Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika menyampaikan bahwa aktivitas industri pengolahan sawit mampu mendongkrak ekonomi daerah.
“Industri pengolahan sawit kian berkembang, termasuk yang berada di kawasan industri Dumai. Bahkan, aktivitasnya mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian daerah,” kata Putu lewat keterangannya di Jakarta, Kamis.
Dalam kesempatan kunjungan kerja Komisi VII DPR di Kawasan Industri Dumai, Riau, Putu mengemukakan, industri pengolahan masih mendominasi dalam sumbangsihnya memacu pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau dengan kontribusi sebesar 28,08 persen pada 2021.
Produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi Riau merupakan yang terbesar kedua di Sumatera dan terbesar keenam secara nasional.
“Artinya, PDRB di Riau ini berbasis pada aktivitas sektor manufaktur. Sementara itu, secara khusus di Kota Dumai, kontribusi sektor industri pengolahan lebih dari 60 persen,” katanya.
Pada 2021, perekonomian Riau tumbuh 3,36 persen atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 yang mengalami kontraksi 1,13 persen akibat dampak pandemi COVID-19.
Putu menyampaikan bahwa aktivitas industri pengolahan sawit telah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi khususnya di luar Pulau Jawa, seperti Sumatera , Kalimantan, dan wilayah timur Indonesia.
Selain itu, menggerakkan aktivitas produktif kegiatan usaha kebun di sektor industri sawit, khususnya daerah 3T (terluar, tertinggal, dan terdalam).
“Bahkan, multiplier effect dari aktivitas industri pengolahan sawit ini juga, telah menumbuhkan aglomerasi atau kawasan industri baru berbasis sawit seperti di Dumai (Riau), Sei Mangkei dan Kuala Tanjung (Sumatera Utara), Tarjun (Kalimantan Timur), dan Bitung (Sulawesi Utara),” katanya.
Putu menambahkan, sektor industri pengolahan sawit telah menyerap tenaga kerja langsung tidak kurang dari 5,2 juta orang dan menghidupi hingga 20 juta orang dalam rantai sektor industri ini. Pada 2021, ekspor produk sawit mencapai 40,31 juta ton dengan nilai ekspor 35,79 miliar dolar AS, meningkat sebesar 56,63 persen dari nilai ekspor 2020.
“Dalam kurun 10 tahun, ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat cukup signifikan, dari 20 persen pada 2010 menjadi 80 persen pada 2020. Hal ini sesuai target peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No 13 Tahun 2010,” ungkapnya.
Putu menegaskan, hilirisasi industri berbasis kelapa sawit merupakan salah satu keberhasilan dari kebijakan pemerintah yang menetapkan sektor ini sebagai program prioritas nasional.
“Saat ini terdapat 168 jenis produk hilir kelapa sawit yang telah mampu diproduksi oleh industri di dalam dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodiesel FAME. Sementara pada tahun 2011, hanya ada 54 jenis produk hilir kelapa sawit yang kita produksi,” imbuhnya.
Dalam visi hilirisasi 2045, Indonesia menargetkan akan menjadi pusat produsen dan konsumen produk turunan minyak sawit dunia, sehingga mampu menjadi price setter (penentu harga) CPO global.
Adapun sejumlah kebijakan yang perlu dijalankan, antara lain peningkatan produktivitas, hilirisasi pada oleofood, oleokimia, dan biofuel. Selain itu, memperkuat ekosistem, tata kelola, dan capacity building.
Direktur Perwilayahan Industri Kemenperin Adie Rochmanto Pandiangan menyatakan, di Provinsi Riau terdapat tiga Kawasan Industri yang telah beroperasi dan memiliki Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI), yaitu Kawasan Industri Dumai di Kota Dumai, Kawasan Industri Tenayan di Kota Pekanbaru dan Kawasan Industri Tanjung Buton di Kabupaten Siak.
