Banjarmasin (ANTARA) - Wakil Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) Muhammad Syaripuddin SE MAP atau yang akrab dengan sapaan Bang Dhin menyatakan, tidak sependapat angka kematian dari indikator penanganan COVID-19.
"Data kematian merupakan indikator sangat penting dalam penanganan pandemi agar diketahui tingkat keparahan suatu daerah, dan dari sana bisa dievaluasi sumber masalah, yakni jumlah tes dan lacak yang sangat terbatas," ujar Bang Dhin melalui WA-nya, Rabu (11/8) malam.
Pertanyaan itu berkaitan dengan pemerintah yang mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan COVID-19 karena adanya masalah dalam input data yang disebabkan akumulasi dari kasus kematian pada beberapa minggu sebelumnya.
"Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan hal itu saat mengumumkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) lewat kanal YouTube Sekretariat Presiden, Senin (9/8)," ujar Bang Dhin.
Wakil rakyat dari "Bumi Perjuangan Pangeran Antasari" atau "Bumi Lambung Mangkurat" Kalsel itu memaklumi alasan permerintah yang mempermasalahkan ketidakakuratan dan keterlambatan penginputan data.
Oleh karenanya dengan dikeluarkannya angka kematian dari indikator penanganan COVID-19 karena ada problem pendataan itu, terdapat 26 kota dan kabupaten yang level PPKM-nya turun dari IV menjadi III.
"Kita selalu bermasalah dengan data, tapi jika data bermasalah, perbaiki, bukan dihilangkan. Itu keliru dan salah," tegas wakil rakyat asal daerah pemilihan Kalsel VI/Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu) tersebut.
Mantan anggota DPRD "Bumi Bersujud" Tanbu itu juga mengutip pendapat akademisi dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM d/h Unlam) Banjarmasin Prof Husaini.
Akademisi dari Perguruan Tinggi Negeri tertua di Pulau Kalimantan itu turut merespon dengan menjelaskan, bahwa sebaiknya jika input data atau distorsi data tentang kematian karena COVID-19 di daerah bermasalah untuk input ke pusat data nasional, bukan berarti data kematian atau indikator data kematian (Case Fatality Rate) yang dibuang atau dihilangkan dalam penanganan wabah penyakit seperti sekarang ini.
"Hal tersebut sudah barang tentu manajemen data kematian di daerah dan pusat yang dibenahi serta diperkuat," ujar sang Prof itu seperti dikutip politikus muda Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan tersebut.
"Catatan pentingnya dari dulu sampai sekarang seluruh negara/global dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak pernah menghilangkan indikator kematian dalam menilai kejadian penyakit di masyarakat," kutipnya.
Apalagi, menurut akademisi ULM tersebut, wabah penyakit, dan hampir satu setengah tahun bangsa Indonesia menhadapi wabah COVID-19 tentu banyak pelajaran dan pengalaman yang semestinya diambil dalam rangka lebih optimalkan lagi tentang berbagai ragam manajemen.
"Jika indikator kematian/'Case Fatality Rate' (CFR) dihilangkan berarti tidak menghargai nyawa manusia," demikian Prof Husaini
Bang Dhin lebih lanjut mengungkapkan, dengan merujuk dari data Lapor COVID-19 menunjukkan adanya selisih data kematian yang cenderung melebar antara data versi kabupaten/kota dan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia.
Rekapitulasi data bersumber laporan 510 kabupaten/kota di Indonesia hingga 7 Agustus 2021 menunjukkan angka kematian karena COVID-19 sudah mencapai 124.790 jiwa, sedangkan pada hari yang sama laporan Kemenkes baru ada 105.598 korban jiwa, berarti ada selisih 19.192 jiwa data kematian yang dilaporkan kabupaten/kota tidak ada dalam laporan Kemenkes.
Namun, laporan kematian karena COVID-19 di Indonesia hanya mereka yang sudah terkonfirmasi melalui tes polimerase rantai ganda (PCR). Kondisi ini menyebabkan angka kematian karena COVID-19 yang sesungguhnya bisa jauh lebih tinggi dari laporan resmi selama ini, demikian Bang Dhin.