Ketika masih banyak yang meragukan koperasi bisa menjadi jalan keluar kesulitan ekonomi di tengah pandemi, pada 1951 Bung Hatta bahkan sudah melontarkan sebuah pemikiran yang begitu tajam mengenai badan usaha tersebut.
Sang Proklamator itu malah menyebut koperasi sebagai lawan tanding dari kapitalisme secara fundamental.
Namun, kondisi saat ini menjebak semua untuk kemudian mempertanyakan mengapa koperasi sulit berkembang di Indonesia?
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto, pernah melakukan kajian terkait citra koperasi yang ternyata telah memposisikan koperasi sebagai pelaku usaha yang marginal.
Koperasi telah tercitrakan sebagai pelaku ekonomi pinggiran hingga masyarakat awam sulit membedakan koperasi dan jenis badan usaha lainnya. Masalah ini secara paradigmatik menyebabkan orientasi pemberdayaan koperasi, baik dari sisi regulasi maupun kebijakan menjadi kurang tepat.
Seperti perusahaan pada umumnya, koperasi memang menjalankan bisnis yang dapat dikembangkan di semua sektor. Dari sektor pertanian, pabrikasi, keuangan, perdagangan, bisnis berbasis platform, hingga di sektor layanan publik.
Koperasi adalah badan usaha yang berbasis orang (people-based) dan merupakan bentuk dari bangun perusahaan yang berbeda secara mendasar dibandingkan dengan bisnis berbasis modal (capital-based).
Lebih luas dari itu, ketidakpahaman masyarakat ini menyebabkan banyak orang terkecoh atau bahkan tertipu oleh koperasi abal-abal. Seperti misalnya investasi bodong berbentuk koperasi, rentenir berbaju koperasi, koperasi yang dibentuk pemerintah secara “topdown” seperti KUD di masa Orde Baru, dan lain sebagainya.
Perbedaannya menjadi sangat mendasar, ketika koperasi itu dibandingkan dengan korporasi atau badan usaha milik negara adalah menempatkan manusia itu sebagai subyek yang supreme, atau utama di atas modal (material).
Di koperasi, orang ditempatkan sebagai subyek dalam menentukan pengambilan keputusan, bukan modal seperti dalam korporasi. Ini dalam praktik diwujudkan dalam bentuk asas satu orang satu suara, dimana setiap orang diakui persamaan haknya.
Jadi berapapun modal orang itu di koperasi tidaklah menjadi dasar pengambilan keputusan koperasi karena setiap orang diakui persamaan haknya.
Praktik paling nyata terjadi di koperasi Klub Sepak Bola FC Barcelona, Spanyol. Para pemilik atau anggota dan juga fansnya sebanyak kurang lebih 170 ribu orang itu memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan atas mosi tidak percaya terhadap presiden klubnya. Ini karena setiap orang dihargai persamaan haknya di perusahaan. Ini juga terjadi dalam praktik koperasi yang “genuine” di seluruh belahan dunia.
Menurut Suroto, koperasi memang mencari keuntungan, tapi bukan dimaknai untuk berorientasi pada mengejar keuntungan semata bagi investornya seperti pada perusahaan yang cenderung menerapkan konsep “investor driven”. Melainkan bagi kepentingan mengejar manfaat (benefit oriented) bagi seluruh pihak termasuk bagi pemasok, pekerja, dan bahkan konsumennya.
Kesempatan Pandemi
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki terkesan perlu sekian waktu setelah menduduki jabatannya sebagai menteri untuk mengidentifikasi persoalan yang membuat koperasi seperti jalan di tempat di Tanah Air.
Ia terfokus pada awal langkahnya untuk memberdayakan UMKM dengan lebih kekinian dengan basis anak muda dan teknologi. Sampai saat ia tak lagi punya waktu dan pilihan untuk mau tak mau harus mengurus koperasi juga.
