Penggunaan kendaraan listrik diyakini merupakan solusi yang jitu untuk mengurangi dampak polusi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor berbahan bakar fosil, mengingat sektor transportasi darat memberikan kontribusi signifikan terhadap kualitas udara di perkotaan, sebut Institute for Essential Services Reform (IESR).
"Kita bisa melihat dari studi-studi lain yang ada, untuk konteks Indonesia, sektor transportasi ini kontribusinya sangat signifikan, mencapai sekitar 70-80 persen dari polusi udara di daerah perkotaan. Ini sudah sangat mengkhawatirkan. Kualitas udara yang buruk ini mengakibatkan berkurangnya rata-rata usia harapan hidup di Indonesia sepanjang 1,2 tahun," kata Julius C Adiatma, Clean Energy Specialist & Idoan Marciano, Energy and Electric Vehicles Technology Specialist, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.
Menurut Julius Adiatma, kualitas bahan bakar di Indonesia sangat tidak baik. Beberapa di antaranya bahkan memiliki kandungan sulfur sangat tinggi yang sangat polutif dan membahayakan kesehatan.
Kendaraan listrik, menurut Julius C Adiatma, tidak akan menghasilkan polusi udara, sehingga sangat cocok untuk digunakan di daerah perkotaan di Indonesia. "Tapi, ‘kan tidak mungkin kita mengganti semua kendaraan yang ada saat ini dengan kendaraan listrik dalam semalam. Jadi, sepanjang proses peralihan itu, yang bisa memakan waktu belasan hingga puluhan tahun, pemerintah harus berani menerapkan aturan kualitas bahan bakar itu," katanya.
Julius menyoroti kualitas bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan bermotor di kota-kota besar, yang disebutnya sangat tidak berkualitas. Sampai saat ini, yang memenuhi standar Euro 4 seperti dipersyaratkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hanya jenis bahan bakar minyak Pertamax Turbo yang diproduksi dan dipasarkan Pertamina. “Bahkan, bahan bakar sekelas solar Pertamina Dex itupun kandungan sulfurnya baru setara dengan Euro 2, begitu juga dengan Pertamax. Untuk premium dan solar, seharusnya sudah tidak dijual lagi,” katanya.
Julius mengatakan komitmen dan keinginan pemerintah untuk menciptakan udara bersih sudah ada, yang paling menonjol adalah dengan diterbitkannya Perpres No. 55/2019 yang memberikan landasan hukum bagi pengembangan kendaraan listrik, sekalipun peraturan turunan dari Perpres tersebut masih terbatas.
Memang sudah ada sejumlah aturan lain yang mendukung, misalnya ketentuan mengenai pemotongan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). “Tapi aturan ini baru berlaku mulai 2021,” ujarnya.
Juga ada Permendagri tentang pengurangan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk kendaraan listrik, namun keduanya juga masih membutuhkan peraturan implementasi dari Pemda. “Untuk pemotongan BBNKB, Sejauh ini baru diterapkan di Jakarta dan Bali. "Jadi, biarpun wacana mengenai kendaraan listrik ini sudah didengungkan sejak tahun lalu, sampai saat ini belum ada peraturan yang implementatif," katanya.
Selain itu, faktor kesiapan infrastruktur pengisian daya listrik juga harus mendapat perhatian dari pemerintah.
“Menurut saya, kalau hanya melihat dari rencana PLN saja, sangat tidak mencukupi untuk bisa mencapai target penjualan kendaraan listrik sebesar 20 persen di tahun 2025,” katanya, seraya menambahkan lembaganya menghitung bahwa idealnya pada tahun 2025 tersebut sudah tersedia sedikitnya 100.000 unit stasiun pengisian daya listrik umum (SPLU) di seluruh Indonesia.
