Pengamat otomotif sekaligus akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu berpendapat, generasi muda (milenial dan generasi Z) siap menerima dan mengadopsi teknologi-teknologi baru yang nantinya disematkan di kendaraan-kendaraan masa depan termasuk kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
"Masyarakat Indonesia khususnya dari generasi potensial millennial dan generasi Z yang akan menjadi the real asset bonus demografi Indonesia tahun 2030 adalah generasi penikmat teknologi baru yang mampu memberikan experience yang menyenangkan, tentunya sesuai dengan limitasi daya beli mereka," kata Yannes saat dihubungi ANTARA baru-baru ini.
Lebih lanjut, Yannes menilai bahwa kendaraan listrik sebetulnya sudah diidentikkan sebagai gadget berjalan dan mobile. Sehingga, segala hal yang ada kaitannya dengan perkembangan teknologi pada perangkat pengguna termasuk generasi muda harus bisa difasilitasi oleh kendaraan listriknya.
"Kendaraan berteknologi autonomous (otonom), baik level-1 hingga level-5 jelas merupakan hal yang sangat menarik bagi segmentasi ini," kata dia.
"Permasalahannya kelak lebih kepada daya beli saja. Ini jadi pekerjaan rumah pemerintah dalam strategi kebijakan pajak, insentif dan privilege yang pro masyarakat," ujarnya menambahkan.
Yannes kemudian mengatakan, adopsi teknologi baru di kendaraan listrik ini pun nantinya juga dipengaruhi oleh upaya pengenalan kebijakan pemerintah terhadap pasar potensial ini terkait dengan kendaraan listrik. "Seyogianya harus segera mulai dilakukan," katanya.
"Untuk itu, perlu kerjasama PENTAHELIX yang sangat luas. Semua stakeholders harus mulai dirangkul dan menjalankan program penumbuhkembangan AIDA (Awareness, Interest, Desire, Acceptance) bagi seluruh masyarakat," imbuhnya.
Adopsi ini, lanjut Yannes, harus melibatkan pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi atau pakar dan media massa secara sistemik, masif, dan terstruktur.
"Tidak cukup sekadar pemerintah dengan para pelaku industri otomotif saja," tambah dia.
Di sisi lain, perusahaan teknologi Ericsson beberapa waktu lalu berpendapat bahwa adopsi teknologi baru untuk kendaraan listrik sangat mungkin terjadi di Indonesia, apabila 5G sudah tersedia, diikuti dengan kesiapan pabrikan otomotif dan regulasi di Tanah Air.
"Masih banyak riset dan studi yang dijalani di sektor otomotif (untuk 5G dan V2V). 5G punya kapasitas dan kecepatan yang mumpuni dan tinggi. Dengan konektivitas tersebut, bukan hal yang tidak mungkin Indonesia bisa mengadopsi hal itu," ujar Country Head Ericsson Indonesia, Jerry Soper.
"Jika perusahaan otomotif bisa segera mengadaptasi dan berinovasi dengan teknologi baru seperti 5G, sangat mungkin. Mengingat 5G akan segera tersedia di Indonesia," ujarnya melanjutkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021
"Masyarakat Indonesia khususnya dari generasi potensial millennial dan generasi Z yang akan menjadi the real asset bonus demografi Indonesia tahun 2030 adalah generasi penikmat teknologi baru yang mampu memberikan experience yang menyenangkan, tentunya sesuai dengan limitasi daya beli mereka," kata Yannes saat dihubungi ANTARA baru-baru ini.
Lebih lanjut, Yannes menilai bahwa kendaraan listrik sebetulnya sudah diidentikkan sebagai gadget berjalan dan mobile. Sehingga, segala hal yang ada kaitannya dengan perkembangan teknologi pada perangkat pengguna termasuk generasi muda harus bisa difasilitasi oleh kendaraan listriknya.
"Kendaraan berteknologi autonomous (otonom), baik level-1 hingga level-5 jelas merupakan hal yang sangat menarik bagi segmentasi ini," kata dia.
"Permasalahannya kelak lebih kepada daya beli saja. Ini jadi pekerjaan rumah pemerintah dalam strategi kebijakan pajak, insentif dan privilege yang pro masyarakat," ujarnya menambahkan.
Yannes kemudian mengatakan, adopsi teknologi baru di kendaraan listrik ini pun nantinya juga dipengaruhi oleh upaya pengenalan kebijakan pemerintah terhadap pasar potensial ini terkait dengan kendaraan listrik. "Seyogianya harus segera mulai dilakukan," katanya.
"Untuk itu, perlu kerjasama PENTAHELIX yang sangat luas. Semua stakeholders harus mulai dirangkul dan menjalankan program penumbuhkembangan AIDA (Awareness, Interest, Desire, Acceptance) bagi seluruh masyarakat," imbuhnya.
Adopsi ini, lanjut Yannes, harus melibatkan pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi atau pakar dan media massa secara sistemik, masif, dan terstruktur.
"Tidak cukup sekadar pemerintah dengan para pelaku industri otomotif saja," tambah dia.
Di sisi lain, perusahaan teknologi Ericsson beberapa waktu lalu berpendapat bahwa adopsi teknologi baru untuk kendaraan listrik sangat mungkin terjadi di Indonesia, apabila 5G sudah tersedia, diikuti dengan kesiapan pabrikan otomotif dan regulasi di Tanah Air.
"Masih banyak riset dan studi yang dijalani di sektor otomotif (untuk 5G dan V2V). 5G punya kapasitas dan kecepatan yang mumpuni dan tinggi. Dengan konektivitas tersebut, bukan hal yang tidak mungkin Indonesia bisa mengadopsi hal itu," ujar Country Head Ericsson Indonesia, Jerry Soper.
"Jika perusahaan otomotif bisa segera mengadaptasi dan berinovasi dengan teknologi baru seperti 5G, sangat mungkin. Mengingat 5G akan segera tersedia di Indonesia," ujarnya melanjutkan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2021