Amuntai, (AntaranewsKalsel) - Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan, terus berupaya memberantas pencurian ikan atau "ilegal fishing" antara lain dengan memupuk kesadaran Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwakmas).
Kepala Bidang Pengawasan Sumber Daya Perikanan Rossy Estiawati di Amuntai, Minggu, mengatakan eksistensi Pokwakmas berlandaskan kesadaran anggota Pokwakmas masyarakat untuk menjaga kelestarian perairan.
"Tanpa adanya kesadaran, maka aktivitas bahkan keberadaan Pokwakmas bisa semakin berkurang, karena banyak tantangan dalam pelaksanaan tugas mengawasi perairan," ujar Rossy.
Rossy tidak memungkiri beberapa Pokwakmas mulai kurang aktif dalam melaksanakan kegiatan pengawasan, bahkan ada dijumpai ketua pokwakmas justru terlibat aktivitas "ilegal fishing".
Pasalnya, kata Rossy keuntungan yang bisa diperoleh pelaku "ilegal fishing" cukup menggiurkan, dalam operasi satu malam mereka bisa mendapatkan ikan yang jika dijual harganya mencapai Rp500 ribu lebih, sedangkan jika menggunakan alat tangkap biasa hasil yang didapatkan hanya pas-pasan.
Ia mengatakan untuk pembinaan, motivasi bahkan penghargaan sudah sering diberikan melalui Dinas Perikanan dan Peternakan.
"Ada Surat Keputusan Bupati Hulu Sungai Utara bagi pemberian `reward` berupa uang tunai sebesar Rp750 ribu bagi pokwakmas yang berhasil membantu menangkap pelaku ilegal fishing hingga sampai ke proses peradilan," kata Rossy.
Namun, lanjut dia, keberlangsungan Pokwakmas di masyarakat nelayan juga tergantung tingkat kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk menjaga kelestarian perairan.
Ia menyadari tidak gampang menjadi anggota Pokwakmas di desa karena memiliki kecenderungan mendapat reaksi negatif dari masyarakat lainnya.
Sebagian masyarakat lain, tutur Rossy, berbeda cara pandang dan kepentingan, disamping unsur kekerabatan dengan pelaku "ilegal fishing" membuat segolongan masyarakat tidak menyukai anggota Pokwakmas yang sering ikut dalam operasi tim penertiban ilegal fishing.
"Apalagi risiko menjadi anggota pokwakmas sewaktu-waktu bisa terancam jiwanya, baik saat ikut operasi penertiban dengan aparat polisi dan penyidik PNS, maupun dalam aktivitas sehari-hari akibat balas dendam pelaku "ilegal fishing" yang tidak terima aktivitas usahanya terusik,"kata Rossy.
Sementara, terangnya dalam Undang-Undang Perikanan maupun peraturan daerah belum memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan bagi anggota pokwakmas yang terlibat dalam penertiban ilegal fishing.
Diinformasikan, dari sebanyak 45 pokwakmas yang ada di Kabupaten HSU, hanya sekitar 15 pokwakmas yang aktif, namun yang bisa diandalkan untuk diajak ikut dalam operasi penertiban "ilegal fishing", bahkan saat operasi didaerah yang rawan sekalipun hanya sebanyak 5 pokwakmas.
Meski demikian, tuturnya pokwakmas dilarang beroperasi sendiri untuk melindungi aksi main hakim sendiri dan melindungai keselamatan anggota pokwakmas.
Operasi penertiban harus melibatkan polisi dan penyidik PNS, jika hanya dilakukan pokwakmas sendiri operasinya dianggap ilegal.
Rossy berharap bantuan pemerintah yang disalurkan kepada Pokwakmas agar ditingkatkan jenisnya agar lebih menunjang pengawasan dan operasi penertiban.
"Selama ini bantuan yang diberikan dari bantuan pemerintah pusat hanya berupa perahu, padahal nelayan kita sudah banyak memiliki sarana ini, semestinya diberikan bantuan lain yang lebih menunjang kegiatan operasi pengawasan perairan," katanya.
Dikatakan jika aktivitas "ilegal fishing" masih meresahkan, bahkan sebagian pelaku ketika coba ditangkap memberikan perlawanan sengit kepada petugas gabungan polisi, penyidik PNS dan anggota Pokwakmas.