Julius juga mengingatkan perlunya untuk mulai mengatur standar efisiensi kendaraan bermotor, karena sampai sekarang Indonesia belum punya standar seperti itu, sementara sebagian besar negara lain sudah menerapkan itu. Bisa juga ditambah dengan labeling efisiensi kendaraan, supaya pembeli juga bisa memilih kendaraan yang lebih efisien. “Sebab, di Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN juga sudah ada mandat untuk menyusun aturan itu,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020
"Kita bisa melihat dari studi-studi lain yang ada, untuk konteks Indonesia, sektor transportasi ini kontribusinya sangat signifikan, mencapai sekitar 70-80 persen dari polusi udara di daerah perkotaan. Ini sudah sangat mengkhawatirkan. Kualitas udara yang buruk ini mengakibatkan berkurangnya rata-rata usia harapan hidup di Indonesia sepanjang 1,2 tahun," kata Julius C Adiatma, Clean Energy Specialist & Idoan Marciano, Energy and Electric Vehicles Technology Specialist, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.
Menurut Julius Adiatma, kualitas bahan bakar di Indonesia sangat tidak baik. Beberapa di antaranya bahkan memiliki kandungan sulfur sangat tinggi yang sangat polutif dan membahayakan kesehatan.
Kendaraan listrik, menurut Julius C Adiatma, tidak akan menghasilkan polusi udara, sehingga sangat cocok untuk digunakan di daerah perkotaan di Indonesia. "Tapi, ‘kan tidak mungkin kita mengganti semua kendaraan yang ada saat ini dengan kendaraan listrik dalam semalam. Jadi, sepanjang proses peralihan itu, yang bisa memakan waktu belasan hingga puluhan tahun, pemerintah harus berani menerapkan aturan kualitas bahan bakar itu," katanya.
Julius menyoroti kualitas bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan bermotor di kota-kota besar, yang disebutnya sangat tidak berkualitas. Sampai saat ini, yang memenuhi standar Euro 4 seperti dipersyaratkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hanya jenis bahan bakar minyak Pertamax Turbo yang diproduksi dan dipasarkan Pertamina. “Bahkan, bahan bakar sekelas solar Pertamina Dex itupun kandungan sulfurnya baru setara dengan Euro 2, begitu juga dengan Pertamax. Untuk premium dan solar, seharusnya sudah tidak dijual lagi,” katanya.
Julius mengatakan komitmen dan keinginan pemerintah untuk menciptakan udara bersih sudah ada, yang paling menonjol adalah dengan diterbitkannya Perpres No. 55/2019 yang memberikan landasan hukum bagi pengembangan kendaraan listrik, sekalipun peraturan turunan dari Perpres tersebut masih terbatas.
Memang sudah ada sejumlah aturan lain yang mendukung, misalnya ketentuan mengenai pemotongan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). “Tapi aturan ini baru berlaku mulai 2021,” ujarnya.
Juga ada Permendagri tentang pengurangan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) untuk kendaraan listrik, namun keduanya juga masih membutuhkan peraturan implementasi dari Pemda. “Untuk pemotongan BBNKB, Sejauh ini baru diterapkan di Jakarta dan Bali. "Jadi, biarpun wacana mengenai kendaraan listrik ini sudah didengungkan sejak tahun lalu, sampai saat ini belum ada peraturan yang implementatif," katanya.
Selain itu, faktor kesiapan infrastruktur pengisian daya listrik juga harus mendapat perhatian dari pemerintah.
“Menurut saya, kalau hanya melihat dari rencana PLN saja, sangat tidak mencukupi untuk bisa mencapai target penjualan kendaraan listrik sebesar 20 persen di tahun 2025,” katanya, seraya menambahkan lembaganya menghitung bahwa idealnya pada tahun 2025 tersebut sudah tersedia sedikitnya 100.000 unit stasiun pengisian daya listrik umum (SPLU) di seluruh Indonesia.
Julius juga mengingatkan perlunya untuk mulai mengatur standar efisiensi kendaraan bermotor, karena sampai sekarang Indonesia belum punya standar seperti itu, sementara sebagian besar negara lain sudah menerapkan itu. Bisa juga ditambah dengan labeling efisiensi kendaraan, supaya pembeli juga bisa memilih kendaraan yang lebih efisien. “Sebab, di Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN juga sudah ada mandat untuk menyusun aturan itu,” katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2020