Barabai (ANTARA) - Warga Desa Kayu Rabah Kecamatan Pandawan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), kembali menagih janji bupati untuk memperbaiki akses jalan desa yang berbatasan dengan Jalan Pinang Kara, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Bila sebelumnya, upaya untuk menagih janji perbaikan jalan dilakukan dengan memasukkan rencana kerja pembangunan jalan dalam musyawaran rencana pembangunan desa dan kabupaten (Musrenbang), namun kini upaya tersebut dinilai tidak cukup, karena tidak juga mendapatkan tanggapan.
Perjuangan secara administratif melalui berbagai usulan yang dilakukan sejak 2001 tidak kunjung mendapatkan tanggapan, maka pada 2019 perwakilan masyarakat Desa Kayu Rabah, beraksi dengan memilih meninggalkan rapat pembahasan perencanaan pembangunan.
Aksi tersebut, diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengingatkan janji pemerintah daerah, untuk segera memperbaiki jalan desa yang sangat vital bagi masyarakat sekitar.
Kepala Desa Kayu Rabah Syahruji mengatakan, sejak 2001 pihaknya telah mengusulkan agar pemerintah segera memperbaiki jalan desa yang menghubungkan dua desa pada dua kabupaten tersebut.
Sebenarnya, tambah Syahruji, saat panen raya 2017, di hadapan Gubernur Kalsel, Bupati HST menjanjikan pembangunan jalan desa hingga jembatannya Kayu Rabah akan diselesaikan pada 2018.
"Namun, hingga sekarang janji tersebut tak kunjung direalisasikan," katanya.
Bahkan, di tiap musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten, perbaikan kawasan jalan tersebut terus diusulkan.
Namun lagi-lagi, usulan pembangunan jalan tak bisa dimasukan dan tidak menjadi skala prioritas Kabupaten.
Menurut Syahruji, jalan di perbatasan itu sangat strategis untuk dimanfaatkan masyarakat HST maupun HSU, dalam mengangkut hasil-hasil pertanian dan perkebunan agar lebih dekat menuju kota Barabai.
Kondisi jalan yang rusak parah, juga membuat petani harus mengeluarkan biaya lebih. Saat panen, petani desa tersebut harus mengeluarkan ongkos lebih besar.
Hal itu terjadi, karena kondisi jalan hancur dan sangat membahayakan, sehingga para buruh angkut meminta bayaran lebih. Selain itu, jalan tersebut hanya bisa dilalui saat musim kemarau.
Berbanding terbalik
Dibandingkan Jalan Pinang Kara, Kabupaten HSU, yang nyaman dan dibangun kokoh menggunakan kayu ulin, sebagaimana jalan khas warga yang tinggal di daerah rawa.
Jalan Tatah Cagat, sangat memprihatinkan. Alih-alih berlantai kayu ulin, dari panjang 3 kilometer, hanya 500 meter yang berpaving dan disiring. Sisanya, tampak seperti jalan darurat.
Hal itu pula yang membuat warga Kayu Rabah iri, hingga kemudian menjadi polemik bagi Pemerintah Kabupaten HST.
Jika musim hujan, jalan tersebut berubah menjadi rawa, yang hanya dapat dilalui dengan menggunakan perahu.
"Selain warga Kayu Rabah, jalan itu juga merupakan satu-satunya akses warga Desa Kambat Utara, Satiap dan Walatung (Wilayah HST) untuk bertani atau berkebun dan guna mengangkut hasil-hasil pertanian," kata Syahruji.
Salah satu warga Kayu Rabah yang bekerja sebagai pedagang dan buruh serabutan, Arbani, menuturkan, jalan Tatah Cagar merupakan satu-satunya jalan yang cukup strategis.
Seperti untuk menuju Kabupaten HSU, melewati Jalan Tatah Cagat Balimau, jarak tempuh yang harus dilewati hanya 3 kilometer.
Namun sebaliknya, bila menggunakan jalan memutar, berjarak 60 kilometer.
"Saya sering mengangkut hasil-hasil perkebunan seperti kacang tanah, tomat dan jenis palawija lainnya, melewati jalan ini," katanya.
Menurut dia, jika musim kemarau, upah per karungnya adalah Rp12.500 dari Pinangkara sampai ke Kayu Rabah, namun jika sudah mulai musim hujan, naik menjadi Rp35.000 karena medannya sudah becek dan berlumpur.
Sementara itu, warga Desa Pinangkara, HSU, Jailani, mengatakan, hampir semua hasil pertanian dan perkebunan di Desa Pinangkara dan Amuntai ini mengangkut atau menjualnya ke Kota Barabai.
"Para pekerja yang mengangkut hasil pertanian di Amuntai ini juga rata-rata orang HST, jadi dengan adanya jalan perbatasan tembus ini ke depannya akan sangat membantu masyarakat," kata lelaki yang akrab disapa Boy ini.
Pusat pertanian
Dari pantauan ANTARA di lapangan, sepanjang jalan dari Tatah Cagat Balimau menuju Pinang Kara, memang sudah dipasang paving sekitar 500 meter dan dilanjutkan dengan jalan tanah yang sudah disiring juga sekitar 500 meter, dengan kondisi batu-batu siringnya yang sebagian sudah hancur dan berserakan.
Sisanya, hanya jalan terjal dan berlobang olahan warga untuk sampai ke Desa Pinang Kara. Berikut sisa-sisa jalan kayu yang dahulu dibuat oleh warga Desa Kayu Rabah dan satu buah jembatan yang kondisinya mulai hancur, lapuk dan miring.
Apabila tidak berhati-hati, warga yang lewat pun bisa saja terjatuh.
Kemudian, di sepanjang jalan buatan warga, memang tak nampak adanya rumah penduduk.
Baik yang ditinggali oleh masyarakat HST maupun HSU. Seluas mata memanadang, hanya diisi area pertanian dan perkebunan di lahan rawa.
Lantas, Kabupaten manakah yang lebih diuntungkan jika jalan itu dibangun hingga menghubungkan Kabupaten HST dan HSU?.
Mungkin bisa dikatakan sama-sama menguntungkan, namun dalam pembangunannya akan membutuhkan dana yang begitu besar karena membuat jalan di daerah rawa.
Menaggapi hal tersebut, Kepala Bidang Bina Marga Dinas PUPR Kabupaten HST, Akhmad Nor Jauhari, saat dikonfirmasi ANTARA menyatakan, untuk jalan tembus dari Kayu Rabah ke Pinang Kara itu akan dikerjakan 2019 ini juga.
Pengerjaannya menggunakan Dana Alaokasi Umum (DAU) Pemkab HST dengan sistem Swa Kelola melalui Karya bhakti TNI.
Dia juga mengatakan, jalan itu akan dibangun secara bertahap, atau tidak bisa langsung sampai ke Pinang Kara. Tahun ini pembangunannya hanya sepanjang 100 Meter.
"Pembangunannya juga menunggu selesai Bhakti Karya TNI di daerah pegunungan yakni di kawasan Datar Batung. Sesudah itu, baru di Kayu Rabah," tuntasnya
Berikut video kondisi jalan perbatasan jalan di Kabupaten HST-HSU :
https://www.youtube.com/watch?v=nu4Xm8GT_kk&feature=youtu.be