"Meski aparat polisi dilengkapi senjata api, namun tidak leluasa digunakan mengingat yang dihadapi saat operasi adalah para nelayan, kecuali pelaku sudah nekat hingga mengancam nyawa aparat,"kata Rossy.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015
Kepala Bidang Pengawasan Sumber Daya Perikanan Rossy Estiawati di Amuntai, Minggu, mengatakan eksistensi Pokwakmas berlandaskan kesadaran anggota Pokwakmas masyarakat untuk menjaga kelestarian perairan.
"Tanpa adanya kesadaran, maka aktivitas bahkan keberadaan Pokwakmas bisa semakin berkurang, karena banyak tantangan dalam pelaksanaan tugas mengawasi perairan," ujar Rossy.
Rossy tidak memungkiri beberapa Pokwakmas mulai kurang aktif dalam melaksanakan kegiatan pengawasan, bahkan ada dijumpai ketua pokwakmas justru terlibat aktivitas "ilegal fishing".
Pasalnya, kata Rossy keuntungan yang bisa diperoleh pelaku "ilegal fishing" cukup menggiurkan, dalam operasi satu malam mereka bisa mendapatkan ikan yang jika dijual harganya mencapai Rp500 ribu lebih, sedangkan jika menggunakan alat tangkap biasa hasil yang didapatkan hanya pas-pasan.
Ia mengatakan untuk pembinaan, motivasi bahkan penghargaan sudah sering diberikan melalui Dinas Perikanan dan Peternakan.
"Ada Surat Keputusan Bupati Hulu Sungai Utara bagi pemberian `reward` berupa uang tunai sebesar Rp750 ribu bagi pokwakmas yang berhasil membantu menangkap pelaku ilegal fishing hingga sampai ke proses peradilan," kata Rossy.
Namun, lanjut dia, keberlangsungan Pokwakmas di masyarakat nelayan juga tergantung tingkat kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk menjaga kelestarian perairan.
Ia menyadari tidak gampang menjadi anggota Pokwakmas di desa karena memiliki kecenderungan mendapat reaksi negatif dari masyarakat lainnya.
Sebagian masyarakat lain, tutur Rossy, berbeda cara pandang dan kepentingan, disamping unsur kekerabatan dengan pelaku "ilegal fishing" membuat segolongan masyarakat tidak menyukai anggota Pokwakmas yang sering ikut dalam operasi tim penertiban ilegal fishing.
"Apalagi risiko menjadi anggota pokwakmas sewaktu-waktu bisa terancam jiwanya, baik saat ikut operasi penertiban dengan aparat polisi dan penyidik PNS, maupun dalam aktivitas sehari-hari akibat balas dendam pelaku "ilegal fishing" yang tidak terima aktivitas usahanya terusik,"kata Rossy.
Sementara, terangnya dalam Undang-Undang Perikanan maupun peraturan daerah belum memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan bagi anggota pokwakmas yang terlibat dalam penertiban ilegal fishing.
Diinformasikan, dari sebanyak 45 pokwakmas yang ada di Kabupaten HSU, hanya sekitar 15 pokwakmas yang aktif, namun yang bisa diandalkan untuk diajak ikut dalam operasi penertiban "ilegal fishing", bahkan saat operasi didaerah yang rawan sekalipun hanya sebanyak 5 pokwakmas.
Meski demikian, tuturnya pokwakmas dilarang beroperasi sendiri untuk melindungi aksi main hakim sendiri dan melindungai keselamatan anggota pokwakmas.
Operasi penertiban harus melibatkan polisi dan penyidik PNS, jika hanya dilakukan pokwakmas sendiri operasinya dianggap ilegal.
Rossy berharap bantuan pemerintah yang disalurkan kepada Pokwakmas agar ditingkatkan jenisnya agar lebih menunjang pengawasan dan operasi penertiban.
"Selama ini bantuan yang diberikan dari bantuan pemerintah pusat hanya berupa perahu, padahal nelayan kita sudah banyak memiliki sarana ini, semestinya diberikan bantuan lain yang lebih menunjang kegiatan operasi pengawasan perairan," katanya.
Dikatakan jika aktivitas "ilegal fishing" masih meresahkan, bahkan sebagian pelaku ketika coba ditangkap memberikan perlawanan sengit kepada petugas gabungan polisi, penyidik PNS dan anggota Pokwakmas.
"Meski aparat polisi dilengkapi senjata api, namun tidak leluasa digunakan mengingat yang dihadapi saat operasi adalah para nelayan, kecuali pelaku sudah nekat hingga mengancam nyawa aparat,"kata Rossy.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2015