Karlie menyatakan itu di Banjarmasin, Selasa, usai sosialisasi peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah (Sosper) di Kabupaten Batola.
Baca juga: DPRD Sulbar pelajari kesiapan Kalsel menyambut IKN
"Kita prihatin Batola berada dalam kondisi darurat kekerasan terhadap anak," kata Karlie.
Karlie menggelar Sosper terhadap Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang diimplementasikan ke Peraturan Daerah (Perda) Kalsel Nomor 11 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Di hadapan masyarakat, Karlie memperkirakan tren kekerasan terhadap anak semakin meningkat.
“Sudah seharusnya tindakan pencegahan lebih gencar, salah satunya melalui sosialisasi dan sanksi hukum terhadap pelakunya,” ujar Karlie.
Sesuai Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2914 tentang Pemerintahan Daerah, Karlie menuturkan pemerintah daerah berwenang membuat kebijakan mengenai penyelenggaraan sub urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
"Jadi berkaitan hal itu, sosialisasi peraturan perundang-undangan dilakukan antara lain bertujuan memberikan informasi UU 35/2014 yang diimplementasikan ke Perda Kalsel Nomor 11/2018 kepada para mitra atau pemangku kepentingan dan seluruh lapisan masyarakat," tutur Karlie.
Selain itu, Karlie mengungkapkan sosialisasi peraturan untuk mewujudkan masyarakat maupun subyek hukum yang terkait dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat turut serta mematuhi dan melaksanakan ketentuan yang diatur peraturan perundang-undangan/peraturan daerah.
Baca juga: Urang Banjar Kalsel di Bali mayoritas wirausaha
Sosper tersebut juga menghadirkan narasumber Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Batola Subiyarnowo.
Subiyarnowo mengungkapkan kekerasan terhadap anak terutama menyangkut kekerasan seksual di Batola memang sudah sangat memprihatinkan dan kondisi darurat.
“Pada 2024 ini, hingga pekan ketiga Juli sudah terjadi 44 kasus kekerasan seksual terhadap anak, dan terakhir terjadi pada Ahad (22/7) lalu dengan tersangka seorang marbot atau kaum tempat ibadah, dan korbannya anak masih di bawah umur,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, tren peningkatan kasus terlihat pada 2020 terjadi 25 kasus, 2021 (26 kasus), 2022 (50 kasus), 2023 (56 kasus) dan 2024 hingga pertengahan Juli mencapai 44 kasus.
“Jumlah kasus yang saya beberkan yang dilaporkan dan ditangani UPTD PPA Kabupaten Barito Kuala, selain itu masih banyak kasus yang tidak terungkap atau terangkat karena tidak dilaporkan, karena malu atau dianggap sebagai aib,” ungkap Subiyarnowo.
Baca juga: Sekwan Bali dan Kalsel sebut wartawan berperan tunjang pembangunan
Ia memperkirakan, peningkatan kasus kekerasan terhadap anak karena akses untuk melaporkan kasus yang terjadi cukup gampang. Selain itu, masyarakat terutama yang terkait langsung dengan korban memiliki keberanian, tidak malu untuk melaporkan kasus tersebut.
"Berbagai upaya dilakukan untuk menekan angka kekerasan terhadap anak, di antaranya melibatkan Tim Penggerak PKK, dinas terkait termasuk BKKBN, kantor agama," ungkap Subiyarnowo.
Ia menambahkan kekerasan terhadap anak bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, pelecehan dan kekerasan seksual, kekerasan ekonomi (penelantaran), serta perdagangan orang.
Pada kegiatan tersebut hadir pula Kabid Sumber Daya Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Batola Helena Maya Dewi beserta seluruh jajaran instansi setempat.
Baca juga: DPRD Kalsel inginkan layanan pemerintahan lebih baik atau prima
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2024