Banjarmasin (Antaranews Kalsel)- Enam bulan terakhir petani di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan dihadapkan pada dilema saat mengelola kebun yang sudah digarap lebih dari sepuluh tahun.
Digarap, perlu biaya yang tidak sedikit, sementara hasil panen tidak sebanding dengan biaya operasional.
Tidak dikelola atau dibiarkan kebun jadi terbengkalai, dan akan ditumbuhi semak belukar, dan akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan pokok-pokok kelapa sawit.
Upah panen di kisaran Rp200-Rp210 per kilogram, harga pupuk melambung dan pestisida yang melonjak membuat petani sawit swadaya berfikir untuk mengelola kebun sawit mereka akhir-akhir ini.
Hal itu terjadi karena harga jual tandan buah segar (TBS) sawit dipatok oleh pedagang cukup bervariasi, yakni kisaran Rp650-Rp725 per kilogram.
Hasil penjualan TBS belum sepenuhnya bisa dinikmati petani, karena mereka masih harus mengeluarkan upah panen, biaya pemupukan, dan pembasmian gulma, sehingga hasilnya terkadang pas-pasan.
Kondisi itu akhirnya membuat petani hanya bisa pasrah, dan terpaksa menjual hasil panen kebun sawitnya dengan harga yang ditetapkan oleh para tengkulak.
Salah satu pedagang pengepul, Abi Hanafi mengaku ia menjual TBS ke pabrik di kisaran Rp960 per kilogram, harga tersebut masih belum dikurangi dengan biaya transportasi dari kebun ke pabrik.
Selain biaya transportasi, masih ada biaya lain, seperti gaji sopir, uang parkir dan uang makan sopir yang harus dibayar setiap menjual buah ke pabrik.
Petani sawit di Kecamatan Kelumpang Hilir merasa putus asa. Mereka tidak memanen tanaman sawit yang sudah berbuah, karena harga juga tidak mampu menutupi biaya operasionalnya.
"Insya Allah kebun sawit kami akan kami panen kalau harga TBS mulai membaik," kata Ummi Bisri, petani itu.
Kondisi sulit yang dialami petani, dan pedagang TBS di Kotabaru tidak menutup kemungkinan juga dialami petani kelapa sawit di daerah lain di Kalimantan Selatan.
Rendahnya harga jual TBS yang dialami oleh petani sebenarnya dapat teratasi apabila pihak perusahaan mau menerapkan harga yang telah ditetapkan Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan.
Apalagi Dinas Perkebunan dan Peternakan tersebut secara periodik telah melakukan rapat koordinasi bersama instansi terkait membahas dan menetapkan harga TBS dan turunannya.
Namun kenyataanya, di lapangan pihak perusahaan yang memiliki pabrik kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) membeli TBS petani tidak berdasarkan harga yang telah ditetapkan Dinas Perkebunan dan Peternakan setempat.
Wakil Sekretaris Koperasi Unit Desa Gajah Mada, Narso mengaku, harga yang ditetapkan Dinas Perkebunan dan Peternakan Kalimantan Selatan sebenarnya cukup bagus apabila diterapkan pihak perusahaan dalam membeli TBS milik petani.
Namun sayang, ketetapan harga tersebut sepertinya belum menjadi dasar bagi pihak perusahaan.
Perusahaan memiliki standar harga sendiri untuk membeli TBS petani swadaya.
Berdasarkan ketetapan harga oleh Dinas Perkebunan dan Peternakan di antaranya umur tanam tiga tahun seharga Rp988/kg, umur tanam empat tahun Rp1.095/kg, umur tanam lima tahun Rp1.177/kg, umur tanam enam tahun Rp1.222/kg, umur tanam tujuh tahun Rp1.293/kg, dan umur tanam delapan tahun Rp1.312/kg.
Umur tanam sembilan tahun Rp1.336/kg, umur tanam 10 dan 11 tahun Rp1.360/kg, umur tanam 12 Rp1.365/kg, dan umur tanam 13 tahun Rp1.367/kg.
Melihat ketetapan harga per September tersebut cukup menggembirakan bagi petani, apabila hal itu diterapkan oleh perusahaan-perusahaan CPO di Kotabaru, dan sekitarnya.
Entah sampai kapan petani harus tetap bersabar, menunggu kepedulian pemerintah atau pihak lain untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut.
Harapan kepada pemerintah sangat diperlukan untuk menjembatani penyelesaian permasalahan harga TBS yang dialami petani dengan pihak perusahaan.
Karena, apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan semangat petani sawit swadaya akan kendur, karena tidak ada jaminan harga TBS di masa yang akan datang.
Sementara pergerakan ekonomi di perdesaan, khususnya di kawasan perkebunan kelapa sawit swadaya dapat diakui cukup pesat.
Daya beli masyarakat di wilayah tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan daerah yang menghasilkan komoditas lain, selain kelapa sawit.
