Pemerhati politik dari Hulu Sungai Selatan (HSS) Kalimantan Selatan (Kalsel) sekaligus akademisi dari STAI Darul Ulum Kandangan Akhmad Zaki Yamani mengajak mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXll/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXll/2024, sekaligus bagian upaya demi melestarikan demokrasi.

Zaki mengatakan, UUD 1945 merupakan konstitusi negara Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip negara demokrasi dan hukum, walaupun di satu sisi presiden pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan salah satu tugasnya membentuk atau mengesahkan UU atas persetujuan bersama DPR.  



"Kita mengetahui bersama salah satu kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945 yang putusannya bersifat final dan mengikat, dan salah satu kewenangan Mahkamah Agung (MA) adalah menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap perundang-undangan yang ada," katanya dalam keterangan, di Kandangan, Ahad. 

Dijelaskan dia, putusan MK Nomor 70/PUU-XXll/2024 merupakan putusan lanjutan dari Putusan Nomor 60/PUU-XXll/2024, juga terkait tentunya pengaturan pelaksanaan tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024.

Dengan latar belakang putusan ini adalah permohonan uji materi yang diajukan oleh pihak terkait terhadap UU Pilkada. Putusan MK Nomor 70/PUU-XXll/2024, menguatkan beberapa poin penting yang telah diatur dalam putusan Nomor 60/PUU-XXll/2024, serta memberikan tafsir tambahan mengenai beberapa aspek hukum terkait dengan pilkada.

Putusan MK Nomor 60/PUU-XXll/2024 yang menyatakan membatalkan persyaratan partai politik atau gabungan partai politik berupa perolehan 20 persen kursi DPRD atau 25% suara sah.  

MK menentukan persyaratan baru yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, yaitu prosentase tertentu berdasarkan jumlah  penduduk yang termuat dalam  Daftar Pemilih Tetap (DPT).  

Baca juga: Pemerhati politik prediksi pilkada HSS diikuti dua hingga empat paslon

"Persyaratan ini kita ketahui dibuat dengan argumentasi mencerminkan keadilan antara partai politik yang memperoleh kursi di DPRD, dengan partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPRD serta dengan syarat calon perseorangan," terangnya yang dalam keseharian mengajar sebagai Dosen Prodi Hukum Tata Negara di STAI Darul Ulum Kandangan.

Dalam Putusan MK Nomor 70/PUU-XXll/2024 menegaskan tentang batasan usia minimum untuk dapat diajukan sebagai calon gubernur, wakil gubemur, bupati/walikota, dan wakil  bupati/wakil  walikota  menggunakan batas sejak penetapan calon, bukan ukuran lain termasuk waktu pelantikan.

Putusan ini dilandasi argumentasi penafsiran sistematis, historis, dan perbandingan yang berujung kepada kesimpulan bahwa ketentuan persyaratan usia yang diatur di dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada tidak dapat dimaknai lain selain dengan ukuran "sejak ditetapkan sebagai calon".

Pemaknaan ini dinyatakan MK mengikat semua penyelenggara, kontestan pemilihan, dan masyarakat. Dan jika penyelenggara pemilu tidak mengikuti pertimbangan putusan MK tersebut, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah berpotensi dinyatakan tidak sah oleh MK.

"Putusan MK Nomor 70/PUU-XXll/2024 dengan sendirinya mengesampingkan Putusan MA No.23 P/HUM/2024, yang sebelumnya menentukan batas usia minimal berdasarkan waktu pelantikan," ungkapnya.  

Dari sisi waktu, putusan MK adalah hukum baru yang mengesampingkan hukum lama. Dari sisi  kewenangan,  MA menguji  PKPU terhadap UU Pilkada, sedangkan MK menguji UU Pilkada terhadap UUD 1945.

Oleh karena itu putusan MK jadinya memiliki hierarki yang lebih tinggi, mengesampingkan putusan MA yang menguji peraturan yang lebih rendah.

Tidak berselang satu hari setelah putusan MK Nomor 60/PUU-XXll/2024 dan Nomor 70/PUU-XXll/2024 tanggal 20 Agustus 2024, pada tanggal 21 Agustus 2024 Badan Legeslatif (Baleg) DPR RI berdasarkan rapat bersama dengan pemerintah bersepakat menyepakati pembahasan perubahan RUU Pilkada akan dilaksanakan paripurna DPR RI pengesahan ditanggal 22 Agustus 2024.

