Banjarmasin (ANTARA) - Ledakan kasus COVID-19 di Kalimantan Selatan (Kalsel) saat ini tidak lagi dimonopoli Kota Banjarmasin seiring meningkatnya kembali mobilitas penduduk di era masa transisi menuju kenormalan baru sehingga terjadi gelombang COVID-19 yang meluas.
"Hal ini terbukti dari sumber pertumbuhan kasus positif COVID-19 Kalsel dalam seminggu terakhir. Di mana sumbangan Banjarmasin menurun menjadi hampir 40 persen dibandingkan pada bulan Juni lalu," terang Hidayatullah Muttaqin, anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 di Kalsel, Senin.
Bahkan diungkapkan Taqin, begitu biasa dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis ULM ini disapa, selama periode 1-4 Juli, pertumbuhan COVID-19 dari Banjarmasin turun di bawah 27 persen. Ini menunjukkan indikasi semakin kuatnya potensi penyebaran COVID-19 di daerah lainnya di Kalsel.
Secara teoritis, jelaskan Taqin, penyebaran COVID-19 terlebih dahulu akan menjangkau daerah yang paling dekat dari episentrumnya.
Ia menjelaskan, hal ini tampak dari peta sebaran COVID-19 Kalimantan Selatan pada 1 Mei dan 1 Juni, di mana daerah yang terpapar setelah Banjarmasin adalah yang lokasinya dekat khususnya kawasan penyangga kota seperti Kabupaten Banjar dan Barito Kuala. Sedangkan daerah yang cukup jauh kasusnya masih sangat sedikit.
Kemudian kasus sebaran COVID-19 semakin meluas seiring mobilitas penduduk, akibatnya peta COVID-19 Banjarmasin menjadi hitam. Sedangkan daerah yang lebih jauh semakin merah.
Menurut Taqin, tidak dapat dipungkiri Kota Banjarmasin adalah episentrum wabah COVID-19 di Provinsi Kalimantan Selatan. Dari 3.628 akumulasi kasus terkonfirmasi positif pada 6 Juli 2020, sebanyak 42 persen di antaranya berasal dari Banjarmasin. Begitu pula dari 2.275 tambahan kasus baru selama bulan Juni lalu, Banjarmasin menyumbang hampir 43 persen.
Sehingga Taqin meyakini, potensi Banjarmasin sebagai episentrum gelombang COVID-19 di kawasan Kalselteng sudah dapat diduga sebelumnya. Dimana Banjarmasin adalah wilayah yang paling terbuka di Kalimantan Selatan baik karena posisinya yang strategis, ibu kota provinsi, dan terutama sebagai pusat perekonomian dan perdagangan regional. Banjarmasin juga merupakan wilayah paling padat, yaitu lebih dari 7.000 jiwa per kilometer persegi dengan populasi sekitar 700 ribu jiwa.
"Jika terdapat satu saja warganya yang terinfeksi COVID-19 sebagai kasus impor, maka potensi penyebarannya di dalam kota cukup cepat, sehingga yang terjadi kemudian adalah transmisi lokal," paparnya.
Kemudian dia melihat, tingkat mobilitas warga dan kerapatan penduduk memainkan peran penting dalam laju penyebaran COVID-19. Kecepatan penyebaran akan semakin bertambah jika pemangku kebijakan terlambat bertindak dan jika aktivitas masyarakat di luar rumah tidak diatur sedemikian rupa.
"Walhasil meledaknya kasus Covid-19 di Banjarmasin dari 4 kasus terkonfirmasi positif pada 1 April, menjadi 59 kasus pada 1 Mei, 431 kasus pada 1 Juni dan 1.397 kasus pada 1 Juli adalah buah yang kita pupuk sendiri," cetusnya.
Permasalahan menjadi semakin komplek ketika COVID-19 sedang memanjat, pemerintah daerah kabupaten dan kota mulai menghentikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada akhir Mei 2020.
Akibatnya, tambah dia, COVID-19 yang sedang beranak pinak di Banjarmasin mendapatkan momentum menjamah daerah yang lebih jauh dari kota.
"Mobilitas penduduk antardaerah adalah kendaraan yang tepat bagi COVID-19. Sedangkan perilaku warga yang tidak mau menerapkan protokol kesehatan merupakan bahan bakarnya," timpalnya.
Taqin menyatakan, gambaran sebaran COVID-19 di Kalimantan Selatan menunjukkan dibutuhkannya strategi pengendalian mobilitas penduduk baik antar kabupaten dan kota maupun mobilitas lokal di dalam daerah tersebut.
Tentu saja pengaturan mobilitas penduduk tidak bisa dilakukan hanya dengan mendirikan pos-pos pemeriksaan daerah perbatasan, tetapi harus diatur pada hulunya.
Sebagian mobilitas harian masyarakat baik secara lokal maupun antar daerah terjadi karena faktor pekerjaan. Mulai dari pekerjaan di instansi pemerintahan dan swasta maupun kegiatan produksi dan perdagangan.
"Penting sekali strategi bekerja dari rumah untuk pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah atau dilakukan secara daring. Kemudian pengurangan jam kerja dan pemberlakuan shift hari kerja yang berbeda. Jika hal ini dapat diterapkan, maka mobilitas penduduk akan berkurang," pungkasnya.