Jakarta (ANTARA) - Raut wajah Idrus Marham tidak banyak berubah seusai mendengarkan pembacaan vonis oleh majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Selasa (23/4), namun langkah pelannya ke arah meja penasihat hukumnya, Samsul Huda, menyiratkan ia tidak setuju dengan putusan tersebut, tapi tidak bisa langsung menyatakannya.
Buktinya saat majelis hakim menanyakan pendapat mantan sekjen Partai Golkar itu terhadap vonis, Samsul Hudalah yang pertama berbicara dan menyatakan bahwa tim penasihat hukum dan mantan Menteri Sosial itu akan pikir-pikir selama 7 hari sebelum mengambil sikap.
Setelah Samsul berbicara, barulah Idrus angkat suara dan mengulang kalimat Samsul Huda ditambah pernyataan bahwa sikapnya nanti akan tetap sesuai dengan koridor hukum.
Vonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan memang lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang meminta agar Idrus divonis selama 5 tahun dan pidana denda selama Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan. Idrus dinilai terbukti menerima suap Rp2,25 miliar bersama-sama dengan koleganya anggota DPR dari fraksi Partai Golkar non-aktif Eni Maulani Saragih.
Majelis hakim juga tidak mencabut hak politik Idrus, artinya bila ia menerima vonis itu maka selepas dari hukuman maka Idrus dapat langsung melanjutkan karir politiknya yang sudah 20 tahun ia jalani bersama dengan partai Golkar yaitu sejak menjadi anggota DPR dari fraksi Partai Golkar pada 1999-2014. Idrus juga menjabat sebagai sekretaris jenderal (sekjen) Golkar sejak 2009.
Persoalannya, bila ia menerima vonis, artinya Idrus harus berpisah dari istrinya Ridho Ekasari dan kedua anak mereka yang masih kecil. Apalagi sang istri tidak tampak hadir dalam sidang pembacaan vonis tersebut maupun sidang-sidang sebelumnya.
Awal perkara
Awal keterlibatan Idrus dalam kasus tersebut adalah operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 13 Juli 2018 di rumah Idrus di kompleks menteri Jalan Widya Chandra. Saat itu petugas KPK mengamankan Eni Maulani Saragih bersama barang bukti Rp500 juta saat acara ulang tahun anak pertama Idrus.
Barulah pada 14 Juli 2018 KPK menetapkan dua tersangka yaitu Eni Maulani Saragih dan Johannes Budisutrisno Kotjo. Eni diduga menerima suap sebesar Rp4,75 miliar dari Kotjo agar membantu Kotjo mendapatkan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) yang dikerjakan oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.
Kotjo selaku pemilik saham PT BNR Ltd sesungguhnya juga adalah makelar untuk CHEC Ltd agar mendapat proyek PLTU MT RIAU-1 dan memasukkan proyek itu dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN. Ia pun sudah menyuruh anak buahnya mengajukan proposal proyek tersebut ke PLN sejak Oktober 2016.
Namun karena PLN tidak menggubris proposalnya, Kotjo lalu minta bantuan kawan lamanya di DPR yaitu Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar. Setnov pun mengenalkan Kotjo ke Eni Saragih yang duduk di Komisi VII DPR dan bermitra dengan PLN.
Dari situ Eni berupaya untuk mempertemukan Dirut PT PLN Sofyan Basir dan pejabat terkait PLN lain dengan Setnov serta Johannes Kotjo agar mengolkan proyek PLTU MT RIAU-1 dalam RUPTL PT PLN hingga akhirnya terbentuklah konsorsium yang terdiri dari PT PJBI (saham 51 persen), CHEC Ltd (37 persen) dan BNR Ltd (12 persen) dan pihak penyedia batu bara adalah PT Samantaka Batubara (anak perusahaan PT BNR).
Namun, setelah Setnov ditahan KPK terkait kasus KTP-e maka Eni selanjutnya berkoordinasi dengan Idrus Marham sejak 2017 untuk selanjutnya dapat melanjutnya pertemuan dengan direksi PLN.
Eni bahkan meminta uang kepada Johannes Kotjo untuk biaya Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar pada Desember 2017 sebesar 2,5 juta dolar AS, namun hal itu tidak dipenuhi Kotjo. Eni masih meminta bantuan Kotjo untuk biaya pilkada suaminya Muhammad Al Khadziq sebagai bupati di Temanggung.
Kotjo akhirnya hanya memberikan Rp2 miliar pada 18 Desember 2017, 14 Maret 2018 sejumlah Rp2 miliar, 8 Juni 2018 sebesar Rp250 juta dan 13 Juli 2018 sejumlah Rp500 juta.
Sofyan Basir pada 7 Juni 2018 pun sepakat menandatangani amandemen perjanjian konsorsium antara PT PJBI, CHEC Ltd dan BNR Ltd.
Sejak terjadinya OTT di rumah Idrus, Idrus memang terus dikejar pertanyaan oleh wartawan mengenai keterlibatannya hingga pada 24 Agustus 2018 siang ia dengan sadar menyerahkan surat pengunduran diri sebagai Menteri Sosial kepada Presiden Joko Widodo di Istana.
