Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance Universitas Lambung Mangkurat (Parang ULM) menilai prosedur penjaringan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cacat prosedur.

Menurut Ketua Parang ULM Ahmad Fikri Hadin, di Banjarmasin, Jumat, beberapa persyaratan administratif wajib tidak dipenuhi para capim KPK yang lolos hingga tahapan tes psikologi saat ini.

"Salah satu yang kami soroti soal laporan harta kekayaan yang harusnya dilakukan sedari awal, bukan pada proses akhir. Memang ketentuan pelaporan kekayaan diberlakukan bagi penyelenggara negara. Namun dalam hal mencalonkan menjadi capim KPK, maka meskipun bukan penyelenggara negara tetap harus melaporkan harta kekayaannya kepada KPK berdasarkan ketentuan pasal 29 UU KPK," ujar Fikri.

Menurut dia, penyerahan laporan kekayaan menunjukkan bahwa siapa pun yang mendaftarkan diri sebagai capim KPK akan terbuka terhadap harta kekayaan yang diperoleh dari jabatan sebelumnya.


Baca juga: Pengamat : Sampah hasil pembersihan lahan bisa dijadikan kompos
"Maka tidak tepat jika pernyataan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang tergambar dari harta kekayaan malah dilaporkan belakangan," ujar dosen Fakultas Hukum ULM itu pula.


Kemudian, Fikri juga menghendaki seluruhnya proses pemenuhan syarat administrasi lainnya diserahkan dari awal pula, seperti berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan atau perbankan.


Selanjutnya, tidak pernah melakukan perbuatan tercela, cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik serta melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Secara sosiologis publik hendak mengetahui apakah capim KPK benar-benar bersih sedari awal, agar proses seleksi tidak disusupi orang-orang bermasalah," ujar Fikri menekankan.

Atas beberapa isu etik yang menyentuh beberapa capim KPK, Fikri membeberkan calon tertentu pernah dipermasalahkan etikanya karena sebagai aparat penegak hukum bertemu dengan salah satu tersangka perkara yang sedang ditangani institusinya.

Baca juga: Two professors and 25 doctors support ULM law doctoral program

"Tentu secara hukum tidak pada tempatnya untuk menyatakan pertemuan itu sebuah pelanggaran hukum. Namun, dalam koridor etika aparat penegak hukum hal tersebut merupakan pelanggaran etik yang tentu saja dipertanyakan masyarakat luas," katanya lagi.

Segala persoalan yang mengemuka, kata Fikri, pihaknya bersama sejumlah lembaga penelitian hukum Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap yang dipaparkannya tersebut.

Selain Parang ULM, ada juga PUSaKO FH Universitas Andalas, PUKAT Universitas Gadjah Mada, PUSKAPSI FH Universitas Jember, HRLS FH Universitas Airlangga, PUSAD UM Surabaya, Lembaga Taman Metajuridika FH UNRAM, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) serta Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH Universitas Indonesia.

Baca juga: Profesor dunia berkumpul di ULM bahas tantangan Revolusi Industri 4.0

Pewarta: Firman

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019