Tanjung (ANTARA) - Hampir sepekan tak ada hujan mengguyur. Bukit berbatu nan gersang itu, menghadirkan gelombang panas. Meski angin deras kerap menerpa, terik tetap menyapa. Kami memutuskan untuk bergerak menuju pondok jaga blok 3-4, Desa Rantau Bujur, Mandikapau, Kabupaten Banjar, mendahului rombongan manajemen PT Adaro Indonesia, yang rencananya bakal melihat langsung program rehabilitasi DAS Barito di wilayah itu, pada hari yang sama.
Dari Banjarmasin Representative Office, yang bertempat di Banjarbaru, bersama Ichwan Ardianto, Media Relation Staff, dan Luqmanul Hakim, Supervisor Das Rehabilitation Area 1, berkendara menggunakan 2 motor berspesifikasi khusus.
Beruntung saya berboncengan bersama Ichwan, gabungan berat badan kami, sukses menekan shock belakang motor. Walhasil, kaki pendek saya, berhasil menginjak tanah.
Sebanyak 30 kilometer pertama, kami lalui tanpa kendala berarti. Jalan masih beraspal, sebagian besar mulus selayak wajah usai perawatan di salon mahal, selebihnya lubang berdiameter kecil, atau tumpukan batu pondasi yang tumpah hingga sedikit menjorok kearah jalan.
Sepanjang 4 kilometer berikutnya, tersaji pemandangan dan rasa berbeda. Jalan berbatu, tanah merah, debu, sekaligus licin. Harus rajin tengok kiri dan kanan, mencari peluang terbaik. Sesekali, Ichwan bergumam. “Aduh, Innalillahi,” karena saya tak punya pilihan, area berbatu harus dilibas.
Jelang tengah hari, kami tiba di perumahan karyawan perusahaan karet, yang disewa untuk pekerja pelaksana rehabilitasi. Beristirahat sejenak, motor kembali melaju. “Kita ke blok 9, sekitar 15 menit perjalanan,” ujar Luqman.
Kali ini, tak nampak keringanan. Jalan menanjak, berbatu. Satu tikungan, kami alpa menyadari ada jembatan kayu menyeberang sungai. Syukur masih ada umur, rem lekas ditekan, Ichwan harus rela terdorong kedepan.
Sekitar 30 menit kemudian, kami masih belum tiba ke pondok jaga yang dijanjikan. Masih terus berkendara. 10 menit tambahan waktu, barulah tiba diujung perjalanan.
“Area ini, ada 7 blok dari 9 blok yang sudah ditentukan BP DAS untuk direhabilitasi. Tantangannya tidak sedikit, selain kontur perbukitan, lahannya juga tergolong kritis. Terutama di musim kemarau, ancaman api menambah rumit persoalan,” urai Luqman, usai kami menepikan motor dan bergantian melahap nasi bungkus, bekal yang dibeli dalam perjalanan.
Usai bersantap, Luqman coba menunjukkan area terbakar sepekan sebelumnya, melalui pemantauan udara menggunakan pesawat tanpa awak. Di layar monitor pengendali yang sebesar handphone genggam itu, terlihat bekas jerami yang dilahap si jago merah. “Ada yang sengaja, dan juga tidak,” ujarnya.
Sembari menunggu rombongan, rasanya satu tertinggal. Pondok tepi sungai, angin semilir, jika ditambah segelas kopi, mungkin bisa jadi pembeda. Sayangnya, rencana sepanjang jalan itu, tak bersua nyata. Tanpa teko, atau wadah serupa, sulit merebus air.
Mencari alternatif, saya balik kanan. Menuju pondok jaga, berjarak sekitar 700 meter arah balik. Di tempat itu, kondisi nyaris serupa. Hanya seorang sepuh yang menunggu, berbekal tembakau, alat penyemprot manual, dan sebilah parang dengan ujung bengkok.
Perawakannya kurus, rambut keriting beruban. Tingginya, hampir sama dengan saya. Bagian depan barisan giginya tak lagi utuh. Ia mengaku bernama Arbani.
“Cuman, mun ikam mencarii pakai ngaranku di kampung, banyak nang kada tahu. Galaranku kai gunung. Itu maka am tahu berataan,” ujarnya. Nama itu, juga tersemat pada bagian belakang penyemprot miliknya, dengan cat berwarna merah, Kai Gunung.
Sejak tahap awal dimulainya rehabilitasi DAS pada 2016, Kai Gunung ikut terlibat. Area jaganya berada di petak 6, berseberangan dengan kebun karet di punggungan bukit, persis berhadapan dengan pondok jaga kami bertemu.
Saat kering seperti ini, ujar Kai Gunung, kewaspadaan meningkat. Potensi api, sangat mengancam, bahkan saat malam hari. “Model pembunuhan berencana nang ae. Napa lamun nang tabakar tu, imbah ditabasi rumputnya, rapi. Hanyar tabakar. Imbah tu ada ha nang manabuk lubang sagen batanam pisang. Lain urang jauh jua ampun gawian, aku ni kanyang mahadapi,” jelasnya.
