Usai membaca pesan singkat dari salah satu keluarganya di Desa Sei Kupang Jaya, Kelumpang Selatan, Kotabaru, Kalsel, Siti seorang ibu rumah tangga beranak tiga asal Lamongan, Jawa Timur wajahnya terlihat sumringah.
Berbeda dari hari-hari sebelumnya, ia sering uring-uringan setiap kali anak-anaknya minta uang jajan, karena lebih sepekan itu keuangan rumah tangganya sedang menipis.
Keceriaan warga transmigran itu cukup beralasan, lantaran, kebun plasma miliknya mulai membuahkan hasil lumayan besar dari beberapa bulan sebelumnya.
Sambil tersenyum, Siti berharap hasil kebun plasma mencapai Rp1,4 juta per hektare (ha). Karena sebelumnya, kebun kelapa sawit yang telah berpoduksi sekitar tujuh tahun itu belum pernah mencapai hasil lebih dari Rp1 juta per ha.
Untuk menghilangkan penasarannya itu, dengan spontan Siti berniat menelepon langsung kepada keluarganya yang mengirimkan pesan singkat.
"Memang benar, bulan ini pendapatan plasma sawit untuk Desa Pantai Baru dan Bumi Asih sebesar Rp1,4 juta per ha, sedangkan Sangking Baru Rp1,5 juta per ha," kata keluarga Siti, Ambo Pendi.
Mendengar penegasan Ambo Pendi, Siti langsung saja menutup telepon genggamnya, seraya mengucapkan rasa syukur.
"Syukurlah bulan ini kita bisa membayar hutang," ujar Siti lirih. Siti yang memiliki beberapa hektare kebun plasma itu mengaku, belum pernah menerima hasil panen kebunnya di Bumi Asih lebih dari Rp1 juta per ha.
Jika yang lain menerima Rp700 ribu per ha, untuk Bumi Asih hanya sekitar Rp50 ribu-Rp200 ribu per ha. Bahkan terkadang juga kosong, tidak ada hasilnya.
Alasan yang disampaikan pengurus koperasi Gajah Mada sebagai pengelola kebun plasma cukup klasik, yakni biaya angkut cukup tinggi, karena jarak pabrik kelapa sawit dengan lokasi kebun sangat jauh.
Sementara perolehan tandan buah segar (TBS) juga tidak banyak.
Sehingga petani diminta untuk tetap sabar, karena hasilnya belum begitu besar, demikian, Rochmad yang juga pemilik plasma di Bumi Asih.
Jawaban tersebut dianggap sebagian pemilik plasma sebagai jawaban untuk menyelamatkan diri agar tidak ada pertanyaan lanjutan, yang membuat petani enggan menggali informasi lebih dalam lagi terkait minimnya pendapatan plasma.
"Mudah-mudahan hasil plasma Rp1,4 juta ini bukan yang pertama dan terakhir," kata pemilik plasma di Bumi Asih Ahmad Nurul Huda.
Dikhawatirkan pembagian hasil sawit lebih dari satu juta rupiah itu hanya untuk menghibur peserta plasma, karena selama ini hasilnya sangat kecil.
Bahkan para petani mengharapkan ke depan hasilnya bisa lebih besar lagi, lumayan untuk biaya kuliah, demikian lanjur Nuruh mahasiswa tekhni sipil Institut Teknologi Surabaya.
Dia mengaku sangat terbantu dengan hasil kebun plasma sawit milik orangtuanya itu.
Karena naiknya harga barang akhir-akhir ini, Nurul mengaku terpaksa harus menghemat dan mengelola semaksimal mungkin uang yang dikirim oleh orangtuanya.
Bahkan katanya, terkadang ia terpaksa harus menunda kegiatan yang terkait kuliahnya, karena dananya belum ada.
Akan tetapi dengan besarnya pendapatan kebun sawit bulan ini, anak kedua daro Rocmad itu berencana menyelesaikan semua kegiatan dan tugas yang ditundanya.
Ketua Koperasi Unit Desa Gajah Mada H Junaidi mengatakan pendapatan hasil plasma tergantung dari penjualan hasil panen TBS dan biaya transportasi.
"Karena biaya itu menjadi tanggungjawab pemilik kebun," ujarnya.
Junaidi mengaku, hingga saat ini KUD Gajah Mada mengelola kebun plasma seluas 7.200 ha milik sekitar 5.400 masyarakat di 13 desa di tiga kecamatan di Kelumpang Hilir, Kelumpang Hulu dan Kelumpang Selatan.
Sebagian kebun plasma itu sudah lunas, tidak memiliki pinjaman di bank, namun sebagian besar masih memiliki pinjaman yang harus dibayar dari hasil panen.
Perolehan kebun yang sudah tidak memiliki pinjaman bisa mencapai hampir dua kali lipat, kata Junaidi beberapa waktu lalu.
Lebih untung swadaya
PNS di SDN Sei Kupang Jaya, Kelumpang Selatan, Narso, mengaku, hasil kebun yang ditanami sendiri lebih besar dari kebun yang dikelola KUD Gajah Mada.
Narso mengaku, untuk minggu pertama November mendapatkan hasil panen sekitar 6,5 ton atau sekitar Rp7 juta untuk enam hektare kebun plasma yang baru berproduksi.
"Jika dihitung-hitung, satu bulan hasil kebunnya bisa mencapai sekitar Rp14 juta, padahal kebun kami sebagian masih buah pasir," terangnya.
Dia mengaku, pendapatan hasil panen sawit yang ditanami sendiri akan terus meningkat seiring semakin banyaknya buah tandan segar dan membaiknya harga TBS rata-rata Rp1.200 per kg.
Dengan semakin membaiknya harga TBS, dia berencana akan terus memperluas tanaman kelapa sawitnya dengan menenam sendiri, meskipun ia juga memiliki sekitar lima ha kebun plasma.
Sedangkan warga Banjarmasin Shohib, mengaku, akan mengikuti jejak Narso untuk menanam kelapa sawit dengan cara swadaya.
"Saat ini kami sudah punya 3 hektare kebun kelapa sawit tanaman sendiri yang siap berbuah, jika modalnya ada kami akan kembali menambah, dan ingin merasakan gurihnya sawit," paparnya.
PETANI BARU RASAKAN GURIHNYA BUAH SAWIT Oleh Imam Hanafi
Kamis, 18 November 2010 11:04 WIB