Jakarta (ANTARA) - Satu dekade silam, Kementerian Perdagangan tengah mencari peserta lomba Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) 2011 di Provinsi Jawa Timur. Seorang pelaku UMKM setempat, Puguh Sudibyo kemudian mengajukan usahanya untuk dikurasi.
Ketika mendatangi kediaman Puguh, pihak Kemendag kemudian menyatakan bahwa Puguh tidak seharusnya menjadi peserta lomba, namun ia langsung diminta Kemendag untuk menjadi narasumber bagi UMKM di Yogyakarta dan seluruh Nusantara.
Sejak hari itu, Puguh terus diundang berbagai pihak untuk melakukan pembinaan komprehensif bagi para UMKM, terutama di sektor pangan, sesuai keahlian yang dimilikinya secara otodidak yaitu teknologi pangan.
Baca juga: Global Wakaf-ACT luncurkan gerakan bantu UMKM di masa pandemi
Hingga Agustus 2021, Puguh memiliki 188 grup WhatsApp (WA) yang berisi kelompok-kelompok UMKM dari seluruh Indonesia, yang pernah ia bina. Anggota UMKM di dalamnya diperbolehkan bertanya apa saja yang berkaitan dengan usaha pangan yang ia ajarkan.
Puguh menyediakan waktu khusus setiap hari untuk mengumpulkan berbagai pertanyaan dari grup aplikasi itu, kemudian disalin menggunakan komputer jinjing. Selanjutnya, ia tuliskan jawaban yang dibutuhkan melalui program Microsoft Word, kemudian baru mengirimnya kembali ke grup-grup tersebut.
Tidak hanya itu, ia juga membuka pintu rumah seluas-luasnya di Probolinggo, Jawa Timur, bagi UMKM binaannya di seluruh Indonesia, yang ingin belajar lebih lanjut terkait pengembangan produk pangan maupun usaha.
Pria kelahiran Tuban 10 Desember 1965 itu percaya, pembinaan yang komprehensif dan tidak tanggung-tanggung akan mampu membantu UMKM untuk mengibarkan sayapnya lebih luas dan semakin maju.
Pembinaan lanjutan yang ia lakukan itu tidak memungut biaya apapun alias gratis. Ia mengaku hanya ingin membantu UMKM Indonesia agar dapat berkembang dan naik kelas.
"Saya hanya mencari bekal untuk kehidupan setelah saya tiada," ujarnya kepada Antara.
Baca juga: Klinik UMKM inovasi Disnakerkop sejahterakan masyarakat
Belajar otodidak
Puguh mulai tertarik untuk membina UMKM saat ia diundang untuk menjadi pemandu acara UMKM di radio. Saat itu, ia sendiri merupakan pelaku UMKM di bidang pangan. Dalam acara yang dipandunya, Puguh mewawancarai seorang narasumber yang membina UMKM di daerahnya.
Dari hasil wawancara tersebut, Puguh menarik kesimpulan bahwasanya pembinaan UMKM tidak berjalan sesuai dengan kebutuhan. Terlebih, kebanyakan pembinaan yang diberikan hanya terjadi satu kali dan tidak berkelanjutan.
Menurutnya, hal tersebut tidak akan efektif bagi UMKM yang masih memerlukan pembinaan dan ilmu dalam mengembangkan usahanya.
Sejak itu, Puguh menginisiasi kelompok UMKM di daerahnya untuk mengembangkan usaha. Kelompok bernama Le Olena, dalam bahasa Madura berarti oleh-olehnya, besutannya itu banyak mendulang prestasi di berbagai lomba.
Le Olena menjadi UMKM yang boleh dibilang berbeda. Mulai dari kemasan, produk, hingga pemasaran dari anggotanya semakin moncer dan dikenal di Jawa Timur. Tidak sampai satu tahun, Le Olena mampu merambah pasar nasional.
Puguh sendiri menerima penghargaan Adibakti Mina Bahari dari Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad pada 2013, yakni penghargaan tingkat nasional yang diberikan kepada para pelaku, kelompok usaha perikanan dan Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Tidak berpuas diri, Puguh kemudian memutuskan untuk mempelajari teknologi pangan pada 2008. Alasannya, banyak UMKM yang membutuhkan ilmu teknologi pangan untuk mengembangkan usahanya.
Keinginan Puguh tersebut terbentur biaya yang sangat besar, karena ilmu yang ia inginkan harus ditimba di luar negeri. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari tahu kurikulum teknologi pangan yang diajarkan di luar negeri.
Ia kemudian secara intensif mempelajarinya. Tidak hanya itu, ia juga menyulap kediamannya di Probolinggo sebagai tempat riset untuk menguji ilmu yang ia dapatkan secara otodidak itu. Hingga pada 2011, Puguh percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya untuk dibagikan kepada orang lain.
Puguh tidak berhenti belajar, hingga saat ini, ia masih rutin memperbarui ilmunya dan melakukan berbagai macam riset.
Jika memiliki kesempatan pada waktu itu, ia ingin mengenyam pendidikan resmi tentang teknologi pangan. Namun, kondisi yang berbeda membuatnya memiliki ilmunya secara lengkap, namun tidak dengan gelar pendidikannya.
