Berbagai kasus pertanahan yang terjadi antara masyarakat, perusahaan sawit dan tambang batu bara di Kalimantan Selatan, bagaikan api dalam sekam, yang sewaktu-waktu bisa menjadi bom waktu, bila pemerintah tidak arif mencarikan solusinya.
Berbagai kasus perebutan lahan di daerah kaya tambang ini, seakan mengusik ketenteraman warga provinsi yang dikenal kondusif dan terbuka bagi pendatang dan investor, baik dalam maupun luar negeri.
Bahkan, tidak adanya kejelasan penyelesaian berbagai kasus pertanahan tersebut, telah menyebabkan beberapa daerah di hulu sungai, antara lain Hulu Sungai Selatan, Balangan, Tabalong dan beberapa daerah lainnya kini sering terjadi konflik. Seperti yang terjadi pada akhir Januari 2012, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak Meratus di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Pada saat itu, masyarakat memblokade dan menutup jalan operasional perusahaan pertambangan nasional, PT Adaro Indonesia, dengan tuntutan agar perusahaan segera menyelesaikan ganti rugi lahan sebesar Rp55 miliar.
Warga adat Maratus mengklaim, bahwa sebagian lahan yang kini dikelola oleh perusahaan terbesar di Kalsel tersebut adalah lahan mereka yang merupakan warisan adat secara turun temurun.
Menurut mereka, tanah tersebut merupakan tanah nenek moyang yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. "Kembalikan tanah adat kami!," kata warga yang melakukan aksi demo saat itu.
Sementara, pihak perusahaan berkeyakinan, berdasarkan pencitraan satelit lahan tersebut merupakan lahan yang telah diberikan izin oleh pemerintah pusat untuk digarap atau ditambang.
Permasalah lahan tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan perusahaan pertambangan, juga terjadi dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Seperti kasus yang terjadi antara perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Subur Agro Makmur (SAM) dan warga Kecamatan Daha, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Saat itu, warga menolak pemanfaatkan lahan rawa sebagai perkebunan sawit sebagaimana yang dicanangkan pemerintah daerah setempat.
Pemerintah HSS ingin memanfaatkan lahan yang selama ini dinilai sebagai lahan tidur sebagai lahan produktif dengan "menyulap" ratusan hektare hamparan rawa tersebut menjadi perkebunan sawit.
Namun masyarakat khawatir, kebijakan pemerintah itu justru akan mematikan ekosistem yang hidup dan sangat tergantung pada keberadaan rawa-rawa tersebut.
Karena perusahaan telah mengantongi izin dari pemerintah, maka penolakan warga tidak dihiraukan dan perusahaan pemenang tender tetap melaksanakan proyek perkebunan sawit itu. Masyarakat pun melakukan aksi demo agar perusahaan menghentikan aktivitasnya.
Kepala Proyek PT SAM, Laksono Budi Santosa mengatakan, pihaknya tidak mengetahui bila lahan yang mereka garap merupakan lahan masyarakat yang dimanfaatkan secara turun temurun.
"Kami pikir areal yang diberikan oleh pemerintah daerah adalah lahan tidur seluruhnya," ujarnya.
Sejak 2008, pemerintah daerah setempat mencanangkan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 12.159 hektare lahan inti dan 2.400 hektare lahan plasma.
Di areal tersebut, PT SAM selaku investor yang ditunjuk membuat tanggul keliling sepanjang 56 kilometer sebagai "water management" untuk menjaga air di dalam dan di luar areal.
Pada pertengahan 2008, sekitar Oktober - November, megaproyek itu pun mulai dikerjakan di dua wilayah kecamatan di Daha, Daha Barat dan Daha Selatan, yang seluruhnya terdiri atas kawasan perairan atau rawa.
Menurut Laksono dalam jumpa pers yang digelar bersama Kabag Humas, Kepala Dinas Kehutanan dan instansi terkait, sebelum proyek tersebut dikerjakan pemerintah, pihaknya telah melakukan sosialisasi ke masyarakat.
