Jakarta (ANTARA) - Arab Saudi serius mengubah wajahnya menjadi lebih modern dan lebih terbuka hampir dalam semua hal.
Negeri ini tengah membangun mega-city impian Neom seluas 25.000 km per segi yang dirancang di atas infrastruktur digital dan kemudian dilayani oleh teknologi kecerdasan buatan.
Pemerintah Saudi tengah membenamkan dana 500 miliar dolar AS (Rp7.181 triliun) untuk sembilan sektor investasi di kota masa depan ini, mulai energi dan air, mobilitas, bioteknologi, pangan, iptek dan sains digital, advanced manufacturing (teknologi inovatif untuk meningkatkan proses produksi), media dan hiburan.
Ini adalah kota masa depan yang menakjubkan yang dipenuhi proyek-proyek digital bertenagakan energi angin dan surya di mana jumlah robotnya melebihi jumlah manusianya.
Tapi Neom cuma satu dari banyak hal yang tengah dimimpikan dan dikerjakan Saudi di bawah penguasa de facto Pangeran Mohammed bin Salman.
Di bawah kepemimpinan sang pangeran pewaris tahta raja ini, semua bidang di bangun, termasuk hiburan dan olah raga, salah satunya sepak bola.
Dalam sepak bola, mereka berusaha menjadi salah satu kekuatan sepak bola dunia. Bukan hanya berkoar-koar, tetapi mereka serius membuktikannya di lapangan hingga mereka yakin bisa mencapai sasaran-sasaran besar mereka.
Manakala badan sepak bola dunia FIFA menyatakan akan lebih mendukung sistem tuan rumah bersama Piala Dunia demi mengurangi beban finansial penyelenggaraan turnamen sepak bola terbesar di dunia itu yang mulai diterapkan pada Piala Dunia 2026 ketika Meksiko, Amerika Serikat dan Kanada menjadi tuan rumah bersamanya, Arab Saudi segera menyambar ide itu.
Mungkin juga karena faktor Qatar yang bersaing dalam hampir segala hal dengan negara itu yang tahun depan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Tak tanggung-tanggung, bukan Timur Tengah atau Asia yang digandeng Saudi, melainkan juara dunia empat kali Italia, untuk melamar menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia 2030.
Ambisius memang. Tetapi faktanya Saudi sepertinya ampu. Bukan hanya dari infrastruktur, namun juga didukung oleh kemajuan sepak bolanya.
Dari peringkat dunia versi FIFA terakhir, Arab Saudi naik tiga tingkat ke posisi 61. Ini posisi keenam tertinggi di Asia setelah Jepang, Iran, Australia, Korea Selatan dan Qatar.
Peringkat itu di atas China yang merupakan magnet lain bagi sepak bola profesional dunia, sampai-sampai para alumnus liga-liga Eropa dan Amerika Latin eksodus ke China.
Lebih mapan
Belakangan ini ada indikasi liga sepak bola profesional Saudi tengah menyalip China yang terlihat oleh semakin derasnya arus hijrah pemain-pemain asing dari China ke klub-klub Arab Saudi.
Antonio Conte yang dulu melatih Inter Milan pernah dibuat khawatir oleh membesarnya Liga Super China tatkala Shanghai Port mengeluarkan dana 100 juta dolar AS (Rp1,4 triliun) untuk membeli Oscar dari Chelsea pada 2016.
Tapi Oscar kini malah masuk barisan pemain bernama besar yang meninggalkan Liga Super China, yang umumnya menjadikan Arab Saudi sebagai destinasi karier mereka selanjutnya.
Klub Al-Hilal yang bermarkas di Riyadh bahkan belum lama bulan ini berhasil menyisihkan klub-klub Eropa dalam perburuan mendapatkan playmaker Brazil Matheus Pereira dari West Bromwich Albion.
Dulu China pernah mengagetkan jagat sepak bola ketika menjadi liga yang berbelanja paling besar di dunia pada jendela transfer musim dingin setelah klub-klubnya total menggelontorkan 457 juta dolar AS (Rp6,5 triliun) untuk membeli pemain.
Tapi, gabungan aturan pemerintah yang lebih ketat termasuk pajak dan pembatasan terkait COVID-19 yang keras, telah mengubah lanskap sepak bola profesional China.