Suatu ketika di 2015, ia bertemu seorang profesor teknologi pangan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sambil berdiskusi, profesor tersebut mengakui keahlian Puguh seraya menyampaikan bahwa Puguh adalah profesor teknologi pangan yang sebenarnya, karena dinilai memiliki kemampuan yang mumpuni dan mudah diterapkan.
Kelas solusi
Pada setiap kesempatan membina UMKM di seluruh Indonesia, Puguh berusaha menghadirkan kelas dengan memberikan solusi kepada pesertanya.
Biasanya, Puguh mengambil beberapa contoh produk pangan ke depan kelas, kemudian ia mengevaluasi produk tersebut. Puguh tak segan memberi kritik yang sangat terperinci terhadap suatu produk.
Setelah itu, ia akan memberikan solusi terkait Bahan Tambahan Pangan (BTP) apa yang diperlukan dan berapa jumlah yang aman direkomendasikan untuk membuat produk tersebut menjadi lebih baik.
Melihat caranya mengajar, lantas hampir seluruh peserta, yang merupakan pelaku UMKM pangan, antusias untuk menanyakan bagaimana kualitas produk yang dimilikinya. Bagaimana kemasan yang dibuat, hingga bagaimana seharusnya membuka pasar lebih luas.
Terbatasnya waktu pelatihan yang diberikan di kelas, sementara pertanyaan yang datang masih belum terjawab, membuat Puguh meminta kelompok peserta untuk membuat grup di aplikasi WA. Sehingga, ia memiliki kesempatan untuk menjawab setiap pertanyaan.
Jika jawaban yang diberikan belum juga cukup, Puguh mempersilahkan pelaku UMKM untuk datang ke kediamannya dan belajar lebih lanjut. Puguh memang menyediakan penginapan khusus bagi pelaku UMKM yang datang tanpa dipungut biaya.
Pola pembinaan tersebut ia lakukan di setiap kesempatan mengajar. Jadilah ia memiliki delapan ponsel untuk mengakomodasi grup WA yang dimilikinya. Sampai usianya yang akan menginjak 56 tahun ini, ia masih aktif memberi jawaban atas semua pertanyaan.
UMKM naik kelas
Sebagai seorang yang terjun langsung ke lapangan, Puguh tahu betul bagaimana kondisi UMKM di Indonesia. Menurut pandangannya, ia membaginya menjadi tiga kelompok, pertama UMKM pejuang, kedua UMKM pencari kesempatan, dan terakhir UMKM petualang.
UMKM penjuang adalah mereka yang betul-betul menggantungkan hidupnya pada usaha yang dimilikinya. Kelompok ini tidak memperdulikan adanya bantuan atau tidak, mereka akan tetap menjalankan usahanya. Menurut Puguh, kelompok pejuang adalah UMKM yang dapat tumbuh di kemudian hari.
Selanjutnya, UMKM pencari kesempatan, yaitu mereka yang bergerak ketika ada kesempatan. Ketika menemukan pasarnya, atau peluang, ia akan menggenjot usahanya
Kemudian UMKM petualang, yaitu mereka yang menjalankan usaha dalam kapasitas coba-coba. Mereka kerap mengharapkan bantuan tanpa maksimal mengembangkan usahanya. Lucunya, kelompok ini yang paling banyak ada di Indonesia.
Kendati demikian, Puguh menyampaikan bahwa setiap UMKM memiliki peluang untuk tumbuh berkembang, bahkan naik kelas di Tanah Air.
Terdapat tiga hal yang perlu dibenahi ketika UMKM ingin naik kelas, yaitu kualitas produk, legalitas, dan pasar. Menurut Puguh, ketika poin pertama dan kedua telah mampu dibenahi, maka pasar akan lebih mudah diraih. Sehingga, kesempatan naik kelas semakin tebuka lebar.
Dalam hal ini, berbagai pihak dapat memberikan pembinaan untuk membantu UMKM naik kelas, baik pemerintah maupun pihak swasta. Namun, yang terpenting adalah pembinaan tersebut dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan.
Artinya, ketika UMKM tersebut belum memiliki kualitas produk yang mumpuni, maka pembinaan dilakukan mulai dari bagaimana membuat produk yang mereka miliki menjadi berkualitas.
Setelah itu, pembinaan dilakukan agar UMKM memiliki legalitas sesuai usahanya. Dalam hal ini, pemerintah sangat berperan untuk mempermudah legalitas yang dibutuhkan UMKM.
Selanjutnya, ketika legalitas sudah dimiliki, maka pembinaan selanjutnya yakni membuka peluang pasar seluas-luasnya baik di dalam maupun luar negeri.
Namun, Puguh mengatakan bahwa Indonesia perlu memiliki basis data kondisi UMKM di Indonesia untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan UMKM yang terdaftar. Data tersebut dapat dijadikan patokan untuk melakukan pembinaan yang tepat sasaran.
Dengan demikian, ia meyakini bahwa UMKM dapat berkembang tumbuh dan maju di Tanah Air, serta tentu saja diyakini bakal naik kelas.