Terobosan pemberdayaan koperasi pun belum menemui peta jalan yang reformatif dan belum mampu menjawab pertanyaan mengapa koperasi masih sulit berkembang di Indonesia. Citra koperasi masih terpuruk sebagai pelaku ekonomi marginal.
Namun Teten sepertinya masih memiliki mimpi besar pada 4 tahun ke depan tentang koperasi yang lebih baik dengan berbagai usaha dan program yang mendistingsi koperasi termasuk kemudahan dan insentif-insentif yang terus akan diberikan.
Padahal di tengah pandemi, disadari ataupun tidak jika koperasi diberdayakan secara konsisten, koperasi bisa menjadi angin segar dan solusi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Kesenjangan sosial ekonomi, kerusakan lingkungan akibat motif eksploitasi untuk semata profit, dan kesenjangan dalam bisnis keseharian dapat segera diakhiri dengan model usaha koperasi.
Pandemi ini adalah kesempatan yang baik untuk masyarakat bahwa hidup sehari-hari ternyata tidak bisa lagi digantungkan nasibnya pada segelintir orang pemilik modal.
Koperasi adalah praktik paling nyata demokrasi dapat bekerja dalam ruang hidup keseharian. Koperasi juga terbukti dalam setiap krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara yang kuat justru mampu berfungsi sebagai rompi pengaman masyarakat ketika korporasi swasta kapitalis tumbang.
Penelitian ILO pada 2010 menyatakan bahwa banyak koperasi justru bertumbuh positif karena kesadaran masyarakat yang menganggap penting untuk mengontrol investasi mereka di tangan mereka sendiri ketika korporasi besar berbasis modal mulai tumbang dan hanya andalkan bantuan talangan pemerintah (bailout).
Ini justru menjadi kesempatan yang baik ketika importasi terhambat maka seharusnya sektor ekonomi domestik dan lokal terutama pangan dan energi terbarukan dikembangkan melalui koperasi.
Prinsip Kemandirian
Suroto yang juga praktisi koperasi meyakini bahwa koperasi adalah “self-regulated organization”, atau usaha yang diatur oleh diri mereka sendiri yang diturunkan dari nilai-nilai dan prinsip utama mereka untuk mandiri.
Ia menyarankan agar pemerintah sebaiknya hanya menjadi regulator yang baik dan merekognisi praktik berkoperasi yang terbaik di kalangan masyarakat dan memberikan kebijakan afirmatif.
Praktik kebijakan yang terlalu mengintervensi hanya akan menghambat upaya pengembangan koperasi. Contoh paling nyata adalah KUD di masa Orde Baru.
Paradigma masyarakat dalam melihat koperasi juga saatnya dirombak total. Ini persoalan citra koperasi yang harus diubah dari anggapan usaha yang lemah, kecil, atau gurem menjadi usaha yang kompetitif dan berdaya saing.
Salah satu yang bisa dilakukan tak lain dengan merivisi kebijakan termasuk UU Perkoperasian dan beberapa regulasi lain yang ternyata telah mengkerdilkan peran koperasi.
Di Amerika Serikat, koperasi mendapatkan peran ekonomi yang cukup besar, bahkan sebagai negara yang dianggap kapitalistik, koperasi mendapatkan peran sebagai pengelola listrik mulai dari bisnis infrastruktur sampai dengan distribusinya melalui National Rural Electricity Cooperative Association (NRECA) yang beroperasi di seluruh negara bagian.
Contoh lain, rumah sakit terbesar di kota Washington itu adalah koperasi dalam bentuk Group Health Cooperative (GHC).
Maka pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM sebagai lokomotif utama pemberdayaan koperasi pun diharapkan agar mampu melakukan tindakan afirmatif untuk memecah kebekuan dan menjawab tantangan pertanyaan mengapa koperasi sulit berkembang di Indonesia.
