Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menjadikan pesan Mahkamah Konstitusi (MK) yang termaktub dalam pertimbangan putusan sebagai bahan evaluasi terkait pencabutan akreditasi terhadap lembaga pemantau pemilihan umum (Pemilu).
Anggota KPU RI August Mellaz saat konferensi pers di Kantor KPU RI, Jakarta, Senin, mengatakan pesan MK menjadi pengingat agar KPU berhati-hati memberikan maupun mencabut akreditasi terhadap lembaga pemantau pemilu.
“Jadi itu yang memang diingatkan oleh MK. Tentu ini bagian dari evaluasi kami karena secara keseluruhan sejak pemilu nasional lalu, termasuk di pelaksanaan pilkada, preseden ini baru muncul pertama kali,” ucap Mellaz menjawab ANTARA.
Menurut dia, sebagaimana putusan lain dari MK, KPU tidak hanya menaruh perhatian pada bagian amar putusan, tetapi juga pertimbangan hukum yang turut mengikat di setiap putusan.
“Karena itu akan berpengaruh pada bagaimana tindak lanjut ataupun langkah lembaga ke depan,” katanya.
Diketahui, melalui Putusan Nomor 318/PHPU.WAKO-XXIII/2025, MK berpesan agar penyelenggara pemilihan umum menghindari pencabutan akreditasi setelah lembaga pemantau pemilihan mengajukan gugatan ke MK.
Pesan tersebut disampaikan MK karena pemohon dalam perkara itu, yakni Lembaga Pemantau Pemilu Republik Indonesia (LPRI) dicabut akreditasi setelah mendaftarkan permohonan sengketa hasil PSU Pilkada Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan oleh KPU provinsi setempat.
“Menurut Mahkamah pencabutan akreditasi yang dilakukan setelah pemantau pemilihan mengajukan permohonan ke Mahkamah haruslah dihindari karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kedudukan hukum Pemohon,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih pada sidang pengucapan putusan di Jakarta, Senin.
Menurut hakim konstitusi, meskipun pencabutan akreditasi memang diatur dalam undang-undang sebagai sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan pemantau pemilihan, kepentingan pemantau pemilihan yang telah mengajukan permohonan ke MK harus tetap dilindungi.
Pada dasarnya, imbuh Enny, MK memberikan kesempatan kepada pemantau pemilihan untuk menjadi pemohon dalam sengketa hasil pilkada dengan satu pasangan calon agar pemantau tersebut dapat menjadi pihak yang netral untuk memperjuangkan hak konstitusional pemilih kolom kosong.
“Hal ini penting agar suatu pilkada, meskipun hanya terdapat satu pasangan calon, tidak menjadi pemilihan yang tanpa kontestasi dan tidak pula menjadi pemilihan yang hasilnya tidak dapat dipersengketakan,” tutur Enny.
Lebih lanjut MK menegaskan agar penyelenggara pemilihan dapat bertindak lebih cermat dalam menerbitkan sertifikat akreditasi bagi pemantau pemilihan, termasuk ketika melakukan verifikasi calon pemantau pemilihan dengan mengedepankan asas netralitas.
Adapun MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh LPRI yang mempersoalkan hasil PSU pemilihan wali kota dan wakil wali kota Banjarbaru.
Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan dalil yang diajukan tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Lantaran tidak mendapatkan keyakinan atas kebenaran dalil-dalil yang diajukan, Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan untuk menunda keberlakuan syarat formal pengajuan permohonan sengketa pilkada.
Namun, LPRI yang dalam hal ini diwakili oleh Syarifah Hayana selaku Ketua LPRI Kalimantan Selatan tidak memenuhi syarat formal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 158 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Berdasarkan hasil PSU, selisih perolehan suara antara pasangan calon tunggal dan kolom kosong tercatat sebesar 4.628 suara atau 4,3 persen, sementara ambang batas untuk dapat mengajukan permohonan adalah 1,5 persen dari total suara sah atau maksimal 1.612 suara.
Hasil PSU Pilkada Kota Banjarbaru juga digugat oleh seorang pemilih bernama Udiansyah. Namun, permohonannya yang teregistrasi dengan Nomor 319/PHPU.WAKO-XXIII/2025 itu juga dinyatakan tidak dapat diterima karena Udiansyah tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra (kiri) dan hakim konstitusi Arief Hidayat (kanan) memimpin sidang sengketa hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Banjarbaru 2024 di Gedung MK, Jakarta, Senin (26/5/2025). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym.