Sydney (ANTARA) - Harga minyak pulih di perdagangan Asia pada Senin pagi, berbalik naik atau rebound dari tingkat terendah dua minggu di sesi sebelumnya, meskipun kenaikannya dibatasi oleh kekhawatiran tentang prospek ekonomi global.
Baca juga: Harga minyak kembali turun tertekan produksi AS
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik 14 sen, atau 0,3 persen menjadi diperdagangkan di 56,05 dolar AS per barel. WTI turun menjadi 54,75 dolar AS per barel pada Jumat (27/9/2019), terendah sejak 13 September, ketika harga ditutup turun 0,9 persen.
Sementara itu, minyak mentah berjangka Brent menguat 21 sen atau 0,3 persn, menjadi 62,12 dolar AS per barel, setelah merosot ke serendah 60,76 dolar AS per barel pada Jumat (27/9/2019) ketika harga turun 1,3 persen.
Putra mahkota Arab Saudi memperingatkan dalam sebuah wawancara yang disiarkan pada Minggu (29/9/2019) bahwa harga minyak dapat melonjak ke "angka yang tak terbayangkan tinggi" jika dunia tidak bersama-sama menghalangi Iran, tetapi mengatakan ia akan lebih memilih solusi politik daripada militer.
Baca juga: Harga minyak dunia naik
Gerakan Houthi Yaman mengatakan pada Sabtu (28/9/2019) bahwa pihaknya telah melakukan serangan besar di dekat perbatasan dengan wilayah Saudi selatan, Najran, dan menangkap banyak pasukan dan kendaraan, tetapi tidak ada konfirmasi segera dari pihak berwenang Arab Saudi.
Namun, minyak tetap di bawah tekanan karena para pedagang menimbang dampak pada ekonomi global dari perang dagang yang berkepanjangan antara AS dan China.
"Dengan sebagian besar produksi minyak Saudi kembali pulih, fokus bergeser lagi ke narasi perang perdagangan dan kehancuran permintaan konsekuensial, yang semakin diintensifkan oleh kemungkinan pengekangan modal pemerintah AS ketika mereka menyelidiki kemanjuran membatasi aliran investasi AS ke China," kata Stephen Innes, ahli strategi pasar, SPI Asset Management.
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump sedang mempertimbangkan penghapusan perusahaan-perusahaan China dari bursa saham AS, tiga sumber mengatakan, dalam apa yang akan menjadi eskalasi radikal dari ketegangan perdagangan AS-China. Demikian laporan yang dikutip dari Reuters.