Bangkok (ANTARA) - Ratusan warga kembali memenuhi jalanan di Kota Bangkok, Thailand, Sabtu, untuk mendesak pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, perubahan konstitusi, dan pemilihan umum yang baru.
Pengunjuk rasa berharap aksi hari ini jadi demonstrasi terbesar setelah selama bertahun-tahun warga rutin turun ke jalan menyuarakan tuntutan tersebut.
Sejumlah demonstran juga meminta kekuasaan kerajaan dan kewenangan Maharaja Vajiralongkorn dikurangi. Meskipun ada tekanan dari pemerintah, tuntutan terhadap kerajaan tetap diserukan oleh sejumlah demonstran.
Ratusan orang pada Sabtu berkumpul di sekitar Thammasat University, kampus yang dianggap banyak pihak sebagai markas oposisi pemerintah dan kerajaan.
Para pemrotes diperbolehkan masuk, meskipun pihak kampus sempat mengatakan mereka akan dilarang memasuki kawasan itu.
Massa kembali rutin menggelar aksi sejak pertengahan Juli 2020. Sejauh ini, aksi massa terbesar di Bangkok berlangsung pada Agustus dan diikuti sekitar 10.000 orang.
Pengunjuk rasa berharap aksi hari ini dapat diikuti oleh lebih banyak peserta.
Seorang pengacara hak asasi manusia, yang menjadi salah satu pemimpin massa aksi, Arnon Nampa, lewat unggahannya di Twitter mengatakan massa menuntut pemerintah mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat.
Dalam aksi pada Sabtu, kelompok pelajar berbagai wilayah di Thailand juga turun ke jalan. Pelajar dan mahasiswa menjadi kelompok yang memulai unjuk rasa di Thailand.
”Pemerintah curang dan kami meminta mereka mundur,” kata Patricia Phakkhaphinya, 35, warga Surat Thani, Thailand Selatan.
“Semuanya terpuruk dan kami tidak punya uang,” kata dia.
Parit "Penguin" Chiwarak, salah satu tokoh massa aksi, meyakini ada sekitar 100.000 orang yang akan berunjuk rasa. Kepolisian mengatakan mereka memperkirakan 50.000 orang akan ikut dalam aksi tersebut.
Sejumlah politisi yang berasal dari masyarakat miskin dan daerah pinggiran telah lama mengkritik dominasi militer dan kerajaan di Thailand. Tuntutan itu saat ini juga diserukan oleh kelompok pelajar.
Militer telah beberapa kali melakukan kudeta, yang paling baru terjadi pada 2014. Pihak militer beralasan kudeta dibutuhkan demi menjaga stabilitas negara.
PM Prayuth mengatakan pemerintah mengizinkan warga berunjuk rasa sebagai wujud kebebasan berekspresi, tetapi tuntutan reformasi di tubuh kerajaan tidak dapat diterima.
Namun, tuntutan itu akan kembali dibacakan pada minggu ini.
Prayuth pada Kamis (17/9) memperingatkan para demonstran aksi mereka itu berisiko meningkatkan penyebaran COVID-19. PM meminta warga menempatkan isu kesehatan di atas tuntutan politik.
Kepolisian mengerahkan 10.000 anggotanya, Sabtu. “Saya ingin menyampaikan kepada mereka (para demonstran) bahwa tidak tepat untuk melakukan sesuatu yang ekstrem dan ilegal,” kata juru bicara kepolisian, Kissana Phathanacharoen.
Sumber: Reuters