Jakarta (ANTARA) - Tewasnya seorang istri akibat disiram air keras oleh suaminya, yang terjadi di Cianjur, Jawa Barat, bulan ini, merupakan kasus berulang yang tidak jarang ditemukan pada judul-judul berita media massa.
Kasus pembunuhan semacam itu sering kali menjadikan para perempuan sebagai korban, baik dalam perannya sebagai seorang istri, anak, pacar, maupun pekerja.
Banyak pihak, termasuk kepolisian, sejauh ini menempatkan kasus itu pada pembunuhan biasa. Pelaku ditetapkan sebagai tersangka, kemudian dihukum sebagaimana vonis pengadilan.
Namun, mengapa hampir tak ada efek jera? Pembunuhan yang menargetkan perempuan kerap kali terjadi dan alasannya pun sering kali tidak jauh berbeda antara satu kasus dengan yang lain, misalnya karena cemburu dan diminta cerai oleh pasangannya.
Jika merujuk pada penanganan yang saat ini berjalan, kasus-kasus pembunuhan yang menargetkan perempuan kemungkinan kembali terjadi ke depan karena kurangnya langkah-langkah pencegahan yang seharusnya oleh aparat penegak hukum bersama berbagai kelompok masyarakat.
Langkah-langkah pencegahan itu hampir sulit ditemukan, salah satu penyebabnya karena banyak pihak belum memahami bahwa pembunuhan yang sengaja menargetkan perempuan bukan kejahatan biasa.
Di belahan dunia yang lain, fenomena itu diberi nama femisida. Istilah itu diperkenalkan pertama kali pada tahun1801 oleh John Corry, seorang sejarawan dan pembuat peta topografi asal Inggris.
John, lewat bukunya berjudul A Satirical View of London at the Commencement of the Nineteenth Century menggunakan istilah femisida untuk menyebut pembunuhan terhadap perempuan.
Istilah itu lanjut dipakai oleh beberapa sastrawan dan pemikir di negara-negara maju sekitar 1970-an. Diana E.H. Russel, seorang penulis dan aktivis kelahiran Cape Town, Afrika Selatan, membuat rumusan definisi femisida yang lebih lengkap.
Diana bersama aktivis perempuan lainnya, Nicole van Den Ven, memperkenalkan istilah femisida secara terbuka ke publik pada sebuah forum persidangan terbuka The International Tribunal on Crimes Against Women di Brussels, Belgia, pada tahun 1976.
Ia merumuskan femisida adalah pembunuhan yang menargetkan perempuan atas dasar kebencian, perlakuan merendahkan, kesenangan, rasa kepemilikan, dan sikap-sikap yang misoginis.
Definisi itu oleh Diana kemudian disederhanakan pada tahun 2012 saat berpidato di Simposium PBB tentang Femisida. Femisida kemudian banyak dipahami sebagai pembunuhan yang menargetkan satu atau lebih perempuan hanya karena jenis kelamin/gender mereka.
Rumusan Komnas Perempuan
Berselang 9 tahun sejak istilah femisida diperkenalkan secara luas dalam forum PBB, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mulai merumuskan pengertian femisida yang merujuk pada situasi di Indonesia.
Komnas Perempuan, dalam hasil kajian awal dan kertas kebijakan yang diluncurkan minggu ini, merumuskan pengertian femisida sebagai pembunuhan yang dilakukan secara sengaja terhadap perempuan karena jenis kelamin atau gendernya, yang didorong oleh adanya perasaan superior, dominasi, maupun misogini terhadap perempuan, rasa memiliki terhadap perempuan, ketimpangan kuasa, dan kepuasan sadistik.
Frasa kata "secara sengaja" dibuat oleh Komnas Perempuan dengan tujuan agar femisida ditempatkan dalam konteks hukum pidana, khususnya Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, saat meluncurkan hasil kajian awal, menyampaikan rumusan definisi itu merupakan upaya memperkenalkan femisida kepada masyarakat Indonesia, termasuk kepada para penegak hukum.
Jika wawasan terkait dengan femisida mulai tumbuh, Andy berharap para korban atau setidaknya calon korban dapat melaporkan kekerasan yang ia alami ke kepolisian, sehingga mereka tidak berakhir sebagai korban.
Komnas Perempuan berharap hasil kajian awal dan rumusan definisi femisida itu juga dapat mendorong aparat penegak hukum dan para pihak untuk aktif menyikapi persoalan tersebut.
Femisida di Indonesia
Komnas Perempuan lewat pemantauan media pada tahun 2018—2020 menemukan berbagai macam kasus femisida yang kemudian itu dikategorisasi jadi sembilan jenis femisida.
Komnas Perempuan memantau sembilan jenis femisida, yaitu femisida intim, femisida budaya, femisida dalam konteks konflik bersenjata, femisida dalam komteks industri seks komersial, femisida terhadap perempuan dengan disabilitas, femisida karena orientasi seksual dan identitas gender, femisida di penjara, femisida nonintim, dan femisida pada penggiat HAM/penggiat kemanusiaan.
Femisida intim, yang dipahami sebagai pembunuhan perempuan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pihak lainnya, tidak sulit ditemukan terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut data Komnas Perempuan, jumlah kasus femisida intim di Indonesia menempati urutan teratas (263 kasus), kemudian diikuti oleh femisida nonintim 131 kasus, femisida yang tidak teridentifikasi 13 kasus, femisida konteks industri seks komersial 8 kasus, femisida perempuan disabilitas 3 kasus, femisida budaya 2 kasus, dan femisida karena orientasi seksual 1 kasus.
Dalam penelusuran cepat di mesin pencari Google, ada lebih dari 6.000.000 hasil pencarian untuk kata kunci "suami bunuh istri" dalam waktu 0,35 detik.
Sementara itu, kata kunci "perempuan dibunuh" mengeluarkan lebih dari 8.000.000 hasil pencarian dalam waktu 0,32 detik.
Untuk kata kunci "perempuan dibunuh pacar", ada 671.000 hasil pencarian dalam waktu 0,30 detik.
Alasan pembunuhan dari hasil penelusuran itu bervariasi.
Hasilnya sejalan dengan temuan Komnas Perempuan yang memetakan femisida terjadi, antara lain karena cemburu, dendam/sakit hati, menolak berhubungan seksual, masalah utang/piutang, pengancaman, perselingkuhan, cinta ditolak, permasalah rumah tangga, pekerjaan, perceraian, motif ekonomi, pertengkaran/cekcok, gangguan jiwa, ketersinggungan maskulinitas, ritual, pemerkosaan, pencurian, kehamilan yang tidak diinginkan, menolak untuk rujuk, dan didesak untuk menikah.
Meskipun Komnas Perempuan baru mengeluarkan hasil kajian awal, temuan-temuan dan rumusan mengenai femisida patut jadi perhatian bersama karena deretan kasus yang ada menunjukkan pembunuhan terjadi secara terpola dan menargetkan korban karena mereka adalah perempuan.
Jika kesadaran itu tumbuh dan mulai ada pemahaman bahwa femisida merupakan problem yang perlu dihapuskan, maka ada harapan ke depan para pembuat kebijakan akan mulai memikirkan cara-cara pencegahan, penanganan, dan tentunya pemulihan bagi keluarga korban.