Pemerintah harus menghentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia untuk menjadi pembantu rumah tangga ke luar negeri, kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Tenaga Kerja, Sosial, dan Transmigrasi Kotabaru Abdul Muin MH.
"Sebagian besar kekerasan dan kesewenang-wenangan majikan atau bos banyak dialami oleh para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sebagai pembantu rumah tangga," kata Muin, dengan tidak menyebutkan jumlahnya secara rinci.
Salah satu penyebab tindakan kesewenang-wenangan itu adalah pembantu rumah tangga dipandang remeh dan tidak berdaya oleh para majikan. Sehingga majikan bisa berbuat apa saja kepada para pembantunya, meski hal itu melanggar hukum.
Menurut Muin, selama Indonesia masih mengirimkan TKI sebagai pembantu rumah tangga, maka masalah kekerasan dan masalah lainnya akan terus bermunculan silih berganti.
Seperti kasus yang dialami oleh Ruyati binti Sapubi yang dihukum pancung di Arab Saudi Sabtu (18/6) karena mengaku bersalah telah membunuh seorang wanita Saudi.
"Kasus Ruyati hendaknya dijadikan pelajaran bagi pemerintah dan para Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), serta calon TKI," harapnya.
Kekerasan yang dilakukan oleh TKI, khususnya pembantu rumah tangga mungkin saja sebagai upaya membela diri karena tidak tahan disiksa dan dianiaya secara terus menerus oleh sang majikan.
Namun setelah masalah tersebut dibawa ke meja hukum, pembantu rumah tangga dalam posisi yang lemah, ia tidak bisa membela diri dan dipersalahkan.
"Seperti yang dialami oleh Ruyati, jika benar Ruyati telah membunuh, apakah ada yang tahu kenapa ia harus membunuh.Mungkin bisa jadi ia ingin membela diri karena telah diperlakukan buruk dan semena-mena," katanya.
Ia mengatakan agar masalah tersebut tidak terulang pada TKI yang berprofesi sebagai pembantu rumah tangga atau yang lainnya yang telah diperlakukan buruk.
Mulai saat ini pemerintah harus membuat keputusan, pelarangan pengiriman tenaga kerja untuk pembantu rumah tangga.
Sebagai gantinya, TKI yang akan mendaftar sebagai pembantu rumah tangga diberi ketrampilan, seperti menjahit, memasak, atau yang lainnya, tambahnya.
Mereka tetap akan menjadi TKI namun untuk mengisi lowongan sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan pakaian jadi, restoran, dan industri-industri berskala besar.
Selain memudahkan untuk pemantauan, ujarnya di lingkungan industri TKI akan mendapatkan upah atau gaji lebih layak dibandingkan dengan gaji sebagai pembantu rumah tangga.
Bahkan para TKI tidak akan mendapatkan perlakuan semena-mena dari pimpinnya, karena mereka bekerja di ruang atau tempat yang mudah dijangkau oleh orang lain.
Sangat berbeda dengan menjadi pembantu rumah tangga, dimana tempat ia bekerja tertutup dan tidak mudah dijangkau oleh orang lain.
Sehingga para majikan bebas memperlakukan pembantunya sesuai dengan kehendaknya, meski harus menyiksa fisik dan melanggar hukum.
Lebih lanjut dikatakannya, bekerja di lingkungan industri juga memiliki jam kerja yang jelas, hal itu membuat para TKI, khususnya kaum perempuan bisa menjaga kesehatannya.
"Sangat berbeda jika menjadi pembantu rumah tangga, tidak memiliki waktu kerja yang jelas, mungkin saja jam kerja pembantu dimulai sebelum majikannya bangun dan berakhir hingga majikannya kembali tidur," katanya.
Kondisi tersebut membuat TKI lemah tak berdaya dan sensitif, karena letih setelah bekerja labih dari 12 jam.
Penghentian pengiriman TKI sebagai pembantu rumah tangga dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan cara membuat program pelatihan dan ketrampilan khusus bagi TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri, katanya.
Melalui Balai Latihan Kerja (BLK) pemerintah daerah harus bekerja sama dengan perusahaan penyalur atau PJTKI.
"Calon TKI yang akan menjadi pembantu diarahkan dan dilatih ketrampilan sesuai bakat atau permintaan industri negara tujuan selama enam bulan atau bahkan satu tahun," katanya.
Ia mengatakan terpenting adalah pelatihan dan ketrampilan tersebut, harus diperoleh calon TKI dengan gratis tanpa membayar sepeserpun.
Setelah menguasai ketrampilan yang dimaksud, TKI tersebut diberangkatkan setelah kontrakkerja ditandatangani oleh kedua belah pihak.
"Bukan cukup disitu saja, pemerintah daerah bersama-sama PJTKI harus melakukan pemantauan secara berkala enam bulan sekali atau tiga bulan sekali," tambahnya.
Hal itu untuk melihat sejauhmana hak dan tanggungjawab antara TKI dan industri/pemakai jasa TKI menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya sesuai nota kesepahaman, ujarnya.
"Jika hal itu dilaksanakan, Insya Allah tidak ada lagi konflik yang terjadi antara TKI dan industri/pemakai jasa TKI," imbuhnya.
