Palembang (ANTARA) - Kinerja PT Bukit Asam (Persero) tetap terkerek pada semester I/2019 dengan mencetak laba Rp2 triliun meski dihadapkan pada pelemahan harga batu bara di pasar ekspor.
Melalui rilis pers yang diterima Antara di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa, Sekretaris Perusahaan Suherman mengatakan bahwa capaian ini berkat strategi menggarap pasar ekspor ke sejumlah negara baru untuk penyerapan produksi batu bara sehingga perusahaan mencatat kenaikan penjualan 9,7 persen atau sebanyak 13,40 juta ton jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Pencapaian kinerja operasi perseroan ini tak lepas dari strategi manajemen dalam mengoptimalkan peluang pasar ekspor ke beberapa negara seperti India, Korea Selatan, Hong Kong, Filipina, Taiwan dan sejumlah negara lain di Asia,” kata dia.
Ia mengatakan diperlukan strategi khusus untuk mengatasi penurunan harga batu bara acuan (HBA) di pasar ekspor. Kebetulan juga, perusahaan sukses dalam menjalankan strategi optimasi penjualan ekspor batu bara medium to high calorie ke premium market.
Ia mengatakan kenaikan penjualan ini ditopang juga oleh kenaikan produksi batu bara 12,8 juta ton atau 14,1 persen jika dibandingkan semester I tahun 2018, dan kapasitas angkutan batu bara sebesar 11,7 juta ton atau 5,5 persen dari kapasitas angkutan batu bara periode Januari hingga Juni 2018.
Baca juga: BUMN terbaik 2019 diraih Bukit Asam dan Pelindo 1
Sepanjang semester I/2019 ini, perseroan juga mencatatkan pendapatan usaha sebesar Rp10,6 triliun, yang terdiri dari pendapatan penjualan batu bara domestik sebesar 53 persen, penjualan batu bara ekspor sebesar 45 persen dan aktivitas lainnya sebesar 2 persen yang terdiri dari penjualan listrik, briket, minyak sawit mentah, jasa kesehatan rumah sakit dan jasa sewa.
Pendapatan usaha ini dipengaruhi oleh harga jual rata-rata batu bara yang turun sebesar 6,8 persen menjadi Rp778.821/ton dari Rp835.965/ton di semester I 2018. Penurunan tersebut disebabkan oleh pelemahan harga batubara Newcastle sebesar 38 persen maupun harga batu bara thermal Indonesia (Indonesian Coal Index / ICI) GAR 5000 sebesar 26 persen dibandingkan harga rata-rata Semester I 2019.
Beban pokok penjualan hingga paruh 2019 ini tercatat sebesar Rp6,96 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 13 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp6,14 triliun.
Dengan komposisi dan kenaikan terbesar terjadi pada biaya angkutan kereta api seiring dengan peningkatan volume angkutan batubara dan kenaikan biaya jasa penambangan seiring dengan peningkatan produksi dan peningkatan stripping rasio pada semester pertama 2019 sebesar 4,6 dari 4,3 pada Semester 1 2018.
Terkait laba, Suherman mengatakan, perusahaannya mencatat Rp2,01 triliun pada semester I ini dengan EBITDA tercapai sebesar Rp3,19 triliun.
Kemudian meraup total aset Rp23,41 triliun dengan total kewajiban Rp7,16 triliun, aset perseroan per 30 Juni 2019 mencapai Rp23,41 triliun dengan komposisi terbesar pada aset tetap sebesar 29 persen dan kas setara kas sebesar 23 persen.
Baca juga: PTBA optimistis capai target produksi dan penjualan 2018
Kas dan setara kas (di luar deposito dengan jangka waktu lebih dari enam bulan) yang dimiliki Perseroan saat ini sebesar Rp5,29 triliun, turun 16 persen per 31 Desember 2018 sebesar Rp6,30 triliun.
Total liabilitas perseroan per sebesar Rp7,16 triliun yang 60 persen diantaranya merupakan liabilitas jangka pendek. Total liabilitas tersebut turun dibandingkan liabilitas per 31 Desember 2018.
Kondisi ini menyebabkan cash ratio atau cash and equivalent terhadap liabilitas jangka pendek perseroan menjadi 122 persen, yang berarti perseroan memiliki likuiditas kuat atau sangat mampu memenuhi liabilitas jangka pendek tepat waktu.
"Dengan kondisi positif perusahaan ini, kami semakin yakin untuk pengembangan bisnis hilirisasi batu bara kalori rendah. Sejak 2018, kami sudah membangun proyek gasifikasi hilirisasi tambang peranap (Coal to DME) di Tanjung Enim," kata dia.