Kementerian Pertanian (Kementan) mengoptimalisasi lahan rawa selama musim kemarau panjang untuk menjaga target produksi padi nasional pada 2019 yang mencapai 84 juta ton atau setara 49 juta ton beras.
"Lahan rawa memang diharapkan jadi penyangga pangan nasional. Karena di saat daerah lain seperti Pulau Jawa kekeringan, di Kalimantan Selatan misalnya yang memiliki lahan rawa justru bisa terus panen pertaniannya," kata Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementan, Hendri Sosiawan di Banjarbaru, Minggu.
Di Kalsel ada 250.000 hektare lahan rawa yang dikemas dalam Program Serasi (Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani) mendapatkan program cetak sawah dari Kementan.
"Lahan yang terus digarap sepanjang tahun melalui full mekanisasi pertanian ini kami dampingi agar produksinya terjaga melalui optimalisasi rawa dari penggunaan varietas adaptif yang baru ditingkatkan (Varietas Unggul Baru/VUB) beras untuk rawa dikombinasikan dengan teknologi budidaya yang tepat," jelas Sarjana Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada ini.
Prinsipnya, kata Hendri, sepanjang tahun ada penanaman. Dimana pengelolaan air menjadi kunci sukses pengembangan lahan rawa lebak untuk budidaya pertanian, sehingga pembenahan infrastruktur pertanian penting juga dilakukan agar musim kemarau air bisa masuk ke lahan.
Di sisi lain, keberhasilan pertanaman padi di Indonesia khususnya di daerah rawa, ungkap Hendri, diapresiasi para organisasi penelitian nasional di Asia Tenggara seperti dari Malaysia yaitu "The Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI), dari Laos yaitu Agriculture Research Center (ARC), National Agriculture and Forestry Research Institute (NAFRI), serta Philippine Rice Research Institute (PhilRice) dari Filipina.
"Ketika gelaran lokakarya internasional pengembangan bersama dan alih teknologi padi yang diikuti empat negara yaitu Indonesia, Malaysia, Laos dan Filipina yang baru-baru ini dilaksanakan di Banjarbaru, Kalsel, banyak yang menanyakan tentang bagaimana sistem tata air satu arah diterapkan serta perbedaan beras lokal Indonesia dengan beras VUB secara kandungan amylose, ukuran, maupun preferensi petani," papar Hendri.
Pria lulusan S2 Hidrologi dan Lingkungan dari Ecole Nationale Superieure Agronomique (ENSA) Montpellier, Prancis inipun menjelaskan, inovasi pengembangan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang subur dan produktif bisa diwujudkan dengan panca kelola lahan rawa.
Pertama, teknologi pengelolaan air untuk mengatur debit air di lahan rawa yang selalu tergenang. Kedua, penyiapan dan penataan lahan. Ketiga, teknologi ameliorasi dan pemupukan untuk meningkatkan kualitas tanah. Keempat, teknologi pertanaman yang tepat. Kelima, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) atau hama.
"Dengan panca kelola lahan rawa inilah, petani kami dorong untuk bisa tanam dua hingga tiga kali dalam satu tahun padi varietas unggul," ungkapnya.
Terkait pertemuan peneliti pertanian negara-negara ASEAN itu, menurut Hendri sangat penting mengintegrasikan kegiatan penelitian berskala internasional, sehingga hilirasisai inovasi teknologi akan lebih cepat dan masif, tidak hanya pada skala petak percobaan saja, namun skala demfarm dan hamparan.
"Melalui lokakarya ini, upaya untuk memperbarui transfer informasi dan teknologi yang terkait dengan penelitian tanaman padi dapat terjadi," tandasnya.
Baru-baru ini, tambah Hendri, Asian Development Bank memproyeksikan konsumsi beras ASEAN akan meningkat. 100,0 juta ton pada 2011 menjadi 111,3 juta ton pada 2021, berarti mencapai pertumbuhan 1 persen per tahun.
Rata-rata konsumsi beras ASEAN per kapita adalah 2,5 kali rata-rata dunia, dan peringkat teratas adalah Bangladesh dengan 171,7 Kg perkapita pertahun. Indonesia sendiri mengonsumsi beras sebesar 134,6 Kg perkapita pertahun.
Oleh karena itu, kata dia, tantangan dalam mencapai kecukupan pangan menjadi lebih kompleks. Perlu menerapkan sistem makanan yang menawarkan makanan sehat dan bergizi yang dapat diakses oleh semua orang, sambil menjaga sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.
