Jakarta (ANTARA) - Wajahnya memang selalu tampak serius saat menyampaikan data harian COVID-19 setiap sore di layar televisi. Siapa nyana laki-laki kelahiran Malang, 11 Maret 1962 itu begitu cair ketika mulai diajak berbincang soal hobi-hobinya.
Saat berbincang dengan ANTARA tepat di 110 hari dirinya menjadi juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 pada Kamis (18/6), Achmad Yurianto, yang akrab disapa Yuri itu begitu sumringah bercerita tentang beberapa kegiatan yang dilakukannya di sela-sela kesibukannya.
Salah satu yang menarik, dari sejumlah hobi yang disebutkan lebih banyak berhubungan dengan seni, yakni seni membatik.
Ada cerita menarik antara Yuri dan batik. Jika diperhatikan, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan itu hampir tidak pernah absen mengenakan batik. Terkadang, masker yang ia gunakan pun bermotif batik.
Menurut dia, batik yang berstatus Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Tak Benda oleh UNESCO itu mudah dibeli, dan harganya relatif murah. Pakai batik yang harganya Rp120 ribu saja kalau masuk kamera juga tetap bagus.
“Saya tidak mau berpikir rumit, yang penting saya tampil dengan sopan dan bisa diterima. Saya berpikirnya yang paling gampang itu batik. Seminggu dipakai lagi kan juga pada enggak tahu, kelihatannya saja berbeda padahal yang minggu lalu dipakai,” kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu diikuti dengan tawa.
Sore itu pun Yuri mengenakan kemeja batik lengan panjang bermotif tanaman sulur dengan warna dominan berwarna ungu. Sementara maskernya berwarna merah.
Usut punya usut, ternyata kemeja ataupun masker batik yang dikenakan suami dari Dwi Retno Yuliarti itu terkadang ada yang memang hasil karya sendiri. Yuri mengaku terkadang membuat sketsanya sendiri, mendesain modelnya sendiri, hingga membatik sendiri.
Beberapa sketsa dan desain batik dengan goresan pensil yang beberapa fotonya ada di dalam telepon pintarnya pun ia tunjukkan. Termasuk masker-masker batik yang didesain dan dibuatnya sendiri maupun karya istrinya, yang beberapa waktu lalu dipakai saat menyampaikan data harian COVID-19 di layar televisi.
Bahkan foto Bengbeng, satu dari lima kucing kesayangannya yang mengenakan beberapa batik pun diperlihatkan. Kucing-kucing lucu peliharaannya, mulai dari Bengbeng, Tayo, Oreo, Dusty dan Tom, memang tampaknya sering menjadi model fotonya.
“Enggak lah, saya tidak punya bisnis di bidang batik, cuma saya akhir-akhir ini mencoba membatik sendiri. Mulai dari konsep, sketsanya, canting mewarnainya, tapi tidak dalam skala besar. Bikinnya di rumah,” kata penerima penghargaan Public Relation of The Year dalam acara Indonesia Corporate Branding PR Award 2020 tersebut.
Tidak perlu terlalu canggih, kalau dulu membatik pakai kompor kayu sekarang pakai kompor listrik untuk mencairkan lilinnya, ujar ayah dari dua putra itu.
“Nyeni yang paling gampang itu batik. Batik itu kan enggak pernah jelek. Dari pada tenun kan lebih sulit,” kata Yuri saat ditanya alasan mengapa memilih batik.
Dan baginya membatik itu menjadi alat manajemen stres. Sambil duduk di depan televisi sepulang kerja, entah menyimak berita atau mengikuti acara lainnya, Yuri terkadang menyempatkan membatik sampai rasa kantuk tiba.
Pantai Liang
Jika membatik menjadi kegemaran barunya, lain halnya dengan fotografi yang telah ditekuninya sejak di bangku kuliah. Tentu saja ketika itu masih menggunakan kamera analog, kata Yuri yang pernah menjadi Komandan Resimen Mahasiswa Universitas Airlangga itu.
Selama 29 tahun ia pernah menjadi dokter militer dan sempat ditugaskan di 10 provinsi dan 14 kota di Indonesia sebelum bertugas di Kementerian Kesehatan. Ia pun sempat menjadi dokter Batalyon Infanteri 745/Sampada Yudha Bakti Dili, Timor Timur pada 1991.