Baca juga: Polres HSS gelar pasukan Operasi Mantap Praja Intan 2024

"Padahal kita mengetahui pembahasan RUU Pilkada ini tidak termasuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), malah ada beberapa RUU yang sampai sekarang belum selesai," bebernya.

RUU belum rampung tersebut di antaranya perampasan aset, tetapi pembahasan rapat paripurna ini gagal karena desakan gelombang unjuk rasa dan pernyataan sikap berbagai elemen masyarakat baik dari kalangan mahasiswa, akademisi, buruh, serta elemen lainnya di  DPR RI, MK dan KPU.

Demonstrasi pun terjadi di berbagai daerah sampai terjadi benturan dan aksi kekerasan terhadap demonstran dengan aparat.

Yang mana tuntutan dari berbagai elemen masyarakat se-Indonesia ini adalah "Save Putusan MK dan batalkan pembahasan RUU Pilkada", serta agar KPU menindaklanjuti dengan membuat PKPU terbaru dengan mempedomani putusan MK, dan bukan penafsiran yang lain yang bertentangan dengan putusan MK. 

Kemudian, Wakil Ketua DPR RI Susmi Dasco Ahmad dalam konferensi pers telah menyatakan bahwa pengesahan revisi UU Pilkada yang sedianya direncanakan di sahkan pada Kamis (22/8/2024) batal dilaksanakan.

Karena itu, ia menegaskan aturan mengenai pendaftaran Pilkada pada tanggal 27 Agustus 2024 mendatang tetap mengacu pada dua Putusan MK terbaru, tentang Pilkada serta bukan pada putusan MA.

Senada itu, Presiden RI Jokowi juga menyatakan tidak ada rencana mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-Undangan (Perpu) aturan terkait Pilkada ini.

Baca juga: Lulusan STAI Darul Ulum berkesempatan masuk ke pemerintahan

"Demo besar-besaran berbagai elemen masa mewarnai semua daerah rencana pengesahan RUU Pilkada ini karena dianggap bertentangan dengan aturan norma hukum yang baik, dan sifat dari putusan MK bersifat akhir dan mengikat dan putusan MK hanya bisa di cabut dengan putusan MK juga," ucapnya.
 
Sementara itu, Skenario dengan menerbit UU baru dalam rangka adopsi putusan MK dan MA ini menjadi kegelisahan para pakar hukum, tokoh pergerakan, mahasiswa yang pro demokrasi anti kepentingan oligarki.

Hal tersebut karena RUU Pilkada karena ini dianggap sebagai upaya pelemahan putusan MK, dan juga dalam upaya pengkondisian pihak-pihak tertentu terhadap aturan yang akan di sahkan dalam RUU Pilkada nantinya.

"Putusan MK adalah tafsir final terhadap UUD 1945, dengan demikian substansi putusan MK Nomor 60/PUU-XXll/2024 dan Nomor 70/PUU-XXll/2024 adalah tafsir final, mengenai ketentuan persyaratan dukungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah dan ketentuan batas usia minimal calon kepala daerah yang sesuai dengan UUD 1945," jelasnya.

Secara pribadi, dirinya menolak keras atas rencana pengesahan RUU Pilkada karena putusan MK bersifat akhir dan final mengikat.

Serta tidak ada alasan terjadi kekosongan hukum yang bersifat memaksa, sehingga jika kalau alasannya diterbitkannya Perpu kecuali hanya alasan itu diada-adakan saja demi mengakomidir kepentingan tertentu. 

"Putusan Nomor 60/PUU-XXll/2024 memberikan angin segar di pilkada serentak 2024 dengan meminimalisir kotak kosong, dan memberikan kesempatan tokoh terbaik di tiap daerah akan maju dalam pilkada serentak dengan syarat dukungan parpol lebih minimal dibandingkan sebelum adanya putusan MK ini," tutupnya.

Baca juga: Pemkab HSS siap dukung dan fasilitasi pilkada serentak
 

Pewarta: Fathurrahman

Editor : Imam Hanafi


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2024