Wakil Ketua DPRD Kotabaru Mukhni AF, di Kotabaru, Kamis mengatakan, pihaknya setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut, namun dengan syarat harus terlebih dulu dilengkapi sarana dan prasarana pendukungnya, dan sebelum itu siap, maka konversi lebih baik ditunda.
"Secara pribadi saya tidak setuju kalau konversi minyak tanah ke gas diterapkan di Kotabaru, mengingat belum siapnya sarana pendukung, sebab jika kebijakan ini tetap diterapkan bersamaan dihapusnya distribusi minyak tanah, maka justru akan menyengsarakan masyarakat," kata Mukhni.
Menurut dia, pemerintah harus memperhatikan bagaimana kondisi masyarakat Kotabaru khususnya yang tinggal di daerah-daerah terpencil kepulauan yang tidak dibarengi dengan fasilitas maupun infrstruktur yang memadai.
Mukhni menyontohkan bagi masyarakat di Pulau Sembilan dan Kecamatan Kepulauan sangat sulit mendapatkan bahan makanan dari ibukota kabupaten Kotabaru karena masih belum lancarnya sarana transportasi, terlebih jika musim angin barat yang menjadikan cuaca ekstrim dan gelombang tinggi.
Apalagi lanjut dia, untuk mendapatkan gas elpiji saat ini belum bisa diperoleh dari Kotabaru, tetapi masih harus mendatangkan dari Tanah Bumbu karena stasiun pengisian bahan bakar elpiji baru ada di daerah tersebut. Akibatnya, harga gas yang resminya kurang dari Rp20 ribu itu bisa menjadi berlipat-lipat ketika sampai di daerah mereka.
"Bukan tidak mungkin satu tabung gas elpiji 3 kg harganya mencapai Rp70 ribu hingga Rp80 ribu, sementara minyak tanah bersubsidi yang selama ini diperoleh dengan mudah, sudah tidak lagi bisa didapat karena sudah dihapus oleh pemeritah," ungkapnya.
Oleh karenanya, sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan terpencil (Pulau Laut Barat, Pulau Sembilan dan Kepulauan), Mukhni berharap kepada pemerintah agar memperlakukan khusus bagi Kotabaru terkait kebijakan konversi minyak tanah ke gas.
Maksudnya, agar kebijakan konversi tetap bisa diberlakukan dengan bertahap sesuai kesiapan sarana pendukung seperti SPBE dan sarana transportasi untuk pendistribusiannya, sementara itu tidak dengan serta merta menghapus kuota minyak tanah (sesuai keputusan yang seharusnya 2016 sudah berlaku), agar masyarakat khususnya di daerah terpencil tetap tertolong dengan ketersediaan minyak tanah.
Menurut Mukhni, jangan sampai terjadi adanya kebijakan pemerintah yang maksudnya baik, ternyata justru berakibat atau berdampak tidak baik bagi masyarakat karena akan menderita akibat kebijakan itu sendiri.
Sebelumnya, keseriusan legislatif dalam menyikapi kebijakan tersebut, kalangan DPRD Kabupaten Kotabaru mengundang Pertamina dan Himpunan swasta minyak tanah dan gas bumi (Hiswanamigas) setempat guna membahas persiapan pemberlakuan konversi minyak tanah ke gas.
Menurut Mukhni, sehubungan dengan akan diberlakukannya konversi di dua Kabupaten (Kotabaru dan Tanah Bumbu), akan ada pengurangan kuota distribusi minyak tanah bersubsidi.
"Informasi yang saya terima, akan ada pengurangan kuota minyak tanah bersubsidi 40 persen secara berahap, menyusul akan diberlakukannya konversi," kata Mukhni.
Sehubungan dengan kebijakan tersebut, dari informasi yang ia terima, Pertamina Kotabaru juga sudah memanggil sejumlah agent untuk menyampaikan sosialisasi.
Guna mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut, politisi Partai Golkar ini mengaku akan segera menggelar rapat dengar pendapat dengan mengundang sejumlah pihak terkait diantaranya Pertamina dan Hiswanamigas.
Menurut dia, jika memang pengurangan kuota itu benar, hendaknya dilakukan secara bertahap dan tempat (kecamatan) tertentu, jadi tidak diberlakukan secara serempak di daerah-daerah yang masih terpencil.
"Harapan saya, pengurangan kuota distribusi minyak tanah bersubsidi terlebih dulu diberlakukan di Kecamatan Pulau Laut Utara, daerah ini dianggap lebih siap karena koneksi dengan daerah luar (Batulicin dan sekitarnya) lebih mudah," katanya.
Alasan lain bisa diberlakukannya pengurangan kuota di kecamatan ini, karena dengan lancarnya koneksi dan transportasi dengan Banjarmasin dan sekitarnya, sehingga banyak alternatif lain seperti gas elpiji untuk bisa dibeli oleh masyarakatnya.
Berbeda dengan daerah-daerah pedalaman, seperti Pulau Sembilan, Pulau Sebuku, Pulau Laut Barat dan sekitarnya, begitu sulit mendapatkan BBM alternatif karena masih terbatasnya transportasi yang bisa menjangkaunya.
Oleh karena itu, sebagai langkah antisipasi jika memang program pemerintah konversi minyak tanah ke gas, sebagaimana yang sudah berjalan di kabupaten-kabupaten lain di Kalsel itu juga diberlakukan di Kotabaru, maka perlu dibicarakan strategis daerah termasuk tentang hal-hal teknis.