Agama atau kepercayaan Kaharingan yang dianut masyarakat adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan kini terancam punah, ujar Koordinator Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPMA) Borneo Selatan, Juliade.
"Hal itu bisa terjadi bila masyarakat adat Dayak Meratus tidak lagi melaksanakan upacara-upacara adat mereka dan saat ini gejala itu sudah nampak," ujarnya saat ditemui di Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sekitar 165 Km Utara Banjarmasin, Rabu.
Kepercayaan itu khususnya pada masyarakat adat Dayak Meratus tidak tertuang dalam sebuah kitab suci sebagaimana agama lain yang berkembang di Indonesia.
Pada masyarakat adat Dayak Meratus agama tersebut berkembang dengan menggunakan budaya bertutur oleh tetuha adat atau mereka yang memiliki kemampuan khusus untuk itu.
Menurut dia, saat ini jumlah tetuha adat yang menguasai dan mampu menuturkan ajaran agama kepercayaan Kaharingan jumlahnya makin sedikit dan hanya dapat ditemui saat pelaksanaan upacara adat.
"Agama kepercayaan Kaharingan pada masyarakat adat Dayak Meratus dituturkan secara khusus oleh mereka yang terpilih sehingga tidak semua orang bisa dan mampu mempelajarinya," katanya.
Selain itu, pada masyarakat adat Dayak Meratus memang tidak ada guru khusus yang bertugas memberikan pelajaran tentang hal tersebut sedang pihak pemerintah juga tidak mengupayakannya.
Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah (Kalteng) saat ini di Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng telah berdiri sekolah khusus tentang agama Kaharingan.
Hal tersebut diperparah oleh kondisi generasi muda Dayak Meratus yang kini sudah banyak yang enggan mempelajari cara bertutur menurut kepercayaan mereka itu.
Ia menambahkan, agama kepercayaan Kaharingan bagi masyarakat Adat Dayak Meratus erat kaitannya dengan aktivitas keseharian mereka seperti merambah hutan, berhuma, berburu dan pelaksanaan upacara adat.
"Namun saat ini sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi kegiatan upacara keagamaan dan budaya masyarakat Adat Dayak Meratus telah mengalami pergeseran dan mulai kehilangan makna," tambahnya.
Ilmu dan teknologi yang merambah hingga ke pedalaman Pegunungan Meratus tempat komunitas Dayak Meratus tinggal membuat generasi muda mereka mulai beranggapan bahwa pelaksanaan upacara adat merupakan sesuatu yang primitif.
Pelaksanaan upacara adat seperti Aruh Ganal misalnya kini lebih banyak dilakukan hanya sekedar pemenuhan kewajiban dan kadang untuk tujuan komersial dalam rangka menarik minat wisatawan.
Padahal tanpa disadari hal tersebut membuat pelaksanaan agama kepercayaan Kaharingan mulai tertinggalkan.
Hal itu pulalah yang menyebabkan jumlah orang Dayak Meratus yang menguasai tutur agama Kaharingan semakin hari semakin sedikit.
Sementara itu, generasi muda Dayak Meratus yang berpendidikan perhatiannya kebanyakan terkonsentrasi pada masalah pengakuan dan perjuangan akan hak-hak masyarakat adat saja.
Mereka yang kini berdomisili di kawasan perkotaan juga tidak lagi melaksanakan upacara adat sehingga secara otomatis pengamalan agama kepercayaan Kaharingan tidak lagi dijalankan bahkan terlupakan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2010
"Hal itu bisa terjadi bila masyarakat adat Dayak Meratus tidak lagi melaksanakan upacara-upacara adat mereka dan saat ini gejala itu sudah nampak," ujarnya saat ditemui di Barabai, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sekitar 165 Km Utara Banjarmasin, Rabu.
Kepercayaan itu khususnya pada masyarakat adat Dayak Meratus tidak tertuang dalam sebuah kitab suci sebagaimana agama lain yang berkembang di Indonesia.
Pada masyarakat adat Dayak Meratus agama tersebut berkembang dengan menggunakan budaya bertutur oleh tetuha adat atau mereka yang memiliki kemampuan khusus untuk itu.
Menurut dia, saat ini jumlah tetuha adat yang menguasai dan mampu menuturkan ajaran agama kepercayaan Kaharingan jumlahnya makin sedikit dan hanya dapat ditemui saat pelaksanaan upacara adat.
"Agama kepercayaan Kaharingan pada masyarakat adat Dayak Meratus dituturkan secara khusus oleh mereka yang terpilih sehingga tidak semua orang bisa dan mampu mempelajarinya," katanya.
Selain itu, pada masyarakat adat Dayak Meratus memang tidak ada guru khusus yang bertugas memberikan pelajaran tentang hal tersebut sedang pihak pemerintah juga tidak mengupayakannya.
Berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah (Kalteng) saat ini di Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng telah berdiri sekolah khusus tentang agama Kaharingan.
Hal tersebut diperparah oleh kondisi generasi muda Dayak Meratus yang kini sudah banyak yang enggan mempelajari cara bertutur menurut kepercayaan mereka itu.
Ia menambahkan, agama kepercayaan Kaharingan bagi masyarakat Adat Dayak Meratus erat kaitannya dengan aktivitas keseharian mereka seperti merambah hutan, berhuma, berburu dan pelaksanaan upacara adat.
"Namun saat ini sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi kegiatan upacara keagamaan dan budaya masyarakat Adat Dayak Meratus telah mengalami pergeseran dan mulai kehilangan makna," tambahnya.
Ilmu dan teknologi yang merambah hingga ke pedalaman Pegunungan Meratus tempat komunitas Dayak Meratus tinggal membuat generasi muda mereka mulai beranggapan bahwa pelaksanaan upacara adat merupakan sesuatu yang primitif.
Pelaksanaan upacara adat seperti Aruh Ganal misalnya kini lebih banyak dilakukan hanya sekedar pemenuhan kewajiban dan kadang untuk tujuan komersial dalam rangka menarik minat wisatawan.
Padahal tanpa disadari hal tersebut membuat pelaksanaan agama kepercayaan Kaharingan mulai tertinggalkan.
Hal itu pulalah yang menyebabkan jumlah orang Dayak Meratus yang menguasai tutur agama Kaharingan semakin hari semakin sedikit.
Sementara itu, generasi muda Dayak Meratus yang berpendidikan perhatiannya kebanyakan terkonsentrasi pada masalah pengakuan dan perjuangan akan hak-hak masyarakat adat saja.
Mereka yang kini berdomisili di kawasan perkotaan juga tidak lagi melaksanakan upacara adat sehingga secara otomatis pengamalan agama kepercayaan Kaharingan tidak lagi dijalankan bahkan terlupakan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2010