Barabai, Kalsel, (Antaranews Kalsel) - Warga suku Dayak di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, melakukan "aruh ganal" atau syukuran atas pelaksanaan panen padi yang berjalan dengan baik dan hasil yang cukup memuaskan.
Anggota Organisasi Masyarakat Adat Dayak (Ormada) Balian Mulyadi di Barabai, Selasa, mengatakan bahwa "aruh ganal" tersebut dibuka sejak Sabtu (10/10) malam, dan dihadiri oleh masyarakat di lingkungan balai-balai adat serta pengunjung dari luar desa.
Pesta aruh ganal tersebut, kata dia, akan dilakukan selama tujuh hari tujuh malam oleh seluruh warga Dayak yang tinggal di beberapa balai atau tempat tinggal di sekitar daerah tersebut.
Menurut Mulyadi, aruh ganal kali ini diselenggarakan oleh Tiga Balai Adat di desa Kundan, Haruyan Dayak, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
"Aruh ganal atau aruh manyahari tersebut dilaksanakan pada tiga balai adat, yaitu Balai Bidang, Balai Bangkaung, dan Balai Kumuh 2," katanya.
Aruh yang digelar selama tujuh malam itu merupakan syukuran warga Dayak Meratus atas panen padi pada bulan Juli sampai Agustus 2014.
Meski dilaksanakan satu minggu, warga luar yang takhadir pada pembukaan aruh, tak dibolehkan datang ketempat upacara aruh pada hari-hari berikutnya.
"Kalaupun datang, kena denda adat. Ini aturan adat yang memang berlaku sejak dahulu," kata Mulyadi, warga desa Kundan.
Dia menyebutkan ada tiga kali aruh adat terkait panen, yaitu aruh musim tanam dilaksanakan lima hari, aruh tolak bala dilaksanakan tiga hari, dan aruh ganal atau manyahari yang digelar setelah selesai panen selama tujuh malam.
Seperti halnya dilakukan warga dayak meratus daerah lain, kegiatan aruh disertai dengan acara batandik (menari) disertai pembacaan mantra.
Kegiatan itu dilakukan sambil mengelilingi sesembahan di dalam rumah balai oleh para balian dipimpin kepala balai. Selanjutnya, para undangan menyantap bersama aneka hidangan, berupa lamang, kue, dan buah pisang.
"Kecuali ada yang punya hajat, baru disertai pemotongan hewan seperti kambing, kerbau, atau babi," katanya.
Menurut dia, aruh adat di desa Kundan tidak seperti di desa lainnya, yang tidak murni lagi, karena lebih didominasi perjudian yang sebenarnya bukan tradisi warga dayak.
Mulyadi mengatakan bahwa tetuha adat di desa Kundan masih menjaga kemurnian adat leluhur dan menolak disusupi judi.
"Memang ada permainan seperti domino, tetapi sekadar permainan biasa. Tidak seperti di daerah lain yang ada perjudian dengan melibatkan pihak luar," katanya.
Menurut Mulyadi, warga dayak Meratus sangat menghormati padi, sebagai lambang kemakmuran, sehingga warga selalu melakukan ritual aruh dengan harapan hasil panen selanjutnya lebih berlimpah.
Warga pun jarang sekali menjual hasil panennya. Mereka lebih senang menyimpannya di lumbung masing-masing untuk persediaan.
Mereka bertani padi gogo dengan sistem ladang berpindah. Selain itu, juga berkebun pisang dan karet.