Di tengah dinamika politik dan meningkatnya tensi sosial menjelang kontestasi pilkada, semangat kepahlawanan kembali disoroti sebagai fondasi penting untuk menjaga kualitas demokrasi dan stabilitas keamanan di Kalimantan Selatan.

Hal itu disampaikan oleh Dr. Taufik Arbain, M.Si., akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (ULM) dalam sebuah forum diskusi bertajuk “Semangat Kepahlawanan: Merawat Demokrasi dan Kamtibmas” yang digelar di Banjarmasin, Rabu (19/11).

Di acara hasil kolaborasi Direktorat Intelkam Polda Kalsel dan Partai Demokrat Kalsel itu, Taufik memaparkan makna kepahlawanan pada era modern tidak lagi sebatas keberanian fisik, melainkan keberanian moral warganegara dalam menjaga ruang publik dari disinformasi, polarisasi, dan narasi yang menggerogoti kepercayaan masyarakat.

Dia menyebut konsep civic virtue atau kebajikan kewargaan yang dipopulerkan oleh Alexis de Tocqueville sebagai landasan moral warga dalam menghadapi tantangan demokrasi hari ini.

“Pahlawan masa kini adalah warga yang berani menjaga nilai, hukum, dan ketertiban dalam situasi politik yang gaduh. Ketika masyarakat berani melawan hoaks, intoleransi, dan ujaran kebencian, di situlah kita melihat wujud kepahlawanan di tengah demokrasi," jelasnya.

Selain merujuk pada pemikiran Barat, Taufik juga mengaitkan nilai civic virtue dengan tradisi Islam.

Ia menekankan konsep Akhlq al-Madaniyyah yang dikemukakan al-Farabi dan Ibn Miskawaih, serta prinsip maslahah ‘ammah dan amr ma’ruf nahi munkar, memiliki relevansi kuat dengan upaya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

“Islam sejak awal telah mengajarkan kesadaran kewargaan, tanggung jawab sosial, dan menjaga moral publik,” ungkapnya.

Dalam forum tersebut, Taufik juga menyampaikan hasil riset mengenai persepsi warga terhadap isu-isu pembusukan politik menjelang Pilkada 2024.

Data menunjukkan 75,7 persen responden menyatakan bahwa kampanye hitam di media sosial menjadi isu paling dominan, disusul tuduhan keterlibatan oligarki dan isu berbasis identitas, seperti agama dan suku.

“Realitas politik hari ini seringkali gaduh bukan karena fakta objektif, tetapi karena konstruksi narasi para elit, dan para tim sukses yang tidak menjunjung etik” tegasnya.

Dia menilai, hal ini menjadi narasi tidak sehat bisa meningkatkan ketegangan dan berimplikasi pada gangguan kamtibmas.

Ia mengingatkan bahwa dalam teori framing ala Erving Goffman dan Robert Entman, narasi memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi publik.

“Narasi bisa menciptakan ketertiban, tetapi juga bisa menciptakan ketakutan. Jika narasi elit tidak bertanggung jawab, stabilitas keamanan pun ikut terancam,” ujarnya.

Menurutnya, menjaga kamtibmas tidak dapat hanya dibebankan kepada aparat. Tanggung jawab tersebut justru berada pada kolektivitas masyarakat.

Kamtibmas akan kuat bila warga memiliki semangat kepahlawanan: disiplin, empati sosial, tanggung jawab, dan keberanian melaporkan tindakan yang meresahkan.

Ia menutup pemaparannya dengan sebuah pesan strategis, yakni demokrasi tanpa semangat kepahlawanan akan kehilangan jiwa.

Dan keamanan tanpa semangat kepahlawanan hanya akan menjadi penegakan aturan yang kering makna.

"Kita membutuhkan keberanian moral warga untuk memastikan Indonesia tidak terjebak dalam politik ketakutan," tambahnya.

Forum diskusi ini menjadi ruang refleksi penting bagi peserta, terutama mengingat situasi politik nasional yang kian dinamis.

Pesan utamanya jelas, merawat demokrasi dan kamtibmas bukan hanya tugas negara, tetapi panggilan kepahlawanan bagi setiap warga.

Pewarta: Firman

Editor : Mahdani


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2025