Sejumlah pemain asing mereka yang asal Brazil ramai-ramai meninggalkan China. Dua di antaranya, yakni mantan gelandang Barcelona Paulinho dan Talisca, hengkang ke Saudi.
"Sungguh satu kehormatan bisa bermain dengan klub sebesar Guangzhou di China tapi saya senang sekali berada di Arab Saudi," kata Talisca setelah bergabung dengan klub Al-Nassr.
"Banyak pemain hebat yang datang ke sini dan liga ini punya potensi untuk terus berkembang. Sungguh waktu yang mengasyikan bisa berada di sini," sambung Talisca seperti dikutip Associated Press.
Tetapi Saudi memang sejak lama berambisi menjadi liga terdepan di Asia. Pada 2018, Turki Al-Asheikh, yang kini menteri olahraga Saudi, menyatakan target liga Saudi adalah menjadi salah satu liga top di dunia pada 2020.
Target itu meleset gara-gara pandemi. Tetapi liga Saudi memiliki sejumlah keuntungan dibandingkan China dalam menarik pemain.
“Sepak bola Arab Saudi lebih mapan pada tingkat klub dan juga tingkat internasional,” kata Simon Chadwick, profesor olahraga pada Emlyon Business School. "Ada gairah olahraga yang membuncah yang membuat liga Saudi menjadi tujuan pemain-pemain dari seluruh dunia."
Saudi sudah lima kali tampil dalam Piala Dunia dan mengoleksi tiga trofi juara Asia. Sebaliknya China baru sekali mengikuti Piala Dunia.
Gairah dan optimisme
Matheus Pereira bergabung dengan Al-Hilal untuk menggantikan mantan pemain timnas Italia Sebastian Giovinco. Al-Hilal adalah kekuatan sepak bola Asia yang sudah tiga kali mengangkat trofi benua ini.
Di Al-Hilal, Pereira bergabung dengan mantan striker timnas Prancis Bafetimbi Gomis yang adalah pencetak gol terbanyak musim lalu, pemain sayap Andre Carrillo dari Peru dan Moussa Marega yang baru direkrut dari FC Porto.
Al-Nassr yang menjadi rival Al-Hilal, membeli Pity Martinez dari Argentina pada 2020 seharga 18 juta dolar AS (Rp258 miliar).
Menjelang musim baru, Al-Nassr membeli lagi pemain timnas Kamerun Vincent Aboubakar dari FC Porto dan pemain Villareal asal Argentina, Ramiro Funes Mori.
Bukan hanya pemain kelas atas, klub-klub Saudi juga memiliki citra tinggi untuk pelatih.
Kalau China menarik nama-nama besar seperti Marcello Lippi, Luiz Felipe Scolari, Sven-Goran Eriksson dan Manuel Pellegrini, maka Saudi juga dipenuhi pelatih-pelatih besar seperti Leonardo Jardim yang mengantarkan AS Monaco menjuarai liga Prancis pada 2017 dan mantan manajer timnas Brazil Mano Menezes.
Tetapi ada kekurangan dari liga Saudi yang tak terjadi dalam sepakbola profesional pada umumnya, yakni ketergantungan kepada donatur-donatur kaya dan dukungan negara.
Misal pada 2018, Pangeran Mohammed bin Salman mesti menginjeksikan dana talangan 340 juta dolar AS (Rp4,8 triliun) untuk menutupi utang klub-klub Liga profesional Saudi.
"Memang pernah beberapa kali ada bailout dari negara tapi ada keinginan untuk mengapungkan klub dan mengeksposnya untuk menghadapi tekanan pasar agar lebih disiplin secara finansial dan berorientasi komersial,” kata Chadwick seperti dikutip AP. “Ada optimisme dan gairah dalam sepak bola Saudi yang bukan tanpa dasar."
Gairah itu juga tidak melulu hadir di dalam lapangan, namun juga di luar lapangan. Salah satunya terlihat dari aktifnya tokoh-tokoh Saudi dalam organisasi sepak bola internasional seperti FIFA.
Belum lama ini mereka bahkan membuat gempar setelah mengusulkan Piala Dunia diadakan setiap dua tahun.
Saudi juga tak mau ketinggalan memanfaatkan panggung dunia, termasuk rencana mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2030 bersama Italia itu.