Asosiasi Pemegang Izin dan Kontraktor Tambang (Aspektam) Kalimantan Selatan berharap pemerintah mengkaji ulang larangan ekspor batu bara.

Sekretaris Jendral (Sekjend) Aspektam Muhammad Solikin di Banjarbaru Jumat mengatakan, penghentian ekspor batu bara tersebut dikhawatirkan bisa mempengaruhi kredibilitas perusahaan tambang nasional.

"Kami khawatir, larangan ekspor ini mengakibatkan beberapa hal, seperti menurunnya kepercayaan pembeli atau mitra, karena perusahaan tidak mampu memenuhi keberlanjutan kontrak," katanya.

Selain itu, kepastian hukum dan perlindungan terhadap investasi disektor batu bara juga terganggu, karena penyetopan dilakukan dengan tiba-tiba tanpa ada persiapan.

"Investasi perusahaan kan cukup besar, jadi kalau tiba-tiba distop, tentu kami akan rugi," katanya.

Solikin mengungkapkan, berdasarkan kebijakan pemerintah, setiap perusahaan wajib menyisihkan hasil produksinya sebesar 25 persen.

Jadi apabila saat ini produksi batu bara sebesar 600 juta ton lebih, maka seharusnya ada sekitar 160 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, atau PLN.

Sementara, kebutuhan PLN dalam satu tahun hanya sekitar 93 juta ton, sehingga seharusnya masih ada sisa lebih dari 50 juta ton. 

Solikin mengungkapkan, saat ini terdapat 40 perusahaan batu bara yang tergabung dalam Aspektam dari sebelumnya mencapai 100 lebih.

"Sebelumnya anggota kami mencapai 100 lebih tapi karena ada CNC dan banyak yang gulung tikar, tinggal sekitar 40 perusahaan," katanya sambil mengungkapkan produksi batu bara Kalsel pada 2021 sekitar 200 juta ton.

Baca juga: Presiden : Keberanian menghentikan ekspor bahan mentah membuahkan hasil

Pewarta: Latif Thohir

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2022