"Kalau melihat keadaan atau pengalaman 2016, ekonomi kerakyatan di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang terdiri atas 13 kabupaten/kota ini pada tahun 2017 masih mengandalkan sektor pertanian," katanya di Banjarmasin, Selasa.
Pasalnya, tutur laki-laki yang juga pebisnis itu, untuk sektor lain masih belum menggembirakan, seperti usaha pertambangan batu bara yang ketergantungan dengan pasaran dunia, kendati perkembangan terakhir mulai bangkit dari kelesuan.
Namun, lanjut anggota DPRD Kalsel pengganti antarwaktu (PAW) dari Partai Golkar atau yang baru 29 Desember lalu sebagai wakil rakyat itu, usaha pertanian tersebut perlu peningkatan pembinaan dan pengembangan dari pemerintah daerah (Pemda) setempat.
"Tanpa peningkatan pembinaan dan pengembangan pertanian, seperti agribisnis kurang maksimal atau tidak mendatangkan nilai tambah yang berarti (signifikan)," tutur Karli yang juga akrab dengan panggilan Akang itu.
"Apalagi untuk mengarah kepada agro industri, memerlukan peningkatan pembinaan dan pengembangan," ujar laki-laki bergelar doktor, sarjana hukum dan magister hukuk kelahiran Banjarmasin, 26 Agustus 1952 tersebut.
Menurut wakil rakyat yang
seorang pebisnis tersebut, Kalsel dengan luas wilayah sekitar 37.000 kilometerpersegi memiliki sumber daya yang cukup potensial untuk agribisnis dan agro industri, tinggal peningkatan pembinaan dan pengembangan.
Sebagai contoh usaha perkebunan jeruk Sungai Madang Kabupaten Banjar dan Sungai Kambat Kabupaten Barito Kuala (Batola) memungkinkan untuk pengembangan dan pengalengan, sebagaimana halnya jeruk Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar).
"Saya kira potensi jeruk Kalsel tidak kalah dengan Kalbar, tinggal bagaimana kita mengolah menjadi produk yang lebih bernilai ekonomis serta dapat mendatangkan nilai tambah bagi daerah dan masyarakat setempat," lanjut alumnus Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu.
Begitu pula hasil buah-buah lain di Kalsel tampaknya memiliki potensi, tinggal bagaimana mengolah atau mengemas agar bernilai jual lebih dan menarik konsumen, seperti pisang, nenas dan nangka yang selama ini pemanfaatannya terkesan masih tradisional.
"Sebab kalau menjualnya dalam bentuk mentah atau aslinya, kemungkinan buah kita kalah bersaing dengan impor yang belakangan semakin terbuka dan membanjiri pasar buah-buahan dalam negeri Indonesia," demikian Akang.