Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu mengatakan rehabilitasi 3.962 korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang dilakukan pihaknya dalam 10 tahun terakhir bukan merupakan impunitas atau pembebasan hukuman kepada pelaku.
Edwin Partogi Pasaribu, berdasarkan keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat, menegaskan rehabilitasi yang dilakukan LPSK sepanjang tahun 2012-2021 itu bukanlah pengganti bagi para korban untuk mencari kebenaran dan memperjuangkan keadilan.
“Kita tetap mendorong negara untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM yang berat melalui mekanisme pro yustisia ataupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),” kata dia pula.
Para korban yang direhabilitasi oleh LPSK, kata Edwin, merupakan korban dari tujuh peristiwa pelanggaran HAM berat. Di antaranya adalah Peristiwa 1965, Penculikan atau Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari Lampung 1989, Jambu Keupok 2003, Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) 1999, dan Rumah Geudong Aceh 1990-1999.
Lalu, rehabilitasi yang diberikan, ujar dia, tersedia dalam beberapa bentuk, seperti layanan bantuan medis, rehabilitasi psikologis, dan rehabilitasi psikososial.
Lebih lanjut, Edwin memaparkan bantuan medis diberikan kepada 3.835 korban, rehabilitasi psikologis kepada 622 korban, dan rehabilitasi psikososial kepada 31 korban.
Di samping itu, ia juga memaparkan persebaran wilayah asal para korban yang direhabilitasi itu.
“Korban pelanggaran HAM berat yang telah direhabilitasi LPSK, domisilinya tersebar di 20 provinsi di Indonesia. Terbanyak berada di Jawa Tengah (2.488), Sumatera Barat (538), Yogyakarta (284), Jawa Barat (178), dan Jawa Timur (152),” kata Edwin.
Selain tujuh peristiwa tersebut, Edwin mengatakan Komnas HAM juga telah menetapkan 8 peristiwa lain sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.
Peristiwa-peristiwa tersebut adalah Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Trisakti, Tragedi Semanggi I dan Semanggi II, dan Pembantaian Banyuwangi 1998. Ada pula peristiwa Wasior, Wamena, Paniai (Papua), Timor Timur, dan Abepura.
Khusus peristiwa pelanggaran HAM berat di Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura, ujar Edwin, ketiganya sudah pernah disidangkan melalui Pengadilan HAM. Akan tetapi, semua pelaku yang dihadapkan di muka persidangan divonis bebas.
Edwin berharap sisa masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dapat dimaksimalkan untuk menuntaskan persoalan pelanggaran HAM berat di Indonesia.
“Dalam 3 tahun ke depan kepemimpinan, Presiden Jokowi baiknya menuntaskan PR (pekerjaan rumah) untuk menghadirkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM yang berat,” kata Edwin pula.