Namun kenyataannya, sebagian besar masyarakat mengaku kaget ketika alat berat berdatangan sehingga aksi demo sering terjadi menuntut perusahaan mengganti lahan dan tanaman palawija yang dirusak perusahaan.
Apalagi setelah pembukaan lahan tersebut, pada November 2011 ratusan kerbau rawa mati secara tiba-tiba. Warga menduga, kematian tersebut disebabkan oleh pembukaan lahan rawa menjadi perkebunan sawit.
Tidak Surut
Penolakan sebagian warga terhadap perkebunan sawit, tidak menyurutkan keyakinan pemerintah daerah untuk terus membangun sektor perkebunan karena diyakini akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan.
Beberapa catatan peristiwa penolakan masyarakat terhadap perkebunan sawait tersebut di atas adalah pada Rabu, 21 Oktober 2010, ratusan masyarakat adat Dayak Loksado, subetnis Dayak Meratus di HSS menggelar aksi demo menentang kebijakan perkebunan sawit.
Kemudian pada Kamis, 5 April 2012, sebagian masyarakat yang merasa aspirasinya tidak didengar, kembali melakukan demo dan mengakibatkan seorang petugas keamanan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Surya Langgeng Sejahtera (SLS) tewas terbunuh.
Selain di HSS, sengketa lahan juga terjadi di Kabupaten Tanah Bumbu. Pada 25 Januari 2012, kristalisasi dari masalah sengketa lahan antara masyarakat adat Dayak Kotabaru, subetnis Dayak Meratus di Kabupaten Tanah Bumbu dengan perusahaan pertambangan batu bara setempat, juga berujung aksi kekerasan.
Peristiwa tersebut diwarnai isu kerusuhan antaretnis sehingga membuat sebagian warga harus mengungsi ke beberapa daerah lain.
Masih di bulan yang sama, ratusan masyarakat adat di Buntu Karau, Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan, terpaksa menempuh perjalanan sejauh lebih dari 225 km ke Kota Banjarmasin untuk mengadukan nasib mereka.
Menurut mereka, sejak 2007, sengketa lahan antara masyarakat adat Dayak Balangan, subetnis Dayak Meratus di Balangan dengan perusahaan pertambangan nasional PT Adaro Indonesia tak kunjung selesai.
Lahan tersebut dimiliki oleh 19 warga setempat dengan nilai per hektarnya antara Rp500 juta hingga Rp600 juta, yang hingga kini tak kunjung ada pergantian.
Transparansi
Wakil Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel, Juliade, memandang maraknya kasus sengketa lahan terjadi karena dua faktor. Pertama karena kurangnya transparasi dari pihak perusahaan, dan kedua karena adanya oknum masyarakat adat itu sendiri yang memanfaatkan keadaan.
"Contohnya seperti proses pembebasan lahan oleh perusahaan yang dilakukan menggunakan jasa mediator. Masyarakat tidak pernah bertemu langsung dengan pihak perusahaan. Ibaratnya, penjual dan pembeli tidak saling mengetahui," ujarnya.
Hal tersebut kemudian membuat patokan harga menjadi tidak jelas. Muncul kesimpangsiuran informasi yang di perparah oleh adanya pihak-pihak yang sangat mungkin memanfaatkan keadaan.
Menurut Juliade, kemunculan perusahaan, mau tidak mau membuat tatanan kehidupan masyarakat adat setempat berubah. Pola mata pencaharian dan kehidupan sosial kemasyarakatan mengalami pergeseran.
Masyarakat yang dulunya menjunjung tinggi kekerabatan, kini terpecah karena tuntutan kebutuhan ekonomi yang tinggi akibat tinggal di kawasan perkebunan dan pertambangan.
"Kondisi tersebut sangat mungkin memunculkan oknum-oknum baik dari kalangan masyarakat itu sendiri maupun di lingkup perusahaan yang memanfaatkan keadaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan masyarakat adat," kata Juliade.