Yuri sempat menjadi Wakil Kepala Rumah Sakit tingkat II Dustira Kesdam III/Siliwangi di 2006. Nama rumah sakit militer yang dibangun pada 1887 itu lah yang kini menjadi nama salah satu kucing kesayangannya, sekaligus nama galeri seni yang didirikan istrinya, Dusty Handmade Craft.
Ia juga sempat menjadi Wakil Kepala Kesehatan Daerah Militer IV/Diponegoro Semarang di 2008. Lalu menjadi Kepala Kesehatan Daerah Militer XI/Pattimura Maluku di 2009.
Kesempatannya mengabadikan keindahan Indonesia pun ada dan sempat dimasukkan ke panoramio.com. Dan bahkan salah satu fotonya yang menggambarkan kecantikan Pantai Liang di Maluku Tengah dibeli oleh salah satu agen tour seharga Rp75 juta.
“Sudah balik modal,” kata Yuri saat menceritakan Canon 5D Mark III yang menjadi “senjatanya” mengabadikan panorama-panorama cantik Indonesia yang kini lebih sering digunakan putranya.
Malaikat bersayap patah
Yuri juga mengatakan senang membuat boneka berbahan kertas koran atau newspaper craft.
Hobi yang satu itu tidak main-main, karena hasilnya sudah kerap dijual di INACRAFT, ajang tahunannya Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (AEPHI) yang sudah barang tentu menampilkan produk-produk pilihan dengan kualitas terbaik.
Ia menyodorkan kembali telepon genggamnya dan diperlihatkan beberapa foto. Kali ini terlihat boneka-boneka mungil yang sepintas terlihat seperti terbuat dari tembaga.
Ada yang terlihat begitu mewah, ada pula yang terlihat imut-imut dengan sentuhan pakaiannya yang warna-warni. Yuri lalu menyodorkan foto boneka kertas nan cantik di dalam bingkai kaca, sambil bercerita karya seninya pernah terjual seharga Rp300.000.
“Boneka yang finishingnya bisa pakai cat metalik, lalu orang berpikir itu tembaga padahal bukan. Bahan bakunya mudah di dapat, koran bekas, kain kasa, diakhiri dengan decopatcs,” ujar Yuri.
Dengan memanfaatkan bahan-bahan yang mudah di dapat ia pun menciptakan karakter-karakter yang memang sesuai suasana hatinya. Salah satunya malaikat bersayap patah yang terduduk di atas kayu.
“Maunya hati saja mau buat karakter apa. Kayak waktu saya terbang ke sana kemari ya saya sempat bikin malaikat di atas kayu yang sayapnya mulai lemah. Lelah terbang. Karena saya sempat terbang terus,” kata Yuri menceritakan asal inspirasi dari karya seninya itu.
Yuri menjadi dokter militer setelah lulus kuliah di 1986. Dirinya bersyukur atas tantangan dan peluang yang diberikan padanya selama 29 tahun memegang amanah sebagai dokter militer yang sangat mewarnai hidupnya itu.
“Artinya saya ada di banyak tempat. Kemudian saya lebih banyak di lapangan sehingga seperti saat terakhir saya pada level harus mengatur kegiatan di lapangan, khususnya karena terkait tugas TNI. Lalu diperintahkan Panglima TNI saat itu untuk bergabung dengan Kementerian Kesehatan,” ujar Yuri.
Ia mengaku tidak merasa canggung, karena saat menjadi tentara pekerjaannya juga merespons bencana. “Jadi ini cuma pindah baju saja. Proses pekerjaan saya sangat alami”.
Sama halnya ketika Presiden Joko Widodo pada 3 Maret 2020 menunjuknya menjadi juru bicara pemerintah penanganan COVID-19. Amanah yang menjadi sebuah kehormatan baginya.
Bagi Yuri, pilihan hidup itu hanya ada dua, yakni indah dan indah sekali. Dirinya meyakini, esok pun akan lebih baik dibanding hari sebelumnya, dan itu pun berlaku untuk kondisi Indonesia.