Politisi senior, Bambang Haryo Soekartono menyoroti penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar untuk kepentingan industri, seperti tambang dan perkebunan.
"Dari informasi sejumlah pemberitaan media, banyak penyalahgunaan solar subsidi diungkap polisi di sejumlah daerah seperti Kalimantan, Sumatera hingga Sulawesi. Para pelangsir yang antri di SPBU memasok solar untuk dijual kembali ke industri," kata Bambang
Haryo di Banjarmasin, Minggu.
Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Maritim ini meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serius mengawasi penyaluran BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Jika tidak, ESDM bisa dianggap terlibat dalam penyalahgunaan subsidi BBM.
"Kalau sudah begini, bisa masuk kategori tindak pidana korupsi. Saya meminta penegak hukum baik Polri, Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengawasi penyaluran BBM subsidi, sebab merugikan keuangan negara dan menghambat ekonomi," paparnya.
Bambang Haryo pun mengaku heran, kini terjadi kelangkaan solar subsidi di tengah penurunan ekonomi. Karena secara teoritis, kata dia, permintaan BBM harusnya lebih rendah.
"Bisa dilihat di banyak SPBU di daerah yang terdapat industri pertambangan, terjadi antrean panjang truk dan angkutan lainnya untuk mendapatkan solar. Kita masyarakat awam tentu tidak bisa membedakan antara pelangsir atau bukan," cetusnya.
Maka dari itu, dia prihatin jika angkutan umum dan logistik turut terkena imbas dari praktik curang penyalahgunaan solar subsidi tersebut.
Karena jika truk angkutan barang terpaksa antre hingga berhari-hari hanya untuk mengisi BBM, maka
kegiatan logistik terganggu akibat produktivitas yang rendah.
Kuota solar subsidi yang ditetapkan sebesar 14,5 juta kiloliter pada tahun 2019, ungkap Bambang Haryo, sebenarnya lebih dari cukup untuk transportasi umum dan logistik.
Berdasarkan data Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas), realisasi penyaluran solar subsidi per 25 September 2019 sudah mencapai 11,67 juta KL atau 80,46% dari seharusnya 73,42% dari kuota.
"BPH Migas juga sudah mencabut surat edarannya tentang pengendalian kuota solar subsidi sebagai antisipasi over kuota BBM. Namun faktanya, kelangkaan solar subsidi masih terjadi," beber anggota DPR RI periode 2014-2019 ini.
Bambang Haryo juga menyinggung soal indikasi BBM subsidi akan dibatasi untuk angkutan penyeberangan dan nelayan. Jika itu dilakukan, dia meyakini tak hanya memukul usaha penyeberangan, tetapi dapat membahayakan keselamatan penumpang.
"Jangan sampai kapal feri kehabisan BBM di tengah laut seperti kecelakaan KMP Senopati Nusantara pada akhir 2006. Kapal tenggelam akibat kehabisan BBM di tengah laut. Tentu jika kebijakan ini diterapkan, mengancam keselamatan publik," tegas peraih Award Anggota Parlemen Aspiratif 2019 itu.
Bukannya dikurangi, tambah Bambang, pasokan BBM untuk angkutan penyeberangan justru perlu ditambah. Mengingat keberadaan kapal feri sangat vital.
"Kapal feri berfungsi layaknya infrastruktur jembatan penghubung antar wilayah. Kalau pemerintah jeli, harusnya justru dijamin negara pengadaannya, tetapi faktanya sekarang dilakukan oleh sektor swasta yang membantu menjalankan roda perekonomian bidang maritim ini," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019
"Dari informasi sejumlah pemberitaan media, banyak penyalahgunaan solar subsidi diungkap polisi di sejumlah daerah seperti Kalimantan, Sumatera hingga Sulawesi. Para pelangsir yang antri di SPBU memasok solar untuk dijual kembali ke industri," kata Bambang
Haryo di Banjarmasin, Minggu.
Ketua DPP Partai Gerindra Bidang Maritim ini meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serius mengawasi penyaluran BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Jika tidak, ESDM bisa dianggap terlibat dalam penyalahgunaan subsidi BBM.
"Kalau sudah begini, bisa masuk kategori tindak pidana korupsi. Saya meminta penegak hukum baik Polri, Kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mengawasi penyaluran BBM subsidi, sebab merugikan keuangan negara dan menghambat ekonomi," paparnya.
Bambang Haryo pun mengaku heran, kini terjadi kelangkaan solar subsidi di tengah penurunan ekonomi. Karena secara teoritis, kata dia, permintaan BBM harusnya lebih rendah.
"Bisa dilihat di banyak SPBU di daerah yang terdapat industri pertambangan, terjadi antrean panjang truk dan angkutan lainnya untuk mendapatkan solar. Kita masyarakat awam tentu tidak bisa membedakan antara pelangsir atau bukan," cetusnya.
Maka dari itu, dia prihatin jika angkutan umum dan logistik turut terkena imbas dari praktik curang penyalahgunaan solar subsidi tersebut.
Karena jika truk angkutan barang terpaksa antre hingga berhari-hari hanya untuk mengisi BBM, maka
kegiatan logistik terganggu akibat produktivitas yang rendah.
Kuota solar subsidi yang ditetapkan sebesar 14,5 juta kiloliter pada tahun 2019, ungkap Bambang Haryo, sebenarnya lebih dari cukup untuk transportasi umum dan logistik.
Berdasarkan data Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas), realisasi penyaluran solar subsidi per 25 September 2019 sudah mencapai 11,67 juta KL atau 80,46% dari seharusnya 73,42% dari kuota.
"BPH Migas juga sudah mencabut surat edarannya tentang pengendalian kuota solar subsidi sebagai antisipasi over kuota BBM. Namun faktanya, kelangkaan solar subsidi masih terjadi," beber anggota DPR RI periode 2014-2019 ini.
Bambang Haryo juga menyinggung soal indikasi BBM subsidi akan dibatasi untuk angkutan penyeberangan dan nelayan. Jika itu dilakukan, dia meyakini tak hanya memukul usaha penyeberangan, tetapi dapat membahayakan keselamatan penumpang.
"Jangan sampai kapal feri kehabisan BBM di tengah laut seperti kecelakaan KMP Senopati Nusantara pada akhir 2006. Kapal tenggelam akibat kehabisan BBM di tengah laut. Tentu jika kebijakan ini diterapkan, mengancam keselamatan publik," tegas peraih Award Anggota Parlemen Aspiratif 2019 itu.
Bukannya dikurangi, tambah Bambang, pasokan BBM untuk angkutan penyeberangan justru perlu ditambah. Mengingat keberadaan kapal feri sangat vital.
"Kapal feri berfungsi layaknya infrastruktur jembatan penghubung antar wilayah. Kalau pemerintah jeli, harusnya justru dijamin negara pengadaannya, tetapi faktanya sekarang dilakukan oleh sektor swasta yang membantu menjalankan roda perekonomian bidang maritim ini," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019