Tidak terasa perjalanan masa berlalu dan seakan baru kemarin, Hj Noomiliyani binti H Aberani Sulaiman menjadi Bupati Barito Kuala (Batola), Kalimantan Selatan (Kalsel).

Padahal perempuan pertama Kalsel yang menjadi bupati di provinsi yang terdiri atas 13 kabupaten/kota dan kini berpenduduk empat juta jiwa lebih tersebut, sebelumnya Ketua DPRD provinsi setempat.

Dalam kedudukan sebagai Ketua DPRD Kalsel itupun, Noomiliyani dengan "kiauwan" (sapaan) akrab Yayan tersebut juga merupakan perempuan pertama sepanjang sejarah legislatif provinsi yang berusia 69 tahun atau yang merupakan provinsi tertua di Kalimantan tersebut.

Ketika "anak kolong" (anak kolong sebutan lain dari anak prajurit TNI - tamtama sampai perwira tinggi atau Pati adalah prajurit TNI) itu menjadi Ketua DPRD Kalsel sebagai kehormatan karena meraih suara terbanyak sesama kader Partai Golkar pada Pemilu 2014.

Sedangkan Partai Golkar sejak Pemilu pertama masa  pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan nasional Presiden Soeharto hingga 2019 tetap menjadi pemenang atau peraih keanggotaan terbanyak di DPRD Kalsel, dan berhak menduduki jabatan ketua pada lembaga legislatif tingkat provinsi tersebut.

Namun pada 2015 ikut dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Batola, dan "Srikandi" Partai Golkar yang berpasangan dengan H Rahmadian Noor ST, sesama kader partai politik (parpol) tersebut kembali memperoleh kemenangan.

Keberhasilan  anak dari pasangan H Aberani Sulaiman dengan Hj Siti Norma (keduanya sudah almarhum/almarhumah) itu tidak terlepas dari dukungan sang suami - H Hasanuddin Murad SH yang menjadi Bupati Batola dua periode.

Selain itu, dukungan banyak warga masyarakat, karena Yayan (panggilan kesayangan sehari-hari dalam keluarga atau kerabatnya) juga selalu intens melakukan silaturahmi, santun terhadap orang tua dan sayang kepada yang muda.

Aktivis

Karir politik atau kemenangan demi kemenangan alumnus Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Tahun 1979 dengan gelar sarjana hukum itu tidak terlepas dari aktivitas yang bersangkutan dari masa ke masa, karena dia tergolong aktivis.

Aktivitas itu, baik ketika remaja atau selagi masih muda maupun saat memegang jabatan fungsional seperti Ketua Tim Penggerak Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK) "Bumi Salidah" Batola yang merupakan daerah pertanian pasang surut serta penerima program transmigrasi.

Dalam kependidikan formal, perempuan kelahiran Banjarmasin, 21 April  1959 atau bersamaan tanggal lahir RA Kartini itu belajar di Sekolah Dasar (SD) Rajawali - Jalan Lambung Mangkurat Banjarmasin di bawah pengelolaan TNI-AD.

Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Taruna dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 24, kedua lembaga pendidikan menengah atau lanjutan tersebut berada di Ibu Kota Negara - Jakarta.

Seiring dengan kedudukan ayahdanya sebagai seorang prajurit TNI AD dengan pangkat terakhir Kolonel Infanteri, selagi masih pemudi dia juga menjadi anggota Forum Komunikasi Putra Putri Indonesia (FKPPI), sebuah organisasi anak-anak TNI.

Selain itu, putri atau anak dari seorang pejuang revolusi asal Birayang Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel tersebut juga ikut bergabung dengan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) serta Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Berbekal pelajaran  dari sekolah dan sebagai mahasiswi, serta pengalaman berorganisasi tersebut mungkin membuat perempuan yang kini berusia 60 tahun itu menjadi seseorang percaya diri (pedi) dalam mengarungi hidup dan kehidupan.

Memang sifat atau sikap pedi tersebut salah satu modal menggapai sukses dalam hidup dan kehidupan, sebagaimana Srikandi parpol berlambang pohon beringin itu menduduki jabatan Ketua DPRD Kalsel, dan kemudian menjadi Bupati Batola.

Peduli sosial

Keterangkatan atau keterwakilan perempuan itu dalam karir politik sehingga menjadi Ketua DPRD Kalsel dan Bupati Batola juga karena sifat serta sikap kepribadiannya yang peduli sosial.

Apalagi wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng) itu pada periode pertama Bupati Batola Hasanuddin Murad masih tergolong daerah tertinggal.

Tetapi berkat kerja keras dan sinergitas kepemimpinan daerah beserta Tim Penggerak PKK Batola dengan warga masyarakatnya dan dukungan pemerintah pusat, pada periode kedua Bupati Hasanuddin Murad, kabupaten tersebut tidak lagi sebagai daerah tertinggal.

Sebagai salah satu contoh nyata kepedulian sosial tersebut, program Tim Penggerak PKK Batola sejak 2009 sampai 2017 berhasil merealisasi bedah rumah sebanyak 125 buah tersebar pada hampir semua kecamatan kabupaten itu.

Kegiatan bedah rumah bagian dari kepedulian sosial  dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat (kesra) bidang papan atau perusahaan yang juga merupakan kebutuhan pokok dalam hidup dan kehidupan seseorang selain sandang pangan (pakaian makanan).

Program bedah rumah yang mencapai 125 buah tersebut sampai saat ini belum ada duanya dari program Tim Penggerak PKK kabupaten/kota lain se-Kalsel, kendati sumber dana sama-sama dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat masing-masing.

"Program bedah rumah itu terus berlanjut. Karena pemerintah kabupaten (Pemkab) setempata memberi dana hibah kepada Tim Penggerak PKK-nya sejak saya menjadi Bupati Batola," ujar Noomiliyani.

Karena,  menurut orang nomor satu di jajaran Pemkab Batola tersebut, bedah rumah oleh Tim Penggerak PKK berbeda dengan renovasi rumah program pemerintah.

Oleh sebab itu, program bedah rumah oleh Tim Penggerak PKK tersebut tetap berlanjut guna pemerataan atau menambah banyak lagi warga masyarakat mendapatkan tempat tinggal yang sehat dan lebih layak huni, demikian Yayan.

Bela kaumnya

Noomiliyani atau perempuan yang sudah memasuki usia lanjut namun masih energik itu termasuk orang yang peduli atau suka membela kaumnya sesama kaum hawa.

Sebagai salah satu sikap pembelaan terhadap kaumnya, dia termasuk orang yang kurang sependapat atau belum bisa mendukung sistem poligami.

"Memang agama Islam membolehkan laki-laki berpoligami (beristri sampai empat) asalkan memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan syariah itu sendiri," ujar mantan aktivis dari kaum perempuan tersebut.

Kekurangsependapatan terhadap poligami tersebut cukup beralasan, kendati mungkin dalam statistik jumlah kaum perempuan lebih banyak dari laki-laki.

Pasalnya dari aplikasi sosial kemasyarakatan, pada dasarnya atau umumnya, tidak ada seorang istri yang mau diduakan (dalam bahasa Banjar Kalsel dengan sebutan bamadu), karena sedikit - banyak, baik secara langsung maupun tidak langsung bisa mengganggu ketenangan hati.

Ketidaktenangan itu bisa berdampak pada kejiwaan serta keharmonisan keluarga, sebab sebagaimana penuturan beberapa perempuan yang pernah bamadu atau dimadukan , sakit hatinya bagaikan "dikarukut bidawang" (dicakar-cakar bulus).

Prosentase istri-istri yang mau diduakan suaminya relatif kecil, itupun hanya memperlihatkan kesenangan lahir, namun hati siapa tahu sebagaimana pepatah atau peribahasa "dalam lautan dapat diduga, dalam hati tak seorang pun yang tahu".

Pewarta: Syamsuddin Hasan

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019