Usianya bukan tergolong muda lagi. Pada April 2019 Edi Susapto genap 40 tahun. Tapi energi pria kelahiran Ngawi, Jawa Timur ini seolah - olah tak pernah redup mengelola pertanian organik.
     
Di penghujung 2017 Edi mulai dikenalkan pertanian organik. Melalui program kemitraan berbasis organik  yang diinisiasi Yayasan Adaro Bangun Negeri (YABN) bapak tiga anak ini mulai termotivasi menjadi petani mandiri.
     
Tak hanya itu program ini sebagai upaya menyisipkan ide organik untuk menggeser ketergantungan petani pada bahan kimia.
     
Pria yang sebelumnya buruh bangunan ini pun mendapat pendampingan  cara kelola kebun ramah lingkungan. Sebulan setelah mendapat pendampingan, Edy memulai tahap percobaan di ladang miliknya.
      
. (Antaranews Kalsel/Istimewa)

Sebagai binaan Yayasan Adaro Bangun Negeri, Edy juga dibekali pelatihan pembuatan pupuk, penanganan hama hingga pembuatan  bibit.
   
Terletak di Kampung Wikau Desa Kambitin hamparan sayuran organik mulai dari bayam merah, daun bawang, sawi, terung hijau dan kangkung buah kerja keras Edy.
   
Aktifitasnya di tengah kebun sayur organik ini seakan tak pernah mati. Sejak pagi hingga sore hari ia bersama tiga pekerjanya asyik bergelut dengan tanah, pupuk hingga membersihkan rumput.
     
Di lahan seluas 1,2  hektare miliknya berbagai tanaman sayur tumbuh baik meski tanpa pupuk pertisida maupun bahan kimia lainnya.
   
Urine sapi menjadi senjata andalan untuk menyuburkan tanah, gadung –tanaman berumbi—disarikan getahnya sebagai pestisida alami. "Sayur kita tanam sama sekali tanpa bahan kimia” ugkapnya.
     
Edy bercerita, awal mula mengembangkan pertanian organik ini cukup sulit.Terlebih belum adanya dukungan Pemerintah Kabupaten Tabalong berupa modal untuk membeli peralatan hingga pemasaran sayur organik.
   
"Akhirnya sayur organik kita jual dengan harga sama sayur nonorganik," ungkap Edy.
   
Sayur bayam hijau dijualnya Rp4 ribu ukuran satu ikat  besar,  terong Rp5.500 per kilogram, kangkung satu ikat besar Rp2 ribu dan bayam merah dijual lebih mahal  Rp6 ribu per ikat besar.
   
Tiap bulannya kebun organik miliknya butuh  biaya Rp3 juta mulai dari keperluan pupuk hingga penanganan hama. Sedangkan omset penjualan sayur organik mencapai Rp7 juta tiap bulannya.
   
. (Antaranews Kalsel/Istimewa)

Keuntungan yang didapat dari hasil penjualan digunakan untuk upah pekerja dan keperluan kebun. Dijual ke tengkulak dengan harga sama sayur nonorganik tak mengecilkan hatinya untuk terus menerapkan pertanian ramah lingkungan.
   
Edy punya harapan besar pemerintah daerah bisa memfasilitasi petani organik seperti dirinya agar bisa  berkembang.
   
"Seharusnya kita punya minimarket khusus sayur organik," ungkap Edy.
   
Menurut Edy  minimarket nantinya  bisa menampung sayur ramah lingkungan hasil jerih payah petani organik di 'Bumi Saraba Kawa' ini.
 
Kini kebun organik miliknya jadi wahana edukasi bagi kalangan pelajar. "Melalui wisata edukasi ini, anak - anak bisa tahu  cara menanam, merawat hingga mengatasi serangan  hama sayuran organik," jelas Edy.
     
Termasuk cara mengolah tanah, menyemai bibit hingga memetik sayur organik. Sekarang kebun organik milik suami Lilik Sarini ini makin populer sebagai wahana edukasi sekaligus penghasil aneka sayuran bebas bahan kimia.

Pewarta: Herlina Lasmianti

Editor : Ulul Maskuriah


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Selatan 2019