Masyarakat adat Dayak Meratus tidak mengenal budaya konsumtif. Mereka selama ini hidup berdampingan dengan alam dengan sangat harmonis. Mereka mampu menerapkan kebijakan-kebijakan dalam pembagian wilayah hutan.
Masyarakat adat Dayak Meratus memberlakukan wilayah "katuan larangan" (hutan larangan). Dalam wilayah itu, segala aktivitas pemanfaatan lahan seperti "bahuma atau manugal" (bertani atau berladang) tidak diperbolehkan.
Ada lagi wilayah "katuan adat" (hutan adat). Wilayah tersebut milik Balai yang sebagian boleh dibuka untuk "bahuma" (berladang).
Masyarakat sekitar Balai diperbolehkan menebang pohon di wilayah itu, namun hanya untuk kebutuhan membangun rumah dan kayu bakar. Pohon-pohon besar tempat lebah bersarang dan pohon penghasil damar, tidak boleh ditebang.
Menurut dia, sebagai etnis yang menjunjung tinggi harga diri dan nilai-nilai kearifan lokal, Dayak Meratus lebih mengedepankan hal-hal budaya dengan nilai-nilai rohaniah. Karena itulah, mereka memberlakukan wilayah �katuan karamat� (hutan keramat) di wilayah Balai masing-masing yang diperuntukkan khusus bagi kawasan perkuburan dan sama sekali tidak boleh dimanfaatkan selain untuk pemakaman para leluhur.
Masyarakat adat Dayak Meratus, selain bahuma juga berkebun. Karena itulah, diberlakukan wilayah khusus untuk �bakabun gatah� (berkebun karet). Wilayah itu berbeda dengan �pahumaan� (persawahan).
Di wilayah itu khusus ditanami pohon gatah atau para (karet) untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi. Sedang pahumaan adalah kawasan yang ditanami tanaman jangka pendek seperti padi dan palawija. Wilayah itu biasanya berada cukup jauh dengan permukiman.
Untuk kawasan permukiman atau Balai, masyarakat adat Dayak Meratus hanya mengambil sebagian kecil saja dengan luasan kurang dari 2 hektare. Kawasan permukiman biasanya terletak di daerah �datar� (lembah) atau �taniti� (perbukitan kecil) yang relatif landai dan dekat sungai.
Kalaupun wilayah-wilayah tersebut harus �dipindahkan� karena adanya aktivitas perkebunan atau pertambangan, pergantian yang diminta biasanya bukan berbentuk uang.
Biasanya masyarakat adat akan meminta pihak perusahaan mengganti dengan menggelar pelaksanaan upacara adat, memberikan persembahan berupa barang dan hewan maupun pembangunan balai-balai adat. "Karena wilayah-wilayah tersebut tidak diperjualbelikan, kecuali wilayah permukiman dan persawahan. Karena itu, agak kontradiktif bila kemudian ada masyarakat adat Dayak Meratus menuntut miliaran rupiah untuk sebuah wilayah adat," ujar Juliade.
Batasan-batasan wilayah adat pun saat ini semakin kabur. Pembagian batasan wilayah adat yang dilakukan dengan cara bertutur, membuat tak semua masyarakat adat Dayak Meratus mampu mengetahuinya. Tak banyak tetuha adat yang bisa menuturkannya lagi dan nyaris tak ada generasi muda yang mau menanyakannya.
Kunci
Menurut dosen dan peneliti Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Lambung Mangkurat, A Halim Barkatullah, konflik lahan terjadi karena adanya tiga kepentingan yang saling terkait. "Yakni, kepentingan pemerintah baik pusat maupun daerah, pelaku usaha baik perkebunan, kehutanan maupun pertambangan, serta kepentingan masyarakat itu sendiri yang berperan memicu terjadinya konflik lahan," ujarnya.
Masyarakat, dalam hal ini masyarakat adat Dayak Meratus di Kalsel, terbagi menjadi dua yaitu mereka yang sudah mengenal ekonomi dan budaya konsumtif, serta yang masih berpegang teguh pada budaya tradisional tanpa adanya sifat meterialistis.