Namun sebaliknya, jika Indonesia masih tetap mengirimkan TKI sebagai pembantu rumah tangga hanya bermodalkan keinginan yang didorong faktor ekonomi.
Persoalan demi persoalan yang berbeda akan terus bermunculan, dan pemerintah akan terus mendapat kecaman dari berbagai institusi, bahkan dari negara lain, katanya.
Mereka berpendapat yang berbeda-beda, bahkan pemerintah dituding telah mengabaikan para pejuang devisa dengan tidak membekali ketrampilan dan membela saat TKI bermasalah dengan majikannya.
Belum selesaikan masalah
Gubernur Kalimantan Selatan H Rudy Ariffin dalam menanggapi masalah tersebut menyatakan, moratorium TKI keluar negeri, belum tentu menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.
Secara pribadi, Rudy belum sependapat dengan kebijakan moratorium TKI keluar negeri.
Menurut Gubernur Kalsel dua periode itu, kalau dilakukan moratorium, maka bisa terjadi TKI ilegal dan hal tersebut bukan saja menambah masalah, tapi makin tambah rumit permasalahan.
"Karena mereka ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih layak yang bisa meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan kehidupan keluarga, sehingga terkadang dengan cara apa pun dilakukannya, termasuk ilegal," lanjutnya.
Yang terpenting menurut dia, bagaimana cara mendorong atau memotivasi pencari kerja keluarga negeri agar melakukan Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia yang resmi pula, bukan yang tak jelas atau ilegal.
Melalui PJTKI resmi atau legal, para pencari kerja tersebut akan mendapat pembekalan pengetahuan tentang budaya serta adat istiadat masyarakat tempatnya bakal bekerja, dan latihan keterampilan.
"Kita akan lebih mudah memantau serta melakukan penanganan jika terjadi permasalahan di tempat mereka bekerja," lanjut gubernur.
Mengenai warga Kalsel yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, karena dugaan pembunuhan, dia menyatakan, persoalan tersebut juga menjadi salah satu perhatian, seperti berupaya melakukan pendekatan kepada keluarga korban agar bisa memaafkan atas kejadian itu.
"Karena berdasarkan hukum di Arab Saudi, kalau ada maaf dari keluarga korban, maka mereka yang diduga melakukan pembunuhan itu bisa lepas dari hukuman mati atau pancung," katanya didampingi Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalsel.
Pemprov Kalsel sudah membentuk tim khusus yang menangani warga daerah yang terancam hukuman mati tersebut. Tim tersebut sudah barang tentu akan berkoordinasi dengan Satgas yang menangani masalah TKI pada tingkat pusat," demikian Rudy Ariffin.
Sementara itu, Kepala Dinas Nakertrans Kalsel, H Djumadi Masjaya, mengungkapkan, dari hasil pengecekan terakhir, ternyata ada tujuh orang warga daerahnya yang bakal terkena hukuman mati di Arab Saudi.
Mereka yang terancam hukuman mati itu, berasal dari kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) lima dan Kabupaten Tapin dua orang.
Kirim utusan
Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin segera mengirimkan tim ke Saudi Arabia untuk membantu menyelamatkan dua warga daerah tersebut dari ancaman hukuman pancung.
"Saya minta Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja segera mencari informasi dan mengumpulkan data tentang kebenaran masalah tersebut paling lambat hingga tiga hari ke depan," katanya.
Menurut Rudy, pemerintah perlu kepastian data dan permasalahan terkait hal tersebut sehingga memudahkan untuk mengambil tindakan dan langkah-langkah antisipasi.
Kalau ternyata warga Kalsel yang kini di Saudi tersebut layak untuk dibela, maka Pemprov akan mengirimkan tim yang terdiri dari Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan pihak-pihak berkompeten lainnya.
"Kita juga akan meminta orang yang mengetahui tentang masalah hukum pancung di negara tersebut untuk mendampingi tim," katanya.
Menurut Gubernur, pemerintah sangat berkepentingan mengetahui pokok persoalan dan kebenaran informasi tentang hukuman pancung tersebut.
Jangan sampai, tambah dia, warga yang akan dibela tersebut terkait kasus narkoba maupun kesalahan berat yang memang merugikan masyarakat banyak.
"Kalau kasusnya peredaran narkoba tentu akan jauh lebih sulit untuk bisa membelanya," katanya.
Tentang upaya Pemprov mengantisipasi agar kesalahan serupa tidak terjadi, tambah Gubernur pada dasarnya Pemprov Kalsel telah memperketat persyaratan pengiriman TKI dan telah melakukan program pembekalan ketrampilan.
Kesulitannya, kata dia, banyak pengiriman TKI tidak melalui jalur yang benar, sehingga pemerintah sulit untuk melakukan pantauan.
Kepala Disnakertran Kalsel Djumadi Masjaya mengatakan saat ini TKI asal Kalsel yang ada di Saudi Arabia sebanyak 3.895 orang.
Jumlah tersebut merupakan terbanyak ketiga di Indonesia setelah Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat, termasuk berbagai persoalan tentang TKI.
"Kalsel menduduki peringkat ke tiga di Indonesia untuk TKI bermasalah," katanya./C