Jakarta (ANTARA) -
Praktisi kesehatan dan dosen Warwick Medical School, Dr James Gill, menyatakan merokok adalah faktor risiko yang signifikan (terkait risiko) terinfeksi COVID-19.
Terdapat sejumlah faktor terkait merokok yang memengaruhi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. “Ada banyak faktor yang saling terkait mengapa merokok mengurangi kemampuan tubuh untuk melawan infeksi – dari kemampuan untuk mendapatkan oksigen dari darah ke jaringan, hingga peningkatan kadar karbon monoksida dalam darah,” jelasnya, dalam informasi tertulis yang diterima Antara di Jakarta, Senin.
Salah satu alasan terbesar yang memungkinkan risiko infeksi pernapasan pada perokok terus meningkat adalah kerusakan dan kematian yang terjadi pada silia (bulu-bulu halus) di saluran udara dan paru-paru.
Silia bertugas melapisi saluran udara, sehingga memiliki peran yang sangat vital dalam membersihkan lendir dan kotoran, serta menyaring partikel-partikel yang dihirup. Dengan begitu, silia berperan dalam mencegah virus dan bakteri masuk ke paru-paru.
Baca juga: Tilang pengemudi merokok saat berkendara
James menjelaskan bahan kimia yang terkandung dalam rokok memiliki dua efek serius pada silia ketika dihirup. Pertama adalah mengurangi gerakan silia, yang berarti akan lebih sulit untuk memindahkan lendir dan kotoran agar bisa keluar dari paru-paru. Seiring waktu, asap yang dihirup dari rokok lama-kelamaan juga dapat membunuh silia, hingga akhirnya meningkatkan risiko infeksi virus secara drastis.
Karena itu, dia mengimbau agar perokok segera berhenti merokok untuk memperbaiki fungsi silia yang tersisa. “Bahkan ketika berhenti merokok hanya dalam waktu 24 jam, dapat dilihat peningkatan besar pada fungsi silia. Semakin lama Anda berhenti merokok, maka semakin besar pemulihannya,” katanya.
Alternatif lainnya, James menyarankan perokok untuk mengganti rokok dengan rokok elektrik karena memiliki kandungan zat kimia yang lebih rendah. Meski ada kemungkinan gas panas yang terlibat dalam penguapan juga berdampak pada silia dan fungsi paru-paru secara keseluruhan, namun risikonya jauh lebih rendah bagi sistem pernapasan tubuh dibandingkan dengan merokok. Ia juga menambahkan bahwa dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk memahami dampak-dampak ini sepenuhnya.
Baca juga: Indonesia hadapi persoalan serius terkait rokok tembakau
Pendapat serupa juga disampaikan ahli dari University of East Anglia sekaligus Chief Investigator The NeSCi Study, Dr Caitlin Notley.
“Produk tembakau alternatif adalah pilihan konsumen yang paling populer untuk membantu berhenti merokok,” terangnya.
Sejauh ini, Caitlin menyatakan belum ada bukti yang menunjukkan bahwa menggunakan produk tembakau alternatif akan meningkatkan risiko terjangkit (infection rate) atau memperparah kondisi pasien COVID-19. Meski tidak menutup kemungkinan terdapat beberapa kondisi terlihat pada kelompok yang rentan.