Banjarmasin (Antaranews Kalsel) - CEO WWF-Indonesia Dr Efransjah berpendapat keunikan bekantan (Nasalis larvatus) yang merupakan hewan endemik Pulau Kalimantan perlu diteliti para ahli.
"Saya berharap para peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Tanah Air berlomba melakukan penelitian mengenai bekantan yang unik ini" kata Efransjah saat peluncuran buku "Bekantan Perjuangan Melawan Kepunahan," di Banjarmasin, Rabu.
Menurut Efransjah yang memimpin organisasi konservasi sejak 15 Juni 2010, banyak keunikan dan misteri bekantan. Sebagai contoh, mengapa hidung kera yang sering disebut sebagai kera belanda ini begitu mancung, dan mengapa perut kera ini besar atau buncit.
Kemudian kera yang berbadan kuning kemerahan ini beratnya bisa 10 kg, 20 kg, bahkan 30 kg, tetapi mudah saja melompat-lompat di dahan pohon maupun di daratan. Lalu, kera ini tak pernah kena penyakit malaria walaupun berada di hutan berawa-rawa yang merupakan kawasan nyamuk malaria.
Apakah mungkin makanan mereka yang berasal dari dedaunan di hutan rawa galam yang menyebabkan satwa ini kuat terhadap serangan malaria. "Maka, diperlukan penelitian-penelian lagi," katanya dalam peluncuran buku yang digelar Sahabat Bekantan Indonesia (SBI).
Bekantan berperut besar dan buncit bagaikan orang hamil karena di dalam perut menyimpan banyak makanan berupa dedaunan. Bekantan termasuk binatang herbevora murni, dan di dalam perut binatang ini ada cairan hitam yang kemungkinan yang bermanfaat bagi kera jenis ini.
Dengan keunikan dan misteri ini, jangan sampai kera ini punah.Riset perlu dilakukan sebab siapa tahu akan memberikan manfaat bagi kehidupan lainnya pada masa mendatang.
Efransjah yang dilahirkan di Kabupaten Asahan, Sumatra Utara, pada 6 Juni 1956, mengetaka, bekantan hanya ada di Kalimantan, meski pulau tersebut pernah bersatu dengan daratan Sumatera dan jawa.
Efransjah pernah menjabat sebagai Koordinator Regional untuk wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR) di Indonesia.
Beberapa jabatan penting juga pernah diembannya, di antaranya adalah Senior Adviser for External Relations di Kantor Direktorat Jenderal CIFOR yang membawahi Liaison Office Indonesia dan Koordinator Sekretariat Asia Forest Partnership (AFP).
Sebelum bergabung bersama CIFOR pada pertengahan September 2008, Efransjah berkarier di United Nations Development Programme (UNDP) sebagai Chief Technical Adviser yang menggawangi proyek besar Global Environment Facility (GEF) yang berfokuskan pada Konservasi Keanekaragaman Hayati Ekosistem Lahan Basah (2002-2008) di Negara Bagian Malaysia yaitu Pahang, Sarawak, dan Sabah.
Memulai karier di Departemen Kehutanan (1981-1992), Efransjah menempuh tantangan baru ketika mewakili Indonesia di International Tropical Timber Organization (ITTO) di Yokohama, Japan sebagai Project Manager untuk kawasan Asia Pasifik sejak 1993 sampai 2002.
Ahli kehutanan ini adalah alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) kemudian di Prancis meraih gelar master dan doktor bidang "sciences du bois (forest science), di Universite de Nancy I, pada 1998.