Badan Pembentukan Peraturan Daerah (BP Perda) DPRD Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) pelajari atau melakukan kaji tiru produk hukum muatan lokal di "Pulau Dewata" Bali.
"Dalam kaji tiru atau studi komparasi tersebut kami mendatangi Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) Bali," ujar anggota BP Perda DPRD Kalsel H Karlie Hanafi Kalianda melalui telepon seluler dari Denpasar, usai pertemuan.
Baca juga: DPRD Banjarmasin: 290 sungai masih aktif perlu serius dirawat
Karlie mengaku terkesan dengan Pulau Dewata Bali tetap mempertahankan budayanya di era gempuran zaman dan digitalisasi.
“Meski Bali ini menjadi tempat wisata yang notabene didatangi orang-orang dari mancanegara, namun pemerintah dan masyarakat tetap konsisten menerapkan muatan lokal (moluk) atau kearifan lokal," kata Karlie.
Pernyataan senada dari anggota BP Perda DPRD Kalsel H Gusti Abidinsyah sembari menambahkan, bahwa kekagumannya pada Pulau Dewata Bali yang tetap menjadi Bali walaupun banyak kunjungan masyarakat internasional.
“Apalagi dengan adanya produk hukum berupa Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Bali yang juga didukung dengan Peraturan Gubernur Bali No. 4 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Perda tersebut,” ujar Gusti Abidinsyah.
Sementara Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra yang menyambut rombongan BP-Perda DPRD Kalsel mengatakan, bahwa provinsinya tidak memiliki Sumber Daya Alam (SDA) semisal pertambangan seperti di Kalsel.
Oleh karenanya sektor pariwisata yang pemerintah daerah setempat harus maksimalkan dan kembangkan untuk mendapatkan pendapatan daerah.
“Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan filosofi Tri Hita. Karana yang berakar dari kearifan lokal Sad Kerthi, dengan dijiwai ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang hidup di Bali, sangat besar peranannya dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga perlu pengayoman," ujarnya.
Baca juga: DPRD HSS sampaikan draft Raperda inisiatif fasilitasi HAKI
Selain itu, pengayoman, perlindungan, pembinaan, pengembangan dan pemberdayaan guna mewujudkan kehidupan Krama Bali yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,” lanjut I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra.
Karlie Hanafi pun mengatakan bahwa secara pribadi tertarik dengan Perda Bali 4/2002 .
Menurut dia, tak mustahil SDA di Kalsel yang berupa energi tidak terbarukan bisa habis. Oleh karenanya harus menggarap, pengembangan dengan serius, termasuk mengembangkan desa-desa adat.
“Kita akan gali pariwisata itu dan kembangkan. Dimana nanti untuk peralihan energi tidak terbarukan kepada energi yang terbarukan. Kita katakanlah salah satunya yakni sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan daerah," demikian Karlie Hanafi.
Baca juga: DPRD HSS paripurnakan jawaban eksekutif atas Raperda perubahan APBD 2023
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2023
"Dalam kaji tiru atau studi komparasi tersebut kami mendatangi Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) Bali," ujar anggota BP Perda DPRD Kalsel H Karlie Hanafi Kalianda melalui telepon seluler dari Denpasar, usai pertemuan.
Baca juga: DPRD Banjarmasin: 290 sungai masih aktif perlu serius dirawat
Karlie mengaku terkesan dengan Pulau Dewata Bali tetap mempertahankan budayanya di era gempuran zaman dan digitalisasi.
“Meski Bali ini menjadi tempat wisata yang notabene didatangi orang-orang dari mancanegara, namun pemerintah dan masyarakat tetap konsisten menerapkan muatan lokal (moluk) atau kearifan lokal," kata Karlie.
Pernyataan senada dari anggota BP Perda DPRD Kalsel H Gusti Abidinsyah sembari menambahkan, bahwa kekagumannya pada Pulau Dewata Bali yang tetap menjadi Bali walaupun banyak kunjungan masyarakat internasional.
“Apalagi dengan adanya produk hukum berupa Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat Bali yang juga didukung dengan Peraturan Gubernur Bali No. 4 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Perda tersebut,” ujar Gusti Abidinsyah.
Sementara Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra yang menyambut rombongan BP-Perda DPRD Kalsel mengatakan, bahwa provinsinya tidak memiliki Sumber Daya Alam (SDA) semisal pertambangan seperti di Kalsel.
Oleh karenanya sektor pariwisata yang pemerintah daerah setempat harus maksimalkan dan kembangkan untuk mendapatkan pendapatan daerah.
“Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan filosofi Tri Hita. Karana yang berakar dari kearifan lokal Sad Kerthi, dengan dijiwai ajaran agama Hindu dan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang hidup di Bali, sangat besar peranannya dalam pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga perlu pengayoman," ujarnya.
Baca juga: DPRD HSS sampaikan draft Raperda inisiatif fasilitasi HAKI
Selain itu, pengayoman, perlindungan, pembinaan, pengembangan dan pemberdayaan guna mewujudkan kehidupan Krama Bali yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,” lanjut I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya Seputra.
Karlie Hanafi pun mengatakan bahwa secara pribadi tertarik dengan Perda Bali 4/2002 .
Menurut dia, tak mustahil SDA di Kalsel yang berupa energi tidak terbarukan bisa habis. Oleh karenanya harus menggarap, pengembangan dengan serius, termasuk mengembangkan desa-desa adat.
“Kita akan gali pariwisata itu dan kembangkan. Dimana nanti untuk peralihan energi tidak terbarukan kepada energi yang terbarukan. Kita katakanlah salah satunya yakni sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan daerah," demikian Karlie Hanafi.
Baca juga: DPRD HSS paripurnakan jawaban eksekutif atas Raperda perubahan APBD 2023
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2023