"Kita harus mengintegrasikan dan mengoptimalkan banyak aspek dari produksi hingga konsumsi makanan. Dibutuhkan gagasan tentang tindakan implementasi untuk menghasilkan lapangan kerja dan memperkuat rantai nilai pangan lokal," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
"Lahan rawa memang diharapkan jadi penyangga pangan nasional. Karena di saat daerah lain seperti Pulau Jawa kekeringan, di Kalimantan Selatan misalnya yang memiliki lahan rawa justru bisa terus panen pertaniannya," kata Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementan, Hendri Sosiawan di Banjarbaru, Minggu.
Di Kalsel ada 250.000 hektare lahan rawa yang dikemas dalam Program Serasi (Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani) mendapatkan program cetak sawah dari Kementan.
"Lahan yang terus digarap sepanjang tahun melalui full mekanisasi pertanian ini kami dampingi agar produksinya terjaga melalui optimalisasi rawa dari penggunaan varietas adaptif yang baru ditingkatkan (Varietas Unggul Baru/VUB) beras untuk rawa dikombinasikan dengan teknologi budidaya yang tepat," jelas Sarjana Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada ini.
Prinsipnya, kata Hendri, sepanjang tahun ada penanaman. Dimana pengelolaan air menjadi kunci sukses pengembangan lahan rawa lebak untuk budidaya pertanian, sehingga pembenahan infrastruktur pertanian penting juga dilakukan agar musim kemarau air bisa masuk ke lahan.
Di sisi lain, keberhasilan pertanaman padi di Indonesia khususnya di daerah rawa, ungkap Hendri, diapresiasi para organisasi penelitian nasional di Asia Tenggara seperti dari Malaysia yaitu "The Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI), dari Laos yaitu Agriculture Research Center (ARC), National Agriculture and Forestry Research Institute (NAFRI), serta Philippine Rice Research Institute (PhilRice) dari Filipina.
"Ketika gelaran lokakarya internasional pengembangan bersama dan alih teknologi padi yang diikuti empat negara yaitu Indonesia, Malaysia, Laos dan Filipina yang baru-baru ini dilaksanakan di Banjarbaru, Kalsel, banyak yang menanyakan tentang bagaimana sistem tata air satu arah diterapkan serta perbedaan beras lokal Indonesia dengan beras VUB secara kandungan amylose, ukuran, maupun preferensi petani," papar Hendri.
Pria lulusan S2 Hidrologi dan Lingkungan dari Ecole Nationale Superieure Agronomique (ENSA) Montpellier, Prancis inipun menjelaskan, inovasi pengembangan lahan rawa menjadi lahan pertanian yang subur dan produktif bisa diwujudkan dengan panca kelola lahan rawa.
Pertama, teknologi pengelolaan air untuk mengatur debit air di lahan rawa yang selalu tergenang. Kedua, penyiapan dan penataan lahan. Ketiga, teknologi ameliorasi dan pemupukan untuk meningkatkan kualitas tanah. Keempat, teknologi pertanaman yang tepat. Kelima, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) atau hama.
"Dengan panca kelola lahan rawa inilah, petani kami dorong untuk bisa tanam dua hingga tiga kali dalam satu tahun padi varietas unggul," ungkapnya.
Terkait pertemuan peneliti pertanian negara-negara ASEAN itu, menurut Hendri sangat penting mengintegrasikan kegiatan penelitian berskala internasional, sehingga hilirasisai inovasi teknologi akan lebih cepat dan masif, tidak hanya pada skala petak percobaan saja, namun skala demfarm dan hamparan.
"Melalui lokakarya ini, upaya untuk memperbarui transfer informasi dan teknologi yang terkait dengan penelitian tanaman padi dapat terjadi," tandasnya.
Baru-baru ini, tambah Hendri, Asian Development Bank memproyeksikan konsumsi beras ASEAN akan meningkat. 100,0 juta ton pada 2011 menjadi 111,3 juta ton pada 2021, berarti mencapai pertumbuhan 1 persen per tahun.
Rata-rata konsumsi beras ASEAN per kapita adalah 2,5 kali rata-rata dunia, dan peringkat teratas adalah Bangladesh dengan 171,7 Kg perkapita pertahun. Indonesia sendiri mengonsumsi beras sebesar 134,6 Kg perkapita pertahun.
Oleh karena itu, kata dia, tantangan dalam mencapai kecukupan pangan menjadi lebih kompleks. Perlu menerapkan sistem makanan yang menawarkan makanan sehat dan bergizi yang dapat diakses oleh semua orang, sambil menjaga sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.
"Kita harus mengintegrasikan dan mengoptimalkan banyak aspek dari produksi hingga konsumsi makanan. Dibutuhkan gagasan tentang tindakan implementasi untuk menghasilkan lapangan kerja dan memperkuat rantai nilai pangan lokal," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019