Idrus mengaku menerima surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) KPK terhadap pada 23 Agustus 2018. Artinya Idrus sudah berstatus tersangka bila sudah menerima SPDP KPK. Pernyataan Idrus bahkan mendahului pengumuman penetapan tersangka oleh KPK terhadap dirinya.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan pun baru mengumumkan penetapan Idrus sebagai tersangka pada 24 Agustus 2018 malam dengan sangkaan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 56 ke-2 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Selang seminggu setelah pengumuman Idrus sebagai tersangka, KPK pun langsung menahan Idrus pada 31 Agustus 2018 setelah menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka. Idrus pun tidak melakukan upaya hukum atau memprotes penahanannya itu.
Sidang perdana Idrus dilangsungkan pada 15 Januari 2019. Seusai sidang Idrus pun tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi) dan menegaskan akan bersikap kooperatif dalam persidangan.
"Perlu kami jelaskan dalam sidang yang mulia ini, kami sejak awal kami mengambil sikap kooperatif dan menghormati seluruh proses yang ada dengan meyakini eksistensi pengadilan adalah benteng pengawal dan penentu keadilan," kata Idrus
Idrus juga mengaku tidak "suuzon" terhadap proses hukum yang ia lalui.
"Selama ini justru saya berterima kasih kepada siapapun terlepas dari benar salahnya proses yang saya lalui di sini karena ada hikmahnya, terutama saya bisa banyak merenung dan berpikir jernih kondisi penegakan hukum untuk keadilan," ucap Idrus.
Protes
Namun, ketidakpuasan Idrus baru tampak dalam nota pembelaannya (pledoi) yang dibacakan pada 28 Maret 2019. Dalam pledoi tersebut, Idrus dengan tegas meminta agar dibebaskan dari semua dakwaan.
"Saya memohon kepada majelis hakim yang mulia untuk menolak semua dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum dan membebaskan saya dari dakwaan dan tuntutan, memulihkan nama baik, harkat dan martabat saya," ujar Idrus
Idrus menilai bahwa ia bukanlah orang yang berkepentingan dengan proyek PLTU Riau I. Ia juga tidak memiliki kepentingan politis atas pelaksanaan munaslub karena bukan calon ketua umum.
Menurut Idrus, hubungannya dengan Eni Maulani Saragih adalah hubungan yang biasa kader-kader muda partai Golkar lainnya.
Pola komunikasi antara Idrus dan Eni yang terungkap dalam sidang menggunakan kata "siap", "iya bang", "paham bang", menurut Idrus karena tanggapan dari senior, bukan persekongkolan atau kerja sama melainkan pengkaderan laboratoris atau pendekatan "keranjang sampah", di mana segala sesuatu diberi agar menyeleksi sendiri berdasarkan rambu-rambu nilai yang ada.
Idrus juga menegaskan bahwa ia tidak mengetahui, tidak terlibat dan tidak menerima laporan atas apa yang dilakukan Eni Saragih berupa penerimaan sejumlah uang dan janji dari Johannes Budisutrisno Kotjo.
Namun sebaliknya, majelis hakim berpendapat bahwa Idrus Marham melakukan kesepakatan tidak jujur dengan Eni Maulani Saragih.
"Majelis hakim menganggap perbuatan terdakwa Idrus Marham dan Eni Maulani Saragih sebagai anggota DPR yang kewenangannya mengawasi pemerintah dan 'budgeting', tapi melakukan kolusi dengan melakukan kesepakatan tidak jujur diwarnai pemberian uang kepada Eni Maulani Saragih dan diketahui oleh terdakwa Idrus Marham," papar anggota majelis hakim Hastoko, Selasa (23/4).
Majelis hakim menilai bahwa uang yang diterima Eni Maulani Saragih senilai Rp4,75 miliar dari Johanes Budisutrisno Kotjo ada sebesar Rp2,25 miliar yang diketahui dan dikehendaki Idrus sebagaimana ungkapan Idrus kalau dirinya lebih dulu kenal Johannes Kotjo dan tidak mungkin Johannes Kotjo memberikan uang ke Eni tanpa diketahui Idrus. Pemberian uang itu karena Eni sudah membantu Johannes Kotjo untuk mendapat PLTU IPP Mulut Tambang Riau 1 antara PT PJB Investasi dan CHEC Ltd.
Sebagian uang yang diterima Eni tersebut lalu dipergunakan untuk Munaslub Partai Golkar pada Desember 2017.
Kasus ini pun masih bergulir karena seusai vonis Idrus, KPK mengumumkan Dirut PT PLN Sofyan Basir sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Sofyan menurut KPK menunjuk BNR milik Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTu RIAU-1 dan menyuruh anak buahnya untuk memonitor proses proyek itu karena ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek sehingga diduga menerima janji dengan mendapat bagian yang sama besar dari jatah Eni Saragih dan Idrus Marham.
Kasus ini pun masih bergulir, masyarakat menunggu kerja nyata KPK beserta hakim pengadilan Tipikor untuk dapat membasmi para pelaku korupsi sampai ke akarnya, apapun jabatannya.