Nada bicara Kai Gunung tetiba meninggi. Ia bercerita, pada musim kering panjang, patroli terus menerus dilakukan, ia bahkan rehat menggarap kebun, demi memastikan area kerjanya terjaga dengan baik. “Kadada hubungannya lawan buhan kami. Bayangkan, jam 1 malam kamandahan, dimana akal,” lanjutnya.
Bukan sekadar bertambahnya pendapatan Kai Gunung dari keterlibatannya dalam projek rehabilitasi DAS yang dilakukan Adaro. Lebih dari itu, ia yang turut memulai merasa menjadi bagian utuh dari program tersebut. Satu bagian terbakar, Kai Gunung mengaku turut kehilangan.
Memotong perbincangan, saya undur diri, meminjam parang bengkok milik Kai Gunung. Dengan parang itu, saya memotong dua ruas bambu, mengikatnya dengan akar tumbuhan rambat yang mudah berseliweran disela rumpun bambu.
Kembali ke pondok wadah kami menunggu, api lekas dinyalakan. Bambu tadi, kami gunakan untuk merebus air. Cukup lama, namun air panas bisa tersaji. Sembari menghirup kopi, kami bersabar menanti hadirnya rombongan KTT.
Berharap di Lahan Kritis
Program rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), termaktub dalam satu pasal mengenai kewajiban PT Adaro Indonesia, saat pengajuan Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Melalui Badan Pelaksana atau BP DAS Barito, sejumlah kawasan kemudian dipindai. Lahan kritis seluas 8,772.59 hektare, ditetapkan untuk dihijaukan kembali.
Dalam pelaksanaannya, Adaro menggandeng PT RLI (Rehabilitasi Lahan Indonesia), melalui tiga tahap pengerjaan. Tahap 1 penyiapan lahan, tahap 2 (8 blok seluas 2,290.82 ha) dan tahap 3 (15 blok). Untuk tahap 3, jelas Luqman, baru tergarap 8 blok dengan luasan 1,437.25 ha.
Mengenai kawasan rehabilitasi DAS, kata Luqmanul Hakim, kerap muncul pertanyaan, kenapa tidak dilakukan di wilayah terdekat operasional Adaro.
“Pernah ada satu kawasan di daerah Jaro yang ditunjuk menjadi area projek rehabilitasi. Saat kami survei, tegakkan pohonnya sudah tinggi. Kawasan itu, sudah menjadi hutan. Apa yang mau di rehabilitasi,” katanya.
Soal area, Adaro tidak memiliki wewenang menentukan. Pemerintah, melalui BP DAS Barito, bekerjasama dengan pihak terkait, merupakan penentu.
Dari sejumlah titik berdasarkan hasil pemetaan BP DAS, Adaro mendapat lokasi di lahan kritis, berbatu, yang terbagi pada 3 desa berbeda di Kabupaten Banjar, Pulau Nyiur, Rantau Bujur dan Gunung Pematon di Mandiangin.
Tantangannya, ujar Luqman, tak hanya strategi menaklukkan lahan bandel. Kondisi sosial masyarakat, tak kalah hebatnya. Ada trauma masa lalu dari program serupa. Masyarakat dilibatkan menanam, dan dijanjikan bisa memanfaatkan.
“Namun, saat tanaman sudah cukup umur untuk dimanfaatkan, mereka malah dilarang, bahkan dianggap melakukan tindak kejahatan jika menebang pohon,” terangnya.
Jadilah, saat projek mau dimulai, penghadangan dengan parang, pengusiran, kerap menimpa. Selain pendekatan dan sosialisasi mengenai pelaksanaan program yang berlangsung simultan, strategi lain dengan melibatkan masyarakat, terutama pemilik kebun yang berdekatan dengan area projek.
Keterlibatan masyarakat dalam rentang projek berjalan, menjadi penting, karena sejatinya ada kepentingan yang saling bersisian, terutama mencegah kebakaran lahan.
Meski demikian, beragam upaya mendukung keberhasilan projek, mesti beriringan. Tingkat pertumbuhan tanaman yang siap diserahterimakan pada pemerintah, harus mencapai 80 persen. “Namun, di Kalsel aturannya lebih ketat, serah terima baru bisa dilakukan saat tinggi tumbuhan mencapai 1 Meter,” ungkap Luqman.
Diatas lahan kritis, terang QHSE Compliance Department Head Adaro, Didik Tri Wibowo yang ikut meninjau langsung perkembangan projek Rehabilitasi DAS, bersama Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Adaro Indonesia Suhernomo, BRO Department Head PT Adaro Indonesia Abdurrahman, QHSE Advisor Agus Subandrio, dan Mine Rehabilitation & Reclamation Department Head Adetya Bayu Nasution, mengungkapkan, cukup sulit melakukan upaya rehabilitasi.
“Tantangannya tidak mudah, banyak aspek selain rendahnya tingkat kesuburan tanah,” jelasnya.