar.
Baca juga: Wamenkeu sebutkan penerapan transformasi digital bisa hemat belanja
Jika daerah yang disasar Kemenkominfo memiliki geografis yang menantang dan tak memungkinkan dijangkau oleh jaringan Palapa Ring, pemerintah bisa memilih opsi untuk menggunakan satelit yang telah dioperasikan operator telekomunikasi. Jika kapasitas satelit sudah tidak memungkinkan lagi, Uchok meminta agar pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk menggunakan satelit Starlink atau Low Earth Orbit Satellite (LEO).
Dari kajian awal terlihat anggaran yang dibutuhkan untuk satelit jenis ini lebih rendah. Namun, sebagai teknologi yang masih baru, tentunya kajian menyeluruh perlu dilakukan guna memastikan pilihan ini tidak membebani keuangan negara di masa mendatang.
Uchok juga menyarankan agar Kemenkominfo dapat berdialog dengan perusahaan telekomunikasi yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL), Asosiasi penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) untuk mencari solusi yang terbaik pengadaan jaringan telekomunikasi di daerah 3T.