Senada dengan Juliade, A Halim Barkatullah memandang sangat mungkin munculnya oknum-oknum dari masyarakat adat itu sendiri yang memanfaatkan keadaan. Mereka yang telah mengenal budaya konsumtif kemudian melakukan tindakan �memperalat� kaumnya sendiri dengan mengatasnamakan masyarakat adat untuk mengeruk keuntungan pribadi.
"Kondisi tersebut mungkin terjadi bila ada hubungan antara oknum dengan orang dalam perusahaan," kata Juliade.
Juliade menilai, oknum dari masyarakat adat tidak akan punya akses dan sulit untuk bergerak bila tidak adanya `bantuan` dari orang dalam. Karena itulah, pihak perusahaan dalam hal ini sangat perlu mengkaji ulang dan mewaspadai kemungkinan adanya `mafia tanah` di tubuh peruahaan itu sendiri.
Salah seorang tokoh masyarakat adat Dayak Pitap, subetnis Dayak Meratus di Balangan menyayangkan adanya oknum yang menggunakan nama masyarakat adat sebagai tameng dan pembenar sebuah tuntutan.
"Terus terang, aksi-aksi demo yang mengatasnamakan Suku Dayak sangat memprihatinkan. Karena yang terlibat demo hanya beberapa oknum warga kami, yang tidak mewakili aspirasi masyarakat adat Dayak secara keseluruhan," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Halim Barkatullah menilai, pemerintah daerah memiliki peran kunci, dalam mengatasi masalah sengketa lahan antara masyarakat adat dan perusahaan.
"Sumber utama permasalahan sengketa lahan yang terjadi di Kalsel adalah tidak adanya perhatian pemerintah daerah setempat yang di wilayahnya terdapat masyarakat adat," ujarnya.
Mengacu pada Keputusan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999, pemerintah daerah bisa saja membuat sebuah Peraturan Daerah (Perda) yang mengakui keberadaan masyarakat adat beserta batasan wilayahnya.
Dalam keputusan itu disebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya wilayah adat bisa dilakukan melalui penelitian oleh pemerintah daerah bersama kalangan akademisi.
"Tetapi, langkah tersebut tidak pernah dilakukan oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten di Kalsel," katanya.
Tidak adanya kepastian wilayah adat, membuat batasan tentang hal tersebut menjadi rancu. Kondisi itulah kemudian yang diduga dimanfaatkan oleh mereka yang ingin mengambil keuntungan pribadi dan kelompok untuk mengklaim sebuah wilayah tertentu dengan mengatasnamakan masyarakat adat.
"Bila tidak segera diselesaikan, persoalan tersebut akan menjadi bom waktu yang siap meledak suatu saat nanti," kata Halim.
Koordinator Biro Penegakan HAM, Komnas HAM RI, Sriyani saat dikonfirmasi di Jakarta pada April lalu menyatakan kesiapannya untuk mendampingi komunitas masyarakat adat menyuarakan hak mereka.
"Komnas HAM siap melakukan pendampingan sebagai mediator untuk mempertemukan masyarakat adat, pemerintah daerah dan pihak perusahaan agar dapat duduk satu meja menyelesaikan permasalahan yang ada," ujarnya.
Menurut dia, masyarakat adat bisa mengajukan "yudicial review" kepada Mahkamah Agung bila merasa ada Undang-Undang yang tidak memihak atau merugikan mereka.
Terkait dengan maraknya aksi demo yang mengatasnamakan masyarakat adat, dipandang sebagai masalah ikutan yang muncul akibat dari tidak adanya ketegasan dan penyelesaian terhadap permasalahan yang ada.
"Konflik lahan akan sulit diselesaikan selama pemerintah daerah setempat tidak memberikan pengakuan terhadap hak-hak dan wilayah adat. Komnas HAM hanya bisa menjadi mediator hingga dicapai kesepakatan," katanya. Nadi/C