Depok (ANTARA) - Dampak negatif dari rendahnya literasi digital diantaranya ialah konsumsi tayangan kekerasan, pornografi, kecanduan game, media sosial dan penyebaran hoaks yang mampu memecah belah bangsa, sebagaimana residu dari kontestasi politik di Indonesia semenjak 2017 lalu.
"Dalam konteks Indonesia, tantangannya ada tiga yaitu masyarakat yang plural, latar belakang kultural dan kondisi struktural. Pluralitas wilayah, ekonomi, suku, agama, ras, mendorong kesenjangan penetrasi digital," kata Peneliti Sosial Vokasi Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati dalam keterangan tertulisnya, Kamis.
Ia mengatakan berita bohong tercipta secara organik dan non-organik. Kecemasan masyarakat misalnya melihat situasi demo, akan mendorong masyarakat dengan mudah meneruskan informasi apapun tentang demo, karena ketulusan masyarakat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Namun, kondisi non-organik berupa insentif ekonomi dalam bentuk uang oleh suatu platform yang memberikan dana Rp350 ribu per 1000 likes, tentu saja mendorong orang memproduksi informasi yang belum tentu benar, asalkan viral.
Tidak hanya itu, kepentingan politik, sebagaimana yang didemonstrasikan oleh Donald Trump yang justru mengatakan berita bohong ialah ketika berita tersebut adalah berita yang tidak sesuai dengan keinginannya, mendorong klaim kebenaran yang memecah masyarakat.
Devie mengatakan data di Indonesia menunjukkan bahwa populasi penggunaan perangkat elektronik terbesar adalah televisi 95 persen dan telepon genggam mencapai 91 persen. Kondisi ini tercipta diantaranya karena aspek geografis yang luas di Indonesia, sehingga dukungan infrastruktur digital belum sepenuhnya menjadi konsumsi utama masyarakat di berbagai wilayah.
"Selain itu, generasi yang lebih senior, akan lebih mudah untuk mengkonsumsi televisi," ujar Devie Rahmawati, salah satu penerima Australian Awards.
Sedangkan secara kultural, salah satunya masyarakat kita adalah masyarakat pendongeng (oral culture society), yang membuat kurangnya upaya menggali dan mengkonfirmasi informasi secara mendalam.
"Struktur kebijakan pendidikan yang masih mengedepankan target-target kuantitatif seperti jumlah hapalan, bukan pada aspek kualitas seperti kemampuan reflektif dan adaptif terhadap perubahan teknologi dan iklim," kata penggiat Klinik Digital UI tersebut.
Di Indonesia, sudah banyak inisiatif komunitas untuk membantu pemerintah dalam mendorong terciptanya literasi digital sebut saja siber kreasi, mafindo, santri anti hoax, saring sebelum sharing, kelas jurnalis cilik, digital heroes and avenger award, fack checking oleh media-media online (tempo, detik, katadata) dan sebagainya.
Untuk itu Devie bersama Ahmad Rozali, Agnes Theodora, Alimatul Qibtiyah, Rorie Asyari menjelaskan upaya untuk mengurangi penyebaran berita bohong dengan kerangka 5R melalui usulan The Hypocrisy Model.
Model ini menjelaskan bahwa dalam tataran makro dan eksternal, hampir seluruh organisasi atau komunitas di Indonesia sudah menyatakan untuk mengimplementasikan 5R. Namun, di tataran mikro dan personal, hal tersebut sangat minim diterapkan.
Dikatakannya solusi yang kami tawarkan ialah dalam ruang lingkup personal kita semua harus bersikap bagaikan samudra lautan yang siap menampung aliran informasi dari manapun, baik yang positif maupun negatif.
"Kita menerimanya, namun tidak terpengaruh. Di tataran sosial, kita harus menjadi clearing house of information, dimana seluruh informasi personal diolah terlebih dahulu, baru disebarkan hal-hal positif dan produktifnya," demikian Devie.*
Hoax bisa menjadi pemecah belah bangsa
Kamis, 26 September 2019 9:57 WIB