Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pakar menyoroti rencana pemerintah Indonesia yang akan menaikkan tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap kendaraan listrik yang aturan sebelumnya telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73/2019.
Menurut pakar otomotif sekaligus akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu, hal ini nantinya bisa saja mempengaruhi minat masyarakat terhadap mobil listrik, karena harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli kendaraan energi terbarukan tersebut.
"Ini adalah fenomena yang menarik. Usulan PPnBM kendaraan listrik mau dinaikkan padahal dapat dikatakan EV belum juga mulai memasyarakat. Hal ini bisa mengacaukan program pemasyarakatan kendaraan listrik, tampaknya akan berdampak bukan saja pada mobil tetapi juga sepeda motornya," kata Yannes kepada ANTARA, Kamis.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa program memopulerkan kendaraan listrik sangat tergantung dengan kebijakan pemerintah.
"Karena, sesungguhnya, program pemasyarakatan kendaraan listrik itu kan adalah program dari pemerintah, bukan purely dorongan dari pasar, atau dorongan dari para pelaku otomotif di Indonesia," ujar Yannes.
Menambahkan, Ekonom sekaligus peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho berpendapat bahwa rencana tersebut bisa membuat suatu kebingungan, baik untuk masyarakat maupun pemerintah sendiri.
"Rancu, ya. Karena sebelumnya PPnBM berdasarkan gas emisi buang diaturnya, dan untuk EV, (emisi gas buangnya) kecil. Saya rasa kalau pun dinaikkan dan ditetapkan di PPnBM, ini menjadi suatu kebingungan pemerintah," kata Andry saat dihubungi ANTARA.
Sebagai informasi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019, tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM, mengatur bahwa penghitungan PPnBM kendaraan bermotor tidak lagi mengacu pada bentuk kendaraan, melainkan pada besaran emisi atau efisiensi bahan bakar.
Lebih lanjut, rencana untuk menaikkan PPnBM untuk kendaraan listrik juga dinilai akan membuat masyarakat berpikir ulang untuk membeli mobil listrik, dan bukan tidak mungkin kalau kendaraan ini malah terasa semakin "jauh" bagi masyarakat kalangan menengah.
"Sebelumnya insentif-insentif dibuat agar masyarakat mulai beralih ke EV, tapi pertanyaannya, sekarang siapa yang mengonsumsi EV, dan berapa harganya di Indonesia?" kata Andry.
"Pasti mempengaruhi minat, karena cost-nya yang diterima lebih besar. Di sisi lain, infrastruktur mobil listrik juga belum masif. Charging station dan aftersales service belum banyak, dan masih belum dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah," ujar peneliti lulusan ITB itu.
Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tidak hanya untuk mendorong penerimaan negara, namun juga menjaga keseimbangan pembebanan pajak antara masyarakat berpenghasilan rendah dan tinggi.
Menkeu menuturkan dasar hukum pengenaan PPnBM kendaraan bermotor yang berlaku saat ini ada tiga yaitu Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, PP Nomor 41 Tahun 2013 sttd PP 22 Tahun 2024, serta PMK 33/PMK.010/2017.
Sri Mulyani mengatakan pihaknya mengingatkan hal ini karena pemerintah sedang berencana menaikkan tarif PPnBM terhadap kendaraan listrik yang aturan sebelumnya telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73/2019.
Usulan tarif PPnBM terbaru didasarkan pada skema I dan skema II dengan skema II akan diberlakukan dua tahun setelah ada realisasi investasi Rp5 triliun di industri mobil BEV atau saat BEV mulai berproduksi komersial dengan realisasi investasi Rp5 triliun.