Kotabaru (ANTARA) - Hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Kotabaru masih "abu-abu" atau semakin tidak jelas, sehingga pemerintah seyogyanya memberikan solusi alternatif bagi nelayan di "Bumi Saijaan".
"Modal membeli bahan bakar atau BBM, konsumsi dan yang lainnya sudah pasti harus disiapkan setiap nelayan turun ke laut untuk menangkap ikan," kata Wakil Ketua DPRD Kotabaru, HM Mukni AF di Kotabaru, dilaporkan Jumat.
Belum lagi dengan izin atau legalitas kapal dan atau alat tangkapnya yang harus diurus ke provinsi, membuat nelayan harus merogoh uang lebih banyak lagi dari kantongnya.
"Sementara penjualan ikan atau udang hasil tangkapan mereka belum bisa dipastikan apakah bisa untuk menutupi biaya operasional, terlebih disaat musim barat, di mana biasanya terjadi gelombang tinggi," terangnya.
Menyikapi semua itu, nelayan sudah tidak bisa lagi mengandalkan pendapatan sebagai nelayan tangkap, tetapi harus dikombinasikan dengan budidaya atau nelayan budidaya.
Namun untuk menjadi nelayan budidaya, mereka memerlukan pengetahuan dan ketrampilan, khususnya sebagai nelayan budidaya, baik budidaya dengan bertambak atau dengan menggunakan terpal/bioflok.
"Di sinilah pemerintah daerah melalui dinas perikanan membekali mereka agar bisa membudidayakan ikan atau udang dengan menggunakan sarana bioflok," terang Mukni.
Saat ini, sebagian nelayan di Kotabaru terutama yang memiliki modal telah memulai membudidayakan udang vaname dalam bioflok.
"Dengan sistem bioflok, nelayan bisa membudidayakan sewaktu-waktu di pesisir atau bahkan di gunung-gunung, karena bioflok tersebut muda dikondisikan," tambahnya.
Kalangan pemula bisa memakai bioflok ukuran kecil atau sekitar 3meter, bagi yang sudah biasa bisa menggunakan ukuran besar.
"Dengan sistem bioflok lebih efesian dan efektif dibandingkan dengan budidaya udang atau ikan dalam tambak. Karena biaya pembuatan tambah jauh lebih besar," demikian Mukni.