Malang, (AntaraNews Kalsel) - Tiga mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang menciptakan teknologi baru untuk memudahkan manusia membaca dalam gelap, yakni tinta bolpoin bercahaya yang memanfaatkan bakteri.
Ketiga mahasiswa tersebut adalah Novia Rosa Damayanti, Renaldy Fredyan, dan Mey Yuliana. Mereka memanfaatkan bakteri dengan proses tertentu agar bisa memancarkan cahaya, sehingga orang bisa membaca dengan jelas meski dalam kondisi gelap.
"Perkembangan teknologi sangat pesat, khususnya bidang elektronik seperti gadget dan ponsel pintar. Perangkat ini sangat membantu mobilitas pekerjaan manusia, seperti membaca dan menulis. Namun, pencahayaan dari perangkat tersebut bersifat radiasi yang merusak mata dan membuat mata cepat lelah," kata salah seorang anggota peneliti tinta bercahaya, Novia Rosa Damayanti di Malang, Jawa Timur, Kamis.
Baca juga: LIPI kembangkan bahan bakar hidrogen dari bakteri
Berdasarkan The National Radiological Protection Board (NRPB) Inggris, efek yang ditimbulkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik dari telepon seluler dibagi menjadi dua, yaitu efek fisiologis dan efek psikologis.
Berkaca dari permasalahan tersebut, ia dan kedua rekannya mencoba memecahkan masalah dengan memanfaatkan alam, yaitu melalui isolasi bakteri.
Beberapa jenis bakteri dapat memancarkan cahaya. Bakteri ini disebut bakteri bioluminesensi yang merupakan bakteri yang mampu berpendar. Bakteri tersebut dapat ditemukan pada beberapa spesies laut.
"Untuk proses pemancaran cahaya melibatkan transpor elektron," ujar Ketua Tim Penelitian, Novia Rosa Damayanti.
Tulisan yang dihasilkan mampu terbaca di tempat gelap, sehingga mengurangi penggunaan perangkat elektronik dengan radiasi.
Untuk mendapatkan bakteri bioluminesensi perlu dilakukan isolasi, pemurnian, serta dikulturkan.
Isolasi bakteri, diambil dari beberapa sampel dan tempat yang berbeda. Sampel utama adalah cumi-cumi, lumpur laut, dan air laut. Sampel didapatkan dari dua tempat yang berbeda, yakni pantai Utara (Lamongan) dan pantai Utara (pesisir Pulau Sempu, Kabupaten Malang).
Baca juga: Bakteri bisa jadi senjata melawan kanker
Novia mengemukakan isolasi dilakukan dengan tiga kali pengulangan pada tiap sampel dan tiap tempat. Pengujian awal menggunakan sinar UV sebagai salah satu parameter perpendaran pada sampel. Hingga dilakukan pemurnian dan pengkulturan untuk menumbuhkan bakteri bioluminesensi.
Media yang digunakan adalah LA (Luminescent Agar) dan LB (Luminescent Board). Bakteri pada media LA miring yang telah tumbuh diuji dengan menggunakan metode cat gram. Cat gram yang digunakan adalah cat gram A, B, C, dan D. Hasil yang didapatkan, yakni bentuk bakteri bulat (Coccus), tidak berflagela, dan berwarna merah (gram negatif).
Jenis bakteri untuk sementara yang dapat disimpulkan photobacterium phosporium. Bakteri tersebut selanjutnya akan dikondisikan seperti cairan yang berwarna. Cairan tersebut yang nantikan dapat digunakan sebagai tinta bercahaya pada bolpoin.
"Dengan adanya jenis bolpoin yang tintanya dapat bercahaya ini diharapkan mampu mengurangi penggunaan smart phone, karena tulisan yang dihasilkan oleh bolpoin dapat terbaca pada tempat yang gelap," tambahnya.
Ketiga mahasiswa tersebut adalah Novia Rosa Damayanti, Renaldy Fredyan, dan Mey Yuliana. Mereka memanfaatkan bakteri dengan proses tertentu agar bisa memancarkan cahaya, sehingga orang bisa membaca dengan jelas meski dalam kondisi gelap.
"Perkembangan teknologi sangat pesat, khususnya bidang elektronik seperti gadget dan ponsel pintar. Perangkat ini sangat membantu mobilitas pekerjaan manusia, seperti membaca dan menulis. Namun, pencahayaan dari perangkat tersebut bersifat radiasi yang merusak mata dan membuat mata cepat lelah," kata salah seorang anggota peneliti tinta bercahaya, Novia Rosa Damayanti di Malang, Jawa Timur, Kamis.
Baca juga: LIPI kembangkan bahan bakar hidrogen dari bakteri
Berdasarkan The National Radiological Protection Board (NRPB) Inggris, efek yang ditimbulkan oleh radiasi gelombang elektromagnetik dari telepon seluler dibagi menjadi dua, yaitu efek fisiologis dan efek psikologis.
Berkaca dari permasalahan tersebut, ia dan kedua rekannya mencoba memecahkan masalah dengan memanfaatkan alam, yaitu melalui isolasi bakteri.
Beberapa jenis bakteri dapat memancarkan cahaya. Bakteri ini disebut bakteri bioluminesensi yang merupakan bakteri yang mampu berpendar. Bakteri tersebut dapat ditemukan pada beberapa spesies laut.
"Untuk proses pemancaran cahaya melibatkan transpor elektron," ujar Ketua Tim Penelitian, Novia Rosa Damayanti.
Tulisan yang dihasilkan mampu terbaca di tempat gelap, sehingga mengurangi penggunaan perangkat elektronik dengan radiasi.
Untuk mendapatkan bakteri bioluminesensi perlu dilakukan isolasi, pemurnian, serta dikulturkan.
Isolasi bakteri, diambil dari beberapa sampel dan tempat yang berbeda. Sampel utama adalah cumi-cumi, lumpur laut, dan air laut. Sampel didapatkan dari dua tempat yang berbeda, yakni pantai Utara (Lamongan) dan pantai Utara (pesisir Pulau Sempu, Kabupaten Malang).
Baca juga: Bakteri bisa jadi senjata melawan kanker
Novia mengemukakan isolasi dilakukan dengan tiga kali pengulangan pada tiap sampel dan tiap tempat. Pengujian awal menggunakan sinar UV sebagai salah satu parameter perpendaran pada sampel. Hingga dilakukan pemurnian dan pengkulturan untuk menumbuhkan bakteri bioluminesensi.
Media yang digunakan adalah LA (Luminescent Agar) dan LB (Luminescent Board). Bakteri pada media LA miring yang telah tumbuh diuji dengan menggunakan metode cat gram. Cat gram yang digunakan adalah cat gram A, B, C, dan D. Hasil yang didapatkan, yakni bentuk bakteri bulat (Coccus), tidak berflagela, dan berwarna merah (gram negatif).
Jenis bakteri untuk sementara yang dapat disimpulkan photobacterium phosporium. Bakteri tersebut selanjutnya akan dikondisikan seperti cairan yang berwarna. Cairan tersebut yang nantikan dapat digunakan sebagai tinta bercahaya pada bolpoin.
"Dengan adanya jenis bolpoin yang tintanya dapat bercahaya ini diharapkan mampu mengurangi penggunaan smart phone, karena tulisan yang dihasilkan oleh bolpoin dapat terbaca pada tempat yang gelap," tambahnya.
Editor: Dewanti Lestari