Kotabaru, (Antaranews Kalsel) - Ikatan Nelayan Saijaan (Insan) Kotabaru, Kalimantan Selatan akan menolak bantuan alat tangkap ikan ramah lingkungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sekretaris Insan Sabran di Kotabaru, Minggu mengatakan alat tangkap pengganti lampara itu semua sudah pernah dicoba, namun hasil tangkapan ikan tidak memadai.
"Kami sepakat organisasi akan memutuskan untuk tidak menerima bantuan itu," katanya.
Nelayan tradisional pengguna lampara lebih memilih untuk tetap menggunakan alat tangkap pukat tersebut namun telah dimodifikasi agar tidak merusak lingkungan.
Modifikasi itu antara lain dilakukan pada mata jaring yang dibuat lebih lebar, dari sebelumnya 3-4 inchi menjadi 12 inchi. Kemudian pada jaring ditambahkan semacam tongkat yang akan membuatnya melayang sehingga tak menyentuh dasar laut.
Hasil modifikasi ini sudah disampaikan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan dan rencananya akan ditindaklanjuti dengan pengkajian di lapangan.
"Mereka ingin langsung terjun ke lapangan untuk mengetahui bagaimana kinerjanya," ujar Sabran.
Menanggapi reaksi penolakan nelayan, Kepala Dinas Perikanan Kotabaru Mochran menyatakan pihaknya tidak bisa memaksa.
"Pemerintah pusat itu begini, kalau nelayan minta dibantu sepanjang ada dana akan dibantu, kalau tidak ya tidak, jadi terserah nelayan," kata Mochran.
Namun, dirinya mengingatkan konsekuensi hukum jika nelayan tak beralih ke alat tangkap yang direkomendasikan pemerintah. Setelah beberapa kali menunda pemberlakuan larangan alat tangkap pukat tarik dan pukat hela yang diwacanakan sejak 2015, dispensasi akan dicabut per31 Desember 2017.
Mengenai alat tangkap hasil modifikasi nelayan, Mochran mengatakan pihaknya bukan dalam kapasitas bisa memberi rekomendasi boleh tidaknya digunakan. Selain itu, perlu ada penelitian untuk membuktikannya benar-benar ramah lingkungan.
"Tapi pada prinsipnya sepanjang alat tangkap itu masih dioperasikan dengan cara ditarik, maka tetap dikategorikan tidak ramah lingkungan," tegasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2017
Sekretaris Insan Sabran di Kotabaru, Minggu mengatakan alat tangkap pengganti lampara itu semua sudah pernah dicoba, namun hasil tangkapan ikan tidak memadai.
"Kami sepakat organisasi akan memutuskan untuk tidak menerima bantuan itu," katanya.
Nelayan tradisional pengguna lampara lebih memilih untuk tetap menggunakan alat tangkap pukat tersebut namun telah dimodifikasi agar tidak merusak lingkungan.
Modifikasi itu antara lain dilakukan pada mata jaring yang dibuat lebih lebar, dari sebelumnya 3-4 inchi menjadi 12 inchi. Kemudian pada jaring ditambahkan semacam tongkat yang akan membuatnya melayang sehingga tak menyentuh dasar laut.
Hasil modifikasi ini sudah disampaikan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan dan rencananya akan ditindaklanjuti dengan pengkajian di lapangan.
"Mereka ingin langsung terjun ke lapangan untuk mengetahui bagaimana kinerjanya," ujar Sabran.
Menanggapi reaksi penolakan nelayan, Kepala Dinas Perikanan Kotabaru Mochran menyatakan pihaknya tidak bisa memaksa.
"Pemerintah pusat itu begini, kalau nelayan minta dibantu sepanjang ada dana akan dibantu, kalau tidak ya tidak, jadi terserah nelayan," kata Mochran.
Namun, dirinya mengingatkan konsekuensi hukum jika nelayan tak beralih ke alat tangkap yang direkomendasikan pemerintah. Setelah beberapa kali menunda pemberlakuan larangan alat tangkap pukat tarik dan pukat hela yang diwacanakan sejak 2015, dispensasi akan dicabut per31 Desember 2017.
Mengenai alat tangkap hasil modifikasi nelayan, Mochran mengatakan pihaknya bukan dalam kapasitas bisa memberi rekomendasi boleh tidaknya digunakan. Selain itu, perlu ada penelitian untuk membuktikannya benar-benar ramah lingkungan.
"Tapi pada prinsipnya sepanjang alat tangkap itu masih dioperasikan dengan cara ditarik, maka tetap dikategorikan tidak ramah lingkungan," tegasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2017