Denpasar (ANTARA) - "Sebagai pelaku pengolahan sampah, banyak tantangan dan rintangan, tapi berkat sampah akhirnya saya bisa sampai juga ke Bali," kata Ibnu Muyassar, warga keturunan Sumenep, Madura.
Pria yang biasa dipanggil Iib itu sudah beberapa kali datang ke Bali. Sesekali dia tertawa saat menuturkan pengalamannya berkelana di Pulau Dewata untuk mempelajari model-model pengelolaan sampah sambil menikmati daerah tujuan wisata itu.
"Sambil wisata sampah, tapi saya juga wisata Bali. Saya sudah pernah ke beberapa kabupaten di Pulau Dewata ini untuk urusan sampah, sambil wisata," katanya lalu terkekeh.
Pria yang beristrikan warga Lumajang, Jawa Timur, tersebut juga mengemukakan bahwa dia sudah pernah berkeliling ke pasar-pasar dan perkampungan atau banjar-banjar di Bali untuk melihat cara mereka mengelola dan mengolah sampah.
"Kalau di pasar itu banyak sampah plastik kantong, namanya sampah non-organik. Nah, saya kumpulkan bersama teman-teman komunitas sampah di sini. Selain pasar dan perkampungan juga ke rumah sakit dan instansi lain," katanya.
Dia juga mengunjungi beberapa tempat olah sampah setempat (TOSS) yang ada di Pulau Bali, termasuk TOSS di Kabupaten Klungkung yang cukup terkenal.
"Yang mengurusi beberapa TOSS itu Yayasan Bali Waste Cycle yang dipimpin oleh Pak Putu," katanya.
Ia menjelaskan, berbagai sampah plastik yang terkumpul selanjutnya akan dipilah dan dikelompokkan menjadi empat atau lima berdasarkan jenisnya.
Sampah plastik yang sudah dipilah kemudian akan dibawa ke markas Iib untuk digiling menjadi sampah bersih padat dan didistribusikan ke pabrik yang membutuhkan.
"Ada sampah plastik yang bisa jadi bahan pembuatan sapu dan cikrak, atau ada yang dibuat bahan pembuatan kantong plastik, tapi ada sampah plastik yang lebih bagus lagi untuk bahan pembuatan mainan seperti bola. Yang paling bagus bisa untuk bahan pembuatan timba, gentong besar, dan sebagainya," Iib memaparkan.
Iib menuturkan bahwa sebagian pelaku pengolahan sampah di Indonesia berasal dari etnis Madura, yang kebanyakan mengolah sampah berupa besi, plastik, kertas, dan kayu.
"Kalau yang di Klungkung itu diolah menjadi pelet atau briket untuk tenaga listrik," ia menambahkan.
Sambil berkelakar, ia mengatakan bahwa orang Madura sangat kreatif.
"Bagaimana tidak, bagi orang Madura itu, barang yang tidak laku bisa jadi laku... Padahal, saya juga cuma bagian menggiling dan saya sudah dipercaya pabrik," katanya lalu tertawa lepas.
Iib mengelola usaha pengolahan sampah yang mencakup proses pemilahan, pembersihan, penggilingan, hingga pengeringan.
"Hasilnya, baru dikirimkan ke pabrikan sesuai jenis produksinya," katanya.
Ia juga menuturkan bahwa orang-orang dari daerah Madura punya spesialisasi tersendiri dalam urusan mengolah sampah.
"Biasanya, orang Madura yang mahir olah sampah besi itu dari Bangkalan, kalau olah plastik itu dari Sampang. Untuk jenis sampah kertas dan kayu ya seluruh orang Madura tahu," katanya disertai tawa.
Menurut dia, di antara pelaku pengolahan sampah plastik ada yang tidak mau berbagi ilmu karena takut mendapat saingan di kemudian hari.
Padahal, ia melanjutkan, sampah yang jumlahnya semakin hari semakin banyak seiring dengan pertumbuhan populasi serta peningkatan kegiatan usaha dan industri penanganannya membutuhkan keterlibatan banyak pihak.
"Karena itu lah saya coba berbagi agar menjadi sarana mempercepat proses pengolahan sampah menjadi barang baru untuk daur ulang sampah yang berkemajuan," katanya.
"Ekonomi berjalan dan lingkungan terjaga, karena kita ikut membangun lewat olah sampah. Ilmu itu kalau dibagi tidak akan menjadi berkurang, harta dibagi tidak akan menjadi miskin," kata keturunan pendakwah dari kalangan Muhammadiyah di Madura itu.
Dia menjelaskan bahwa pengolahan sampah berbasis komunal dan pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan sampah sesungguhnya merupakan amanat dari sejumlah regulasi.
Regulasi yang dia maksud meliputi Peraturan Menteri Dalam Negeri No.33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle melalui Bank Sampah, serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
"Inti dari regulasi itu adalah pemerintah/pemerintah daerah adalah regulator dan fasilitator, sedangkan masyarakat adalah eksekutor. Itu yang harus diatur sistemnya berdasar regulasi yang ada terkait pengolahan sampah nasional," kata Iib.
Di Bali, upaya pengolahan sampah juga melibatkan pemerintah desa serta komunitas. Hal itu antara lain terlihat dalam pengelolaan sampah di Bank Sampah "Tresna Sari" di Desa Sumerta Kelod, Denpasar, yang sejak berdiri dua tahun lalu telah memiliki sebanyak 90 orang nasabah.
Bank sampah itu mengumpulkan sampah organik dari warga dan mengolahnya menjadi kompos.
"Enam bulan kemudian, kami angkat sampahnya dan kami gunakan sebagai pupuk di lingkungan ini, sehingga lingkungan juga terjaga," kata Perbekel Desa Sumerta Kelod I Gusti Ketut Anom Suardana.
Sampah anorganik dari warga dikumpulkan di area kantor desa untuk kemudian dijual dan hasilnya menjadi tabungan warga. Dalam waktu enam bulan, nasabah bank sampah bisa memperoleh fulus hingga Rp1 juta lebih dari hasil penjualan sampah anorganik mereka.
"Nasabah bisa menarik tabungan sampah setiap enam bulan sekali, tepatnya pada saat Hari Raya Galungan, guna membeli daging dan sarana upacara dari hasil menabung sampah itu," kata I Gusti Ketut Anom Suardana.
Iib akan membeli sampah anorganik warga yang dikumpulkan oleh aparat desa tersebut kemudian mengolahnya menjadi bahan baku produk yang bernilai.
"Jadi, berkat sampah, saya tidak hanya bisa ke Bali, tapi saya bisa belajar banyak pada masyarakat Bali," kata Iib, lalu menyeruput kopinya.
Dia menekankan pentingnya kolaborasi dan kerja sama dalam upaya pengelolaan sampah. Dengan kolaborasi dan kerja sama, sampah akan terkelola dengan lebih baik sehingga bisa mendatangkan lebih banyak manfaat bagi lingkungan dan warga.