Mahkamah Agung (MA) RI mengatakan adanya konsep-konsep hukum yang tidak lazim dengan hukum di Indonesia menyulitkan para kontributor dalam mengisi kuesioner survei kemudahan berusaha yang diadakan Bank Dunia.
"Konsep-konsep hukum yang masuk atau diajukan dalam kuesioner sering tak lazim dengan sistem hukum di Tanah Air," kata Ketua MA Prof M Syarifuddin pada diskusi daring dengan tema meningkatkan peringkat kemudahan berusaha Indonesia dalam perspektif peradilan yang dipantau di Jakarta, Jumat.
Tidak hanya soal konsep-konsep hukum yang berbeda, para kontributor juga kesulitan menjawab pertanyaan dalam kuesioner survei kemudahan berusaha yang seluruhnya menggunakan bahasa asing.
Untuk kuesioner penegakan kontrak terdapat 80 pertanyaan dan 40 pertanyaan pada kuesioner penyelesaian perkara kepailitan yang semuanya menggunakan bahasa asing.
Dua hal itu bisa menjadi masalah saat kontributor menjawab survei sehingga tidak mencerminkan pembaharuan yang telah dilakukan pemerintah atau MA dalam kemudahan berusaha.
Oleh sebab itu, MA menyoroti peran responden dan narasumber pada tahapan survei kemudahan berusaha di Indonesia yang diadakan oleh Bank Dunia.
"Peran responden dan narasumber menjadi sangat penting dalam menentukan hasil survei dan hal ini menjadi perhatian serius MA," kata dia.
Sebab, Prof Syarifuddin menyadari untuk mencapai program pemerintah dalam mendongkrak posisi Indonesia di survei kemudahan berusaha, tidak cukup hanya mengandalkan pembaharuan kebijakan saja.
Namun, sosialisasi juga menjadi kunci penting untuk memastikan bahwa penerimaan di masyarakat terutama responden atau publik terhadap upaya reformasi yang dilakukan mendapat respon positif.
"Artinya, sosialisasi dan dialog interaktif dibutuhkan dengan pemangku kepentingan atau responden dalam menyamakan persepsi," ujarnya.
Sorotan oleh MA tersebut merujuk kepada posisi Indonesia yang masih tertahan pada peringkat 77 dari 190 negara yang disurvei Bank Dunia dalam kemudahan berusaha.
Padahal, sejak beberapa tahun terakhir MA terus aktif melakukan sejumlah terobosan dan pembaharuan yang berkaitan dengan kemudahan berusaha di Tanah Air.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
"Konsep-konsep hukum yang masuk atau diajukan dalam kuesioner sering tak lazim dengan sistem hukum di Tanah Air," kata Ketua MA Prof M Syarifuddin pada diskusi daring dengan tema meningkatkan peringkat kemudahan berusaha Indonesia dalam perspektif peradilan yang dipantau di Jakarta, Jumat.
Tidak hanya soal konsep-konsep hukum yang berbeda, para kontributor juga kesulitan menjawab pertanyaan dalam kuesioner survei kemudahan berusaha yang seluruhnya menggunakan bahasa asing.
Untuk kuesioner penegakan kontrak terdapat 80 pertanyaan dan 40 pertanyaan pada kuesioner penyelesaian perkara kepailitan yang semuanya menggunakan bahasa asing.
Dua hal itu bisa menjadi masalah saat kontributor menjawab survei sehingga tidak mencerminkan pembaharuan yang telah dilakukan pemerintah atau MA dalam kemudahan berusaha.
Oleh sebab itu, MA menyoroti peran responden dan narasumber pada tahapan survei kemudahan berusaha di Indonesia yang diadakan oleh Bank Dunia.
"Peran responden dan narasumber menjadi sangat penting dalam menentukan hasil survei dan hal ini menjadi perhatian serius MA," kata dia.
Sebab, Prof Syarifuddin menyadari untuk mencapai program pemerintah dalam mendongkrak posisi Indonesia di survei kemudahan berusaha, tidak cukup hanya mengandalkan pembaharuan kebijakan saja.
Namun, sosialisasi juga menjadi kunci penting untuk memastikan bahwa penerimaan di masyarakat terutama responden atau publik terhadap upaya reformasi yang dilakukan mendapat respon positif.
"Artinya, sosialisasi dan dialog interaktif dibutuhkan dengan pemangku kepentingan atau responden dalam menyamakan persepsi," ujarnya.
Sorotan oleh MA tersebut merujuk kepada posisi Indonesia yang masih tertahan pada peringkat 77 dari 190 negara yang disurvei Bank Dunia dalam kemudahan berusaha.
Padahal, sejak beberapa tahun terakhir MA terus aktif melakukan sejumlah terobosan dan pembaharuan yang berkaitan dengan kemudahan berusaha di Tanah Air.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021