Total ketiganya menempati lahan seluas kurang lebih 640 hektare dan ke depan akan terus bertambah seiring masuknya investasi di Riau.
“Kawasan Industri Dumai (KID) telah berkembang pesat, dan saat ini menjadi motor perekonomian baik di Kota Dumai maupun Provinsi Riau,” ungkapnya. KID saat ini menempati total lahan seluas 316,74 hektare yang selanjutnya akan dikembangkan hingga 2.448 hektare.
Total realisasi investasi KID saat ini hampir Rp1,3 triliun dan telah menyerap tenaga kerja sebanyak 2.500 orang. Kelengkapan infrastruktur dasar di dalam KID menjadi daya tarik masuknya investasi, ditambah dengan kedekatan akses jalan tol dan pelabuhan.
“Saat ini, terdapat 12 tenant industri yang telah beroperasi di dalam KID, dengan mayoritas sektor industri pengolahan kelapa sawit,” katanya.
"Kalau hilirisasi ini bisa maksimal kami yakin tidak ada lagi petani sawit yang menjerit anjloknya harga tandan buah segar (TBS)," katanya di Banjarmasin.
Susi mengungkapkan 40 persen lebih dari total luasan lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 15,08 juta hektar di Indonesia merupakan milik petani. Meski begitu, selama ini hanya segelintir orang yang menikmati hasil industrinya.
Sementara petani, sebut dia, hanya menggantungkan hidup dari penjualan TBS yang harganya sulit merangkak naik meski di kala terjadinya peningkatan penjualan ataupun ekspor crude palm oil atau CPO.
"Bahkan saat gelojak kenaikan harga minyak goreng di tingkat konsumen, petani sawit tidak mendapatkan keuntungan apapun dari situasi ini," ungkap Susi.
Untuk itulah, produk hilir kelapa sawit terutama
skala usaha kecil, mikro dan koperasi (UKMK) yang bisa melibatkan langsung petani di dalam bisnisnya menurut Susi dinilai paling tepat menjadi solusi pengembangan kelapa sawit berkelanjutan.
Sementara menyangkut TBS, dia berharap ada ketetapan harga oleh pemerintah yang tak sekadar hanya harga acuan namun wajib dipatuhi bagi pembeli sebagai legal formal demi bisnis kelapa sawit lebih berkeadilan mulai hulu sampai hilir.
"Baru-baru ini kita dengar petani menjual TBS ke Malaysia Rp4.500 per kilogram. Hal ini wajar mengingat dalam negeri cuma dihargai Rp1.000. Tentu ini fenomena miris dan harus disikapi serius pemerintah," tutur akademisi Fakultas Pertanian ULM itu.
Guna menjaga kualitas TBS saat panen di tingkat petani, tim akademisi ULM di Pusat Studi Kelapa Sawit Kalimantan pun telah melakukan berbagai upaya pendampingan.
Mengingat perubahan kandungan asam lemak bebas pada TBS akan berpengaruh penurunan harga jual. Diketahui CPO standar yang ditetapkan perusahaan industri pengolahan berkisar empat sampai lima persen.
"Kita juga sedang melakukan riset untuk alat semacam crane saat pemanenan agar TBS tidak rusak termasuk guna mempertahankan kualitas kandungan asam lemak bebas tidak tinggi," ujarnya.
Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat sepanjang tahun 2021 total produksi CPO dan crude palm kernel oil (CPKO) Indonesia mencapai 51,3 juta ton dan 18,4 juta ton di antaranya untuk konsumsi domestik. Artinya, hanya 35 persen untuk konsumsi domestik, sementara 65 persen ekspor.
Kemudian jika dikategorikan dalam dua kelompok yaitu pertama menggunakan minyak sawit secara langsung dan kedua bahan atau komponen dari minyak sawit melalui rute reaksi kimia maka 48,6 persen untuk produk pangan, 39,9 persen oleokimia dan 11,5 persen bioenergi.