Hal itu dapat dilihat dari, kondisi tempat tinggal atau rumah yang lebih bagus, jumlah kendaraan roda dua lebih dari dua unit, dan hampir dari lima rumah penduduk terdapat tiga buah mobil.
Banyak anak petani sawit melanjutkan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi favorit, terbukanya lapangan kerja. Bahkan di perkampungan yang penduduknya bertanam sawit tidak ditemukan pengangguran.
Membangun pabrik sendiri
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalimantan Selatan Samsul Bahri menjelaskan, salah satu alasan pihak perusahaan adalah karena petani belum bermitra dengan pihak perusahaan.
Sedangkan alasan lain adalah perusahaan juga sudah memiliki TBS sendiri.
Namun kenyataanya, perusahaan juga tetap membeli buah petani dengan harganya sendiri.
Diakui, dari lima pabrik kelapa sawit di Tanah Laut hanya satu pabrik yang membeli TBS petani.
Menurut Samsul, solusi yang bisa mengatasi permasalahan harga TBS petani adalah harus membangun pabrik sendiri.
"Dengan pabrik sendiri itu, ada jaminan harga TBS milik petani," tandasnya.
Untuk membangun pabrik CPO tersebut, Koperasi Apkasindo menjalin kerja sama dengan investor lokal, yakni, Batu Gunung Mulia Putra, yang berkedudukan di Tapin.
Perusahaan tersebut akan membangun pabrik kalapa sawit di Tanah Laut, dan akan membeli TBS petani.
Perkuat kemandirian koperasi
Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah diperlukan adanya kerja sama antara pemerintah dan petani, mulai dari tingkat RT atau kepala desa hingga pusat.
Adanya kesan setengah hati yang dilabelkan untuk pemerintah dengan sendirinya akan terhapus, melalui kerja sama tersebut.
Kesan setengah hati tersebut adalah, pemerintah melalui Dinas Perkebunan dan Peternakan bersama lembaga terkait setiap bulan telah menetapkan harga TBS dan turunannya.
Namun kenyataanya di lapangan TBS petani dibeli tidak berdasarkan ketetapan itu.
Hal itu bisa terjadi, tidak menutup kemungkinan disebabkan pengawasan yang tidak maksimal.
Sehingga perusahaan terkesan abai terhadap ketetapan tersebut, karena tidak ada pengawasan dan sanksi tegas.
Oleh karenanya, melalui pola kerja sama tersebut diharapkan masalah yang dihadapi petani dapat langsung disampaikan kepada pemerintah melalui instansi terkait, sehingga penyelesaian semua masalah akan lebih cepat dan tidak berlarut-larut.
Pemerintah bersama asosiasi harus membentuk satuan tugas atau satgas yang bertanggungjawab terhadap pengawasan di lapangan, khususnya terkait implementasi ketatapan harga dan yang lainnya.
Perlu juga dibentuk koperasi atau gabungan kelompok tani kelapa sawit, sebagai wadah berkomunikasi antaranggota kelompok tani, dan sebagai sarana untuk membangun kebersamaan dan kesamaan langkah.
Melalui gabungan kelompok tani yang beranggotakan kelompok tani-kelompok tani di daerah, diharapkan memiliki kekuatan lebih besar terhadap kebijakan, dibandingkan dengan petani sawit secara individu.
Keuntungan lain dibentuknya Gapoktan sawit tersebut, adalah bukan hanya dapat menyelesaikan masalah harga TBS, tetapi bisa sebagai wadah sosialisasi pemerintah terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, serta program-program strategis pemerintah, seperti pengurangan penggunaan BBM dari fosil dan yang lainnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, dalam satu kesempatan mendukung penggunaan bahan bakar minyak yang berasal dari nabati atau kelapa sawit untuk mengurangi ketergantungan pada minyak fosil.
"Kami sendiri sangat mendukung bahan bakar di Indonesia diubah secepat-cepatnya menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan," ujar Jonan saat mengunjungi labolatorium katalis di Institut Teknologi Bandung di Bandung.
Saat ini ITB tengah mengembangkan industri katalis yang bisa mengubah sawit menjadi biodiesel, bioavtur, dan biogasoline. Katalis ini sudah diujicoba dibeberapa kilang minyak PT Pertamina dan telah diproduksi secara massal oleh PT Pupuk Iskandar Muda.
Menurut Jonan, dengan produksi katalis dalam negeri yang dikembangkan ITB, dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak dari fosil. Kelebihan yang bisa didapatkan karena nabati merupakan sumber daya alam yang bisa diperbaharui.
"Kalau ramah lingkungan mungkin tidak bisa menggunakan bahan bakar fosil sepanjang masa. Tetapi harus menggunakan bahan bakar yang `renewable` seperti kelapa sawit," kata dia.
(T.I022/B/A035/C/A035) 25-10-2018 05:04:05