Sebab secara sistem koperasi sejatinya sudah menjalankan salah satu prinsip kemandiriannya untuk menciptakan keadilan ekonomi. Jadi mengapa masih saja sulit berkembang?
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
Sang Proklamator itu malah menyebut koperasi sebagai lawan tanding dari kapitalisme secara fundamental.
Namun, kondisi saat ini menjebak semua untuk kemudian mempertanyakan mengapa koperasi sulit berkembang di Indonesia?
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto, pernah melakukan kajian terkait citra koperasi yang ternyata telah memposisikan koperasi sebagai pelaku usaha yang marginal.
Koperasi telah tercitrakan sebagai pelaku ekonomi pinggiran hingga masyarakat awam sulit membedakan koperasi dan jenis badan usaha lainnya. Masalah ini secara paradigmatik menyebabkan orientasi pemberdayaan koperasi, baik dari sisi regulasi maupun kebijakan menjadi kurang tepat.
Seperti perusahaan pada umumnya, koperasi memang menjalankan bisnis yang dapat dikembangkan di semua sektor. Dari sektor pertanian, pabrikasi, keuangan, perdagangan, bisnis berbasis platform, hingga di sektor layanan publik.
Koperasi adalah badan usaha yang berbasis orang (people-based) dan merupakan bentuk dari bangun perusahaan yang berbeda secara mendasar dibandingkan dengan bisnis berbasis modal (capital-based).
Lebih luas dari itu, ketidakpahaman masyarakat ini menyebabkan banyak orang terkecoh atau bahkan tertipu oleh koperasi abal-abal. Seperti misalnya investasi bodong berbentuk koperasi, rentenir berbaju koperasi, koperasi yang dibentuk pemerintah secara “topdown” seperti KUD di masa Orde Baru, dan lain sebagainya.
Perbedaannya menjadi sangat mendasar, ketika koperasi itu dibandingkan dengan korporasi atau badan usaha milik negara adalah menempatkan manusia itu sebagai subyek yang supreme, atau utama di atas modal (material).
Di koperasi, orang ditempatkan sebagai subyek dalam menentukan pengambilan keputusan, bukan modal seperti dalam korporasi. Ini dalam praktik diwujudkan dalam bentuk asas satu orang satu suara, dimana setiap orang diakui persamaan haknya.
Jadi berapapun modal orang itu di koperasi tidaklah menjadi dasar pengambilan keputusan koperasi karena setiap orang diakui persamaan haknya.
Praktik paling nyata terjadi di koperasi Klub Sepak Bola FC Barcelona, Spanyol. Para pemilik atau anggota dan juga fansnya sebanyak kurang lebih 170 ribu orang itu memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan atas mosi tidak percaya terhadap presiden klubnya. Ini karena setiap orang dihargai persamaan haknya di perusahaan. Ini juga terjadi dalam praktik koperasi yang “genuine” di seluruh belahan dunia.
Menurut Suroto, koperasi memang mencari keuntungan, tapi bukan dimaknai untuk berorientasi pada mengejar keuntungan semata bagi investornya seperti pada perusahaan yang cenderung menerapkan konsep “investor driven”. Melainkan bagi kepentingan mengejar manfaat (benefit oriented) bagi seluruh pihak termasuk bagi pemasok, pekerja, dan bahkan konsumennya.
Kesempatan Pandemi
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki terkesan perlu sekian waktu setelah menduduki jabatannya sebagai menteri untuk mengidentifikasi persoalan yang membuat koperasi seperti jalan di tempat di Tanah Air.
Ia terfokus pada awal langkahnya untuk memberdayakan UMKM dengan lebih kekinian dengan basis anak muda dan teknologi. Sampai saat ia tak lagi punya waktu dan pilihan untuk mau tak mau harus mengurus koperasi juga.
Terobosan pemberdayaan koperasi pun belum menemui peta jalan yang reformatif dan belum mampu menjawab pertanyaan mengapa koperasi masih sulit berkembang di Indonesia. Citra koperasi masih terpuruk sebagai pelaku ekonomi marginal.
Namun Teten sepertinya masih memiliki mimpi besar pada 4 tahun ke depan tentang koperasi yang lebih baik dengan berbagai usaha dan program yang mendistingsi koperasi termasuk kemudahan dan insentif-insentif yang terus akan diberikan.
Padahal di tengah pandemi, disadari ataupun tidak jika koperasi diberdayakan secara konsisten, koperasi bisa menjadi angin segar dan solusi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Kesenjangan sosial ekonomi, kerusakan lingkungan akibat motif eksploitasi untuk semata profit, dan kesenjangan dalam bisnis keseharian dapat segera diakhiri dengan model usaha koperasi.
Pandemi ini adalah kesempatan yang baik untuk masyarakat bahwa hidup sehari-hari ternyata tidak bisa lagi digantungkan nasibnya pada segelintir orang pemilik modal.
Koperasi adalah praktik paling nyata demokrasi dapat bekerja dalam ruang hidup keseharian. Koperasi juga terbukti dalam setiap krisis ekonomi yang terjadi di negara-negara yang kuat justru mampu berfungsi sebagai rompi pengaman masyarakat ketika korporasi swasta kapitalis tumbang.
Penelitian ILO pada 2010 menyatakan bahwa banyak koperasi justru bertumbuh positif karena kesadaran masyarakat yang menganggap penting untuk mengontrol investasi mereka di tangan mereka sendiri ketika korporasi besar berbasis modal mulai tumbang dan hanya andalkan bantuan talangan pemerintah (bailout).
Ini justru menjadi kesempatan yang baik ketika importasi terhambat maka seharusnya sektor ekonomi domestik dan lokal terutama pangan dan energi terbarukan dikembangkan melalui koperasi.
Prinsip Kemandirian
Suroto yang juga praktisi koperasi meyakini bahwa koperasi adalah “self-regulated organization”, atau usaha yang diatur oleh diri mereka sendiri yang diturunkan dari nilai-nilai dan prinsip utama mereka untuk mandiri.
Ia menyarankan agar pemerintah sebaiknya hanya menjadi regulator yang baik dan merekognisi praktik berkoperasi yang terbaik di kalangan masyarakat dan memberikan kebijakan afirmatif.
Praktik kebijakan yang terlalu mengintervensi hanya akan menghambat upaya pengembangan koperasi. Contoh paling nyata adalah KUD di masa Orde Baru.
Paradigma masyarakat dalam melihat koperasi juga saatnya dirombak total. Ini persoalan citra koperasi yang harus diubah dari anggapan usaha yang lemah, kecil, atau gurem menjadi usaha yang kompetitif dan berdaya saing.
Salah satu yang bisa dilakukan tak lain dengan merivisi kebijakan termasuk UU Perkoperasian dan beberapa regulasi lain yang ternyata telah mengkerdilkan peran koperasi.
Di Amerika Serikat, koperasi mendapatkan peran ekonomi yang cukup besar, bahkan sebagai negara yang dianggap kapitalistik, koperasi mendapatkan peran sebagai pengelola listrik mulai dari bisnis infrastruktur sampai dengan distribusinya melalui National Rural Electricity Cooperative Association (NRECA) yang beroperasi di seluruh negara bagian.
Contoh lain, rumah sakit terbesar di kota Washington itu adalah koperasi dalam bentuk Group Health Cooperative (GHC).
Maka pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM sebagai lokomotif utama pemberdayaan koperasi pun diharapkan agar mampu melakukan tindakan afirmatif untuk memecah kebekuan dan menjawab tantangan pertanyaan mengapa koperasi sulit berkembang di Indonesia.
Sebab secara sistem koperasi sejatinya sudah menjalankan salah satu prinsip kemandiriannya untuk menciptakan keadilan ekonomi. Jadi mengapa masih saja sulit berkembang?
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020