Sungai sebagai salah satu sumber kehidupan menjadi tumpuan bagi sekitar 8 miliar umat manusia yang kini menghuni Planet Bumi untuk bertahan hidup.
Air merupakan komponen terpenting bagi kehidupan yang menyuplai 70--80 persen kebutuhan tubuh manusia. Tanpa air, manusia akan mengalami dehidrasi.
Merujuk fakta tersebut, krisis air permukaan dalam konteks politik dan geologi berpeluang memicu perebutan daerah aliran sungai yang membelah wilayah perbatasan antarnegara.
Perang memperebutkan sumber air boleh jadi tak sekadar mitos. Laporan Pacific Institute menyebut konflik air kian menguat hampir di seluruh benua dalam dua dekade terakhir.
Pada 2010--2019, konflik air melonjak di Asia hingga tiga kali lipat dari 111 kasus menjadi 388 kasus dari dekade 2000--2009. Dalam periode yang sama di Afrika, meningkat dari 68 kasus ke 150 kasus.
Situasi serupa juga melanda Amerika Latin dan Karibia yang meningkat 18 kasus ke 61 kasus, Eropa meningkat dari 13 kasus menjadi 18 kasus, Amerika Utara meningkat dari tujuh kasus menjadi 10 kasus. Hanya Australia dan Selandia Baru dengan nol kasus konflik air.
Contoh terakhir adalah peningkatan eskalasi ketegangan Amerika Serikat dan China akibat China membangun 11 SuperDAM di sepanjang Mekong, berakibat berkurangnya suplai air sungai ke beberapa negara Asia di bagian hilir.
Pun dengan meningkatnya ketegangan China-India dan beberapa negara Asia Selatan yang dialiri oleh Sungai Brahmana karena China membangun DAM di sepanjang aliran sungai itu.
World Water Forum Ke-10 pada 18--24 Mei 2024 di Bali, melihat hal itu sebagai salah satu ancaman serius bagi keberlangsungan sumber air yang dimiliki Bumi di tengah persediaan yang kian menipis.
Bumi memang dijuluki sebagai The Blue Planet, sebab 72 persen permukaannya diselimuti air. Sayangnya, hanya tersisa 1 satu persen air di permukaan Bumi yang layak, sehingga terus diperebutkan oleh sekitar 8 miliar manusia sebagai air minum dan keperluan sanitasi.
Laporan PBB melalui World Water Development menyebutkan 2,2 miliar orang di tahun ini tidak memiliki akses terhadap air minum. Selain itu, ada 1,4 miliar orang di 2022 yang terdampak kekeringan.
Selain itu, pada kurun yang sama juga terdapat 10 persen migrasi global karena pengaruh kekurangan air.
Kontribusi RI
Diplomasi Indonesia atas permasalahan air di forum dunia dicatat dalam sejarah sebagai tuan rumah penyelenggaraan WWF Ke-10. Indonesia meraup 30 lawan satu suara dari total 36 Board of Governors (BoG) of the World Water Council di Sidang Umum World Water Council (WWC), pada 19 Maret 2022 di Dakar, Senegal.
Sebagai tuan rumah, Indonesia membidani lahirnya Bali Basin Action Champions Agenda yang mencakup kolaborasi lintasnegara untuk memberi perhatian lebih pada isu pengelolaan sumber daya air terpadu pada wilayah sungai.
Agenda itu mengonsolidasikan pengelolaan wilayah sungai sebagai prioritas politik dengan terus memasukkan isu wilayah sungai pada segmen politik tingkat tinggi, selain segmen kementerian, parlemen, dan pemerintah daerah.
Komisi Eropa mengambil bagian dalam 160 negara anggota WWF untuk berkontribusi dalam bentuk proyek global peer-to-peer untuk organisasi wilayah sungai dan peningkatan kapasitas dan program kembaran IWRM antarorganisasi wilayah sungai.
Pun dengan Badan Pembangunan Prancis yang akan berkontribusi dalam bentuk proyek peningkatan kapasitas organisasi pada wilayah sungai lintas negara di Afrika.
Bali Basin Champions Agenda mencakup langkah kolaboratif, seperti peluncuran Twin Basin Initiative (TBI), berupa program global peningkatan kapasitas dan pertukaran pengalaman antarsesama organisasi dari seluruh dunia yang bekerja dalam pengelolaan sumber daya air terpadu di tingkat wilayah sungai nasional maupun lintas negara.
Untuk mencapai hal ini, TBI akan mendukung kegiatan peningkatan kapasitas bersama, seperti webinar, pertukaran tatap muka, kunjungan studi, serta penyebaran pembelajaran dalam skala global seperti peer to peer dan ke masyarakat.
Khazanah Indonesia
Salah satu misteri terbesar peradaban sungai di Indonesia saat ini adalah reruntuhan bangunan bata ppaksarvdslbada areal seluas 3.981 hektare di Pulau Sumatera yang tercatat sejarah sebagai Swarnabhumi atau Pulau Emas.
World Water Forum Ke-10 mengangkat peradaban Sungai Batanghari di Provinsi Jambi sebagai topik diskusi bertema "The power of local culture and knowledge for better water management".
Diperkirakan, tak kurang dari 115 benda tinggalan arkeologi di abad ke-7 hingga 13 Masehi yang bersembunyi rapat di antara vegetasi hutan Sungai Batanghari menjadi saksi bisu dari praktik kemakmuran air yang berkeadilan.
Sejak kali pertama ditemukan oleh seorang perwira angkatan laut Kerajaan Inggris bernama S.C. Crooke pada 1820, Sungai Batanghari sepanjang 800 kilometer melintasi Jambi merupakan gerbang masuk para saudagar dari sejumlah negara, seperti China, India, Persia, hingga Arab.
Tinggalan arkeologi menunjukkan adanya pola hidup masyarakat akuatik di sekitar bantaran, di antaranya prasasti, candi/situs, area pemukiman, perahu kuno, keramik, jam batu, hingga arsitektur bangunan.
Kawasan Candi Muarojambi diapit dua parit yang menjadi anak Sungai Batanghari. Arkeolog meyakini, parit itu adalah koridor transportasi air yang menghubungkan antarkawasan candi.
Sungai Batanghari sebagai pusat perniagaan, telah mengambil peran besar dalam peradaban ilmu pengetahuan, seperti biologi, alam, perbintangan, hingga ilmu pasti, yang lahir dari pertukaran budaya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid menyebut peradaban jalur rempah di Batanghari membentang dari kawasan Pasifik sampai pantai timur Afrika.
Ini bukan hanya satu jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau melalui jalur laut, tetapi juga sistem sungai yang sangat kompleks di nusantara ini.
Khazanah budaya Batanghari dapat kembali dihidupkan di masa sekarang dengan dukungan sains dan teknologi modern untuk menjawab sebagian persoalan air global secara bijak dan lestari.
Editor: Masuki M. Astro