Oleh Ulul Maskuriah
Banjarmasin, (Antaranews.Kalsel) - Bank Indonesia Wilayah Kalimantan mengimbau perusahaan daerah atau eksportir yang ada di Kalimantan Selatan menempatkan devisa hasil ekspor atau hasil penjualan barang ke luar negeri di bank devisa dalam negeri guna memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah Kalimantan Mokhammad Dadi Aryadi di Banjarmasin, Sabtu menyatakan melemahnya nilai tukar rupiah kali ini secara sederhana dapat dilihat dengan menggunakan hukum penawaran dan permintaan. Hal ini berarti bahwa nilai tukar rupiah yang melemah disebabkan oleh meningkatnya permintaan terhadap mata uang dolar, sementara ketersediaan mata uang dolar tersebut, di pasar domestik terbatas atau malah berkurang.
"Untuk itu, sebenarnya Bank Indonesia telah mengantisipasi untuk meningkatkan suplai mata uang asing, yaitu melalui Peraturan Bank Indonesia No. 14/25/PBI/2012 tanggal 27 Desember 2012," katanya.
Peraturan tersebut, tambah dia, mengatur tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri dan melalui Surat Edaran Bank Indonesia No.15/9/DSM tanggal 27 Maret 2013 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor.
Dengan ketentuan tersebut, eksportir wajib menerima devisa hasil ekspor (DHE) melalui bank devisa dalam negeri paling lambat akhir bulan ke-3 setelah tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
Sementara itu, tambah Dadi, penerimaan DHE dari hasil netting (devisa hasil ekspor digunakan untuk membeli bahan baku atau bahan penolong dari luar negeri) hanya diperbolehkan untuk pembayaran impor barang terkait kegiatan ekspor yang bersangkutan.
"Hal itu terjadi sepanjang terdapat kesepakatan netting antara eksportir yang bersangkutan dengan importir terkait," katanya.
Selain mengeluarkan ketentuan mengenai DHE, Bank Indonesia juga memonitor lalu lintas devisa (LLD) termasuk bagi lembaga bukan bank (LBB) yaitu badan usaha dan lembaga swadaya masyarakat.
Perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor/impor, atau memiliki utang luar negeri, atau memiliki total aset/omset mencapai Rp100 miliar, wajib melaporkan kegiatan LLD kepada Bank Indonesia.
Perusahaan di Kalimantan Selatan yang saat ini telah terdaftar kegiatan LLD-nya adalah sebanyak delapan perusahaan.
"Diharapkan dengan semakin banyak perusahaan yang segera melaporkan LLD kepada Bank Indonesia, masalah antara penawaran dan permintaan valas ini tidak terjadi lagi dan memberikan kepastian bagi dunia usaha berupa kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing," katanya.
Menurut Dadi, sampai 30 Agustus 2013 nilai tukar rupiah berada di titik tengah Rp10.924 per dolar AS, atau jika dibandingkan dengan bulan lalu nilai rupiah telah terdepresiasi sebesar 6,29 persen.
Melemahnya nilai rupiah ini didorong oleh defisit neraca perdagangan seiring dengan masih tingginya kebutuhan impor sementara ekspor melambat.
Selain itu, juga dipengaruhi oleh faktor ekspektasi akibat adanya rencana pengurangan stimulus yang dilakukan oleh Bank Sentral Amerika, atau lebih dikenal dengan Federal Reserve.
Pelemahan juga dialami mata uang negara-negara lain di kawasan seperti di Singapura, Filipina, Thailand, India dan Malaysia. �Salah satu sumber terbatasnya pelemahan mata uang Rupiah adalah karena kegiatan ekspor Indonesia yang menurun," katanya.
Berdasarkan data, kata dia, sampai dengan Juni 2013, ekspor Indonesia selama 6 bulan telah mencapai 73,7 miliar dolar AS padahal di periode yang sama tahun sebelumnya mencapai 76,52 miliar dolar AS atau mengalami penurunan sebesar -3,7%.
Khusus ekspor Kalimantan Selatan selama semester I-2013 tercatat sebesar 4,65 miliar dolar AS, padahal pada semester I-2012 ekspor Kalsel mencapai 5,12 miliar dolar AS, atau mengalami penurunan